Berikut ini adalah pidato yang disampaikan oleh Ketua Umum Partai Rakyat Demokratik (PRD), Agus ‘Jabo’ Priyono, untuk menyambut Hari Agraria Nasional ke-53. Kami publikasikan untuk disebarluaskan kepada masyarakat luas.
————————————————————————
Laksanakan Pasal 33 UUD Proklamasi 1945:
Rebut Tanah dan Sumber Daya Alam untuk sebesar-besarnya Kemakmuran Rakyat!
Hari ini, tanggal 24 September 2013, bertepatan dengan hari disahkannya UU Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA-1960), sebagai implementasi dari kemerdekaan dan pelaksanaan Pasal 33 UUD Proklamasi 1945. Inilah salah satu Undang-Undang yang menjadi tonggak sejarah baru perjuangan bangsa Indonesia yang bebas dari kolonialisme, imperialisme dan feodalisme, untuk membangun bangsa yang berdaulat, mandiri serta berkepribadian, sebagai prasyarat menuju masyarakat Indonesia yang adil makmur, lahir serta batin!
Kita masih ingat, 53 tahun yang lalu, hampir 80 persen kepemilikan modal asing sudah berada di tangan bangsa Indonesia. Namun sekarang malapetaka itu datang lagi; sekarang ini terjadi arus balik yang teramat dashyat menimpa kehidupan bangsa kita kembali, yaitu arus balik penguasaan modal asing terhadap sumber-sumber kehidupan bangsa Indonesia!
Imperialisme datang lagi, modal asing menguasai tanah air kita lagi!
Negara menjadi pelayan modal asing itu! Rakyat kembali sengsara, kehilangan martabatnya!
Soal agraria menyangkut soal hidup dan penghidupan manusia, tanah adalah sumber dan asal makanan bagi manusia. Siapa menguasai tanah, ia menguasai makanan!” Kata Mochammad Tauchid (1952).
Indonesia adalah negara agraris, sebagaimana diajarkan buku pelajaran sekolah dulu. Tanah sebagai tempat bercocok tanam dan sumber utama kehidupan bagi kita semua. Maka amatlah penting struktur kepemilikan, distribusi, penguasaan dan penggunaan tanah itu. Dari penguasaan terhadap tanah ini akan tercerminkan sistem ekonomi dan politik dari satu bangsa. Tanah itu dimiliki dan dikuasai oleh negara, masyarakat atau swasta. Tanah itu sebagai alat untuk kesejahteraan hidup, atau justru dijadikan sebagai alat penindasan.
Hakekat kemerdekaan adalah perubahan struktur kepemilikan tanah, dari kolonialisme Belanda ke bangsa Indonesia. Namun pada kenyataanya, tidak serta merta terjadi demikian. Usaha-usaha yang dilakukan para pendiri bangsa kita untuk melakukan reforma agraria ternyata terhentikan di tengah jalan, berbarengan dengan terjadinya perubahan kekuasaan politik yang ada di Indonesia.
Kenapa perubahan struktur kepemilikan itu penting? Karena perubahan struktur kepemilikan serta penguasaan tanah dari kolonialisme dan imperialisme itu kepada bangsa Indonesia merupakan landasan utama kita membangun ekonomi nasional, membangun industri nasional, membangun kemandirian nasional, membangun kepribadian nasional, dan pertahanan nasional. Karena apa, karena di dalam dan di atas tanah air itu terdapat sumber daya alam yang berlimpah ruah, sebagai modal kita bangkit menjadi bangsa merdeka.
Menurut Bung Karno, “Revolusi Indonesia tanpa land reform adalah sama saja dengan gedung tanpa alas, sama saja dengan pohon tanpa batang, sama saja dengan omong besar tanpa isi!”
Namun sekarang, modal asing itu kembali menguasai sumber agraria kita, dalam bentuk konsesi-konsesi untuk hutan tanaman industri, perkebunan maupun pertambangan. Rakyat, yang memiliki kuasa penuh menurut Undang-Undang, kemudian dilepaskan ikatannya dari sumber-sumber agraria itu.
Semua sektor kehidupan bangsa ambruk! Pangan, sebagai kebutuhan mendasar bagi bangsa Indonesia untuk hidup, tidak mampu lagi dipenuhi oleh produksi dalam negeri. Sebut saja beras, kedelai dan daging. Bagaimana bisa Indonesia yang mayoritas penduduknya petani tidak mampu memenuhi kebutuhan beras, kedelai dan daging hasil produksi sendiri? Semua harus diimpor!
Mengapa demikian, apa gerangan sebab musababnya? Karena tanah air Indonesia kembali dikuasai asing, negara asing, modal asing, untuk kepentingan asing!
Kedaulatan Bangsa Indonesia roboh! Kemandirian Bangsa Indonesia rontok! Kepribadian Bangsa Indonesia sirna! Negara hanya menjadi Pelayan Modal Asing! Kehidupan bangsa Indonesia kembali terpuruk, menjadi gembel di negeri sendiri!
Kedaulatan bangsa sudah diserahkan sepenuhnya kepada modal asing, seperti yang diatur dalam UU Nomor 25 tahun 2007, dimana lahan disediakan oleh pemerintah untuk tananaman komoditi eksport, beratus-ratus ribu hektar lahan disediakan bagi modal asing itu. Inilah pokok masalahnya: mengapa untuk memenuhi kebutuhan kita harus impor?
Dimana kedaulatan serta keadilan, jika setelah 68 tahun kita memproklamirkan kemerdekaan, 95 persen dari 26 juta keluarga petani itu hanya memiliki tanah seluas 0,3 hektar.
Bung Karno sudah dengan tegas mengatakan : “Tanah tidak boleh menjadi alat penghisapan, tanah untuk Tani! Tanah untuk mereka yang betul-betul menggarap tanah!
Bandingkan dengan modal asing yang menguasai ratusan ribu hektar tanah itu, untuk kebun sawit, untuk menanam akasia, untuk mengeksploitasi tambang-tambang kita. Untuk siapakah itu semua? Untuk mencari keuntungan sebesar-besarnya bagi kepentingan modal asing itu. Saat ini asing menguasai 70 persen pertambangan minyak dan gas, 75 persen tambang batu bara, bauksit, nikel dan timah, 85 persen tambang tembaga dan emas, serta 50 persen menguasai perkebunan sawit.
“Temuan kami ada sekitar 150 juta hektar lahan di Indonesia luasnya. Dari 150 juta hektar itu baru 11% yang sudah clean and clear artinya peruntukannya sesuai dengan aturan yang ada,” jelas Wakil Ketua KPK Busyro Muqoddas. Artinya, sebanyak 89 persen dari 150 juta hektar itu dijadikan bancakan; rampokan bagi para pemilik modal (asing)! Dan puluhan juta keluarga petani kita hanya menguasai 0,3 hektar!
Ketua KPK Abraham Samad mengatakan, setiap tahun kekayaan kita yang lari keluar negeri hampir 20.000 trilyun!
Ini adalah pelanggaran konstitusi terbesar oleh para Pemimpin Negara kita! Pengkhianatan terhadap Proklamasi, UUD Proklamasi 1945, kedaulatan serta kemandirian bangsa, dan pengkhianatan terhadap segenap rakyat Indonesia!
Mari kita baca lagi Pasal 33 UUD Proklamasi 1945 :
- Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan.
- Cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara.
- Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Apa yang dilakukan oleh negara kita, negara bukan lagi sebagai alat dan pelayan dari bangsa Indonesia, tetapi sebagai alat dan pelayan modal!
Bahkan Panglima TNI yang baru saja dilantik, Jendral Moeldoko, juga sudah berikrar akan menjaga modal asing itu. Padahal sudah sangat jelas, bahwa modal asing itu merampok tanah air kita, sumber daya alam serta martabat segenap bangsa Indonesia!
Indonesia kembali dalam penguasaan VOC! Modal asing berkuasa, menguasai negara beserta alat-alatnya, untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya!
Maka konflik yang tidak berujung antara modal yang didukung oleh negara berhadapan dengan anak bangsa sendiri, yaitu masyarakat Indonesia terus terjadi di mana-mana. Konflik penguasaan tanah adalah konflik yang paling tua dan terus terjadi sampai sekarang, karena dari tanah itulah digantungkan kehidupan manusia.
Sak dumuk bathuk, sak nyari bumi!
Menurut data KPA, konflik lahan periode Januari hingga Juni 2012 mencapai 377.159 hektare dengan melibatkan sekitar 25.000 kepala keluarga di seluruh Indonesia, dengan 101 kasus.
Penguasaan dalam bentuk penjajahan ini sudah dipersiapkan secara sistematis, diawali dengan perubahan Konstitusi Negara, Undang-Undang, Peraturan-Peraturan, bahkan kepemimpinan Nasional dan perubahan-perubahan lembaga negara. Intinya, untuk melakukan penguasaan sumber-sumber agraria itu modal asing secara sistematis telah mengubah filosofi bangsa serta dasar negara, yang pada akhirnya menjadikan negara beserta aparatusnya, tergantung serta menjadi pelayan dan penjaga modal asing itu! Sistem ekonomi yang bersifat kekeluargaan dan gotong royong, digantikan dengan ekonomi liberal, menyembah kapital!
Kemiskinan, pengangguran, kemudian menjadi dampak yang akut. Rakyat hanya menjadi buruh atau buruh tani yang menggantungkan hidupnya kepada tenaganya, bukan kepada sumber-sumber agraria yang mestinya menjadi miliknya.
Mari coba kita tengok sejarah kepemilikan serta penguasaan tanah dalam sejarah bangsa kita. Sebelum kolonialisme masuk dan menguasai tanah air, kekuasaan sepenuhnya berada di tangan para Raja. Tanah milik raja, petani hanya memiliki hak garap tanah dan harus membayar upeti dari hasil panen. Ketika VOC masuk, tanah dijadikan sarana untuk mengeruk hasil bumi yang laku di pasar Eropa dengan jalan melakukan penaklukan terhadap raja-raja.
Pada masa Pemerintahan Herman Willem Deandels tahun 1808-18011, tanah mulai dijual ke swasta.
Inggris datang menguasai negeri kita, di bawah Raffles, 1811-116, yang memberlakukan sistem pajak tanah sebagai pengganti kebijakan yang diterapkan VOC. Raffles telah membuat satu perubahan fundamental, jika VOC memaksa rakyat membayar upeti, maka Inggris memperkenalkan pembayaran sewa yang nilainya sebesar dua pertiga hasil panen.
Bagi Raffles, semua tanah adalah eigendom (hak milik) pemerintah, sedangkan rakyat adalah pachter (penyewa), termasuk di dalamnya juga tanah ulayat. Raffles juga menghapus kekuasaan raja-raja.
Akibat perang Jawa pemerintahan kolonial bangkrut, untuk memulihkan ekonomi, di bawah Van den Bosch pada tahun 1830 memberlakukan sistem tanam paksa, pengganti sistem pajak tanah dengan kembali memanfaatkan pengaruh para bupati ini untuk memaksakan kebijakan tanam paksa itu.
Pada masa kekuasaan Van den Bosch rakyat betul-betul hidup menderita. Selain ditindas oleh Kolonial Belanda, juga ditindas oleh para Priyayi! Sistem Tanam Paksa menempatkan rakyat Indonesia kuli dinegeri sendiri!
Van den Bosch menjadikan perkebunan negara penghasil bahan-bahan ekspor, dan memberikan keuntungan yang sangat besar bagi negeri Belanda, menjadi pelampung bagi negeri Belanda yang hampir tenggelam.
Sistem tanam paksa dikritik serta dilawan dimana-mana, maka disusunlah UU baru, yang seolah-olah memberikan pengakuan terhadap status kepemilikan tanah rakyat. Akan tetapi, UU itu hanyalah memberi jaminan kepada modal asing untuk menguasai lahan-lahan di tanah air kita.
Agrarische Wet atau Undang Undang Pokok Agraria. Semua tanah rakyat yang tidak dapat dibuktikan kepemilikannya dinyatakan sebagai eigendom, sebagai tanah milik negara. Kalau ada seseorang yang mengaku bahwa sebidang tanah adalah hak miliknya, orang itu diwajibkan untuk membuktikan haknya itu. Hal seperti ini sama saja dengan situasi yang terjadi sekarang: jika tanah milik rakyat akan diambil oleh para pemodal itu melalui konsesi, mereka harus menunjukkan bahwa tanah itu milik mereka, padahal mereka sudah mendiami dan mengolah tanah itu turun temurun!
Agrarische Wet hanyalah memberikan jalan kepada modal besar asing agar berkembang di Indonesia. Melalui UU Agraria 1870, perkebunan besar merambah ke desa-desa, mengubah kehidupan petani. Petani memasuki era ekonomi uang dengan menjadi buruh upahan di perkebunan, petani menjadi kuli di negerinya sendiri.
“Bangsa Indonesia (karena kebijakan Agrarishce Wet) akan menjadi bangsa koelie, dan menjadi koelie diantara bangsa-bangsa!” kata Prof Van Gelderen. Dan hal itu terjadi sampai jaman sekarang ini. Undang-Undang Agraria 1870 menandai dimulainya jaman liberal: modal swasta mulai masuk menguasai tanah untuk perkebunan.
Menurut Hardjosudarmono (1970), selama tiga perempat abad, penguasaan tanah terbagi : (1) dari segi pemilikan tanah, dapat digolongkan: tuan tanah (pemilik tanah besar), pemilik tanah sedang, pemilik tanah kecil, dan golongan petani tak bertanah, (2) dari keadaan itu penggunaan tanahnya didapatkan: petani besar (tuan tanah yang mengerjakan tanahnya sendiri yang luas atau melepaskan pada orang lain untuk disewa tau membiarkan kosong), pemilik sawah sedang yang menjadi petani sedang, pemilik tanah kecil, petani yang tak punya sawah.
Cornelis de Jonge, Gubernur Jenderal Hindia Belanda yang berkuasa pada tahun 1931-1936, menjadikan target utama investasi asing ini adalah penguasan bahan mentah. Untuk menarik kapital asing, pemerintah kolonial memberlakukan sejumlah kebijakan murah investasi, seperti penghapusan pajak, politik upah murah dan jaminan kemananan terhadap aset dan operasi kapital asing.
Pada tahun 1931, Gubernur Jenderal De Jonge bicara di depan Volksraad (parlemen Hindia-Belanda), bahwa Perusahaan Eropa di Indonesia memberi pekerjaan kepada buruh Indonesia, menambah pajak untuk kas negara, dan menghasilkan barang-barang yang bisa dijual ke luar negeri. Karena itu, De Jonge memerintahkan agar perusahaan barat itu jangan diganggu, jangan ditimpali dengan pajak yang berat, dan janganlah ada gerakan kemerdekaan. Karena, menurutnya, kalau perusahaan Eropa itu diganggu, maka rumah tangga negeri dan kehidupan rakyat akan kocar kacir.
Apa bedanya pandangan Gubernur Jenderal De Jonge itu dengan pemerintahan sekarang ini?
Menurut Bung Hatta, kerusakan yang ditimbulkan modal asing adalah berpuluh-puluh kali lipat lebih besar dibanding jasa yang dihasilkannya. Pemikiran ala De Jonge alias Nederland denken ini ternyata dianut oleh Pemerintahan kita sekarang ini, menjadi mind-set para penyelenggara negara kita saat ini. Akibatnya, manisnya dimakan oleh kaum kapitalis asing, sampahnya menimpa rakyat Indonesia!
Tentara Jepang masuk, terjadi perubahan kebijakan tentang agrarian. Jika kolonialisme Belanda memusatkan pada penanaman tanaman komoditi untuk memenuhi permintaan pasar Eropa, Jepang memprioritaskan penanaman bahan pangan dan tanaman jarak untuk mendukung kebutuhan perang.
Saat Jepang masuk, perkebunan-perkebunan besar ditinggalkan Belanda maupun modal asing lainnya. Lahan perkebunan yang terlantar ini kemudian diambil alih oleh rakyat.
Merdeka adalah bebas dari kekuasaan feudalisme, kolonialisme maupun imperialisme. Nasional demokratis sebagai tahapan menuju masyarakat yang berdaulat, adil dan makmur. Menurut Muhammad Hatta, tanah-tanah perkebunan besar itu dahulunya adalah tanah rakyat, dan bagi bangsa Indonesia, tanah jangan dijadikan barang dagangan yang semata-mata digunakan untuk mencari keuntungan (komoditi komersial). Hal inilah yang menjiwai UUPA 1960.
Usaha-usaha yang dilakukan oleh para pendiri bangsa kita untuk mengubah penguasaan sumber agraria itu terus dilakukan. Pada tahun 1946, diadakan uji coba land-reform dengan penyusunan UU No. 13/1946 tentang Landreform di daerah Banyumas. Kemudian ada UU Darurat Nomor 13/1948 Landreform di daerah Istimewa Yogyakarta dan Surakarta. Pada tahun 1948 itu pula dibentuklah sebuah Panitia Negara yang bertugas mengembangkan pemikiran dalam rangka mempersiapkan Undang-Undang Agraria yang baru, Undang-Udang Nasional, untuk menggantikan UU Agraria kolonial 1870.
Namun usaha ini belum bisa dijalankan pada masa revolusi fisik, karena pemerintah sedang berkonsentrasi menjaga eksistensi negara akibat tekanan dari Belanda. Setelah situasi politik dan keamanan mulai stabil, Panitia Agraria Yogya (1948) dihidupkan kembali pada tahun 1951. Tahun 1957 Indonesia membatalkan perjanjian KMB, dan tahun 1958 menasionalisasi perkebunan-perkebunan besar milik asing, serta melalui UU No. 1/1958 menghapuskan tanah-tanah partikelir.
Dan pada akhirnya, setelah melalui proses panjang itu, pada tanggal 24 September 1960, DPR mengesahkan UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agaria yang kemudian dikenal sebagai UUPA Tahun 1960. Penjabaran terpenting dari UUPA 1960 adalah ditetapkannya UU No. 56/1960 yang kemudian dikenal sebagai UU Landrform, yaitu tentang penetapan luas tanah pertanian. Pada tanggal 24 September 1961, mulailah dilaksanakan program land reform itu. Hampir satu juta hektar tanah didistribusikan kepada petani penggarap. Namun belum selesai proses pelaksanaan land reform itu, Bung Karno dijatuhkan.
Ketika Orde Baru berkuasa, prinsip-pirinsip kedaulatan, kemandirian serta kepribadian, yang sudah diletakkan oleh para pendiri bangsa kita dikubur dalam-dalam, dengan menjadikan pertumbuhan ekonomi berbasis investasi sebagai pondasi utama. Reforma agraria dihentikan, UU Nomor 05 tahun 1960 dibekukan!
Pada tahun 1967 disusunlah undang-undang yang mengabaikan UUPA 1960, yaitu UU PMA, UU Pokok Kehutanan, UU Pokok Pertambangan.
Dari tahun ke tahun terjadi peningkatan jumlah petani gurem dan petani tak bertanah (buruh tani). Dari 26 juta rumah tangga petani di Indonesia, terdapat 11,1 juta yang tidak memiliki tanah sama sekali. Sedangkan sisanya rata-rata memiliki lahan hanya 0,3 hektar. Sementara 0,2 persen penduduk menguasai 56 persen aset nasional yang sebagian besar (87 persen) dalam bentuk tanah. Dengan demikian, terjadi ketimpangan penguasaan dalam pengelolaan tanah.
Mengenai ketimpangan penguasaan dalam pengelolaan tanah tersebut terlihat dalam data sektor kehutanan, perkebunan, dan pertambangan. Dari data-data yang dihimpun dari berbagai sumber, di sektor kehutanan, sekitar 17,38 juta hektar diberikan kepada 248 perusahaan dalam bentuk izin usaha penguasaan hasil hutan dan kayu dan 8,8 juta hektar untuk hutan tanaman industri, sektor perkebunan, sekitar 15 juta hektar untuk hak guna usaha.
Selanjutnya, 35 persen daratan kita dikuasai 1.194 pemegang kuasa pertambangan, 341 kontrak pertambangan, dan 257 kontrak pertambangan batu bara (Kompas, 6/1/2012).
Investasi ketiga sektor ini semakin meningkat sejak disahkannya UU Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Dari data berbagai sumber menunjukkan jumlah petani gurem dan petani tak bertanah semakin meningkat. Hampir 60 persen penerima beras untuk rakyat miskin adalah petani. Jutaan anak petani putus sekolah dan banyak petani yang kurang gizi.
Ketimpangan dalam penguasaan lahan inilah menjadi penyebab utama konflik pertanahan. Menurut Mochammad Tauhid, perebutan tanah berarti perebutan makanan, perebutan tiang hidup manusia. Untuk itu, orang rela menumpahkan darah, mengorbankan segala yang ada demi mempertahankan hidup selanjutnya.
Land reform adalah penataan ulang agraria termasuk peruntukannya. Pada masa Presiden B.J. Habibie, ada upaya meninjau kembali kebijakan landreform, tetapi belum berjalan sudah ada pergantian Presiden. Selanjutnya, Presiden Abdurahman Wahid menyatakan bahwa 30 persen dari tanah-tanah perkebunan itu seharusnya didistribusikan kepada rakyat. Pernyataan itu disambut rakyat dengan menduduki tanah-tanah yang dibiarkan terbengkalai.
Masalah agraria kembali terangkat ke permukaan seiring dengan tuntutan rakyat akan kebutuhan sumber-sumber agraria tersebut. Pada masa Presiden Megawati, MPR hasil pemilu 1999 membentuk BP Agraria, yang melahirkan TAP MPR No. IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam.
Isi TAP MPR Nomor IX/2001 itu memberikan mandat kepada Presiden maupun DPR agar mengambil langkah tindak lanjut. Ketika sampai dengan tahun 2003 ternyata tidak ada tanda-tanda tanggapan baik dari DPR maupun dari presiden. Walaupun pada masa akhir jabatannya Presiden Megawati mengeluarkan Keppres No. 34/2003 yang isinya memberi mandat kepada Badan Pertanahan Nasional (BPN) untuk melakukan penyusunan RUU mengenai penyempurnaan UUPA 1960, namun itupun juga tidak ada realisasinya.
Pada Pemerintahan SBY, ia menjanjikan redistribusi lahan untuk petani. Dan berdasarkan perintah SBY, Hendarman Supanji setelah dilantik menjadi Kepala BPN, tanggal 14 Juni 2012, menjanjikan dua hal: pertama, akan melaksanakan reforma agrarian; dan kedua, akan menyelesaikan konflik agraria.
Namun janji itu sampai sekarang belum ada penampakannya. Di sisi lain, konflik agraria semakin keras dan meningkat. Menurut Kepala Departemen Mitigasi Lingkungan dan Sosial Sawit Watch Norman Jiwan, sepanjang 2010 terjadi sekitar 660 kasus konflik agraria di kawasan perkebunan kelapa sawit. Sepanjang 2009, jumlah konflik agraria di kawasan perkebunan kelapa sawit berkisar 240 kasus. Kriminalisasi warga yang terlibat konflik naik dari 112 orang pada 2009 menjadi 130 orang lebih pada 2010. (lihat, Kompas, 5/1/11).
Sepanjang tahun 2011, Konsorsium Pembaharuan Agararia (KPA) mencatat terdapat 163 konflik agraria di seluruh Indonesia. Jumlah itu meningkat 35% dibanding tahun 2010 sebanyak 106 konflik. Tak hanya itu, terdapat 22 petani/warga yang tewas di wilayah-wilayah sengketa dan konflik agraria (lihat, Media Indonesia, 28/12/2011).
Konflik ini disebabkan karena aturan serta UU lebih banyak memberikan ruang kepada para pemilik modal (asing) untuk menguasai tanah. Misalnya, Peraturan Menteri Pertanian Nomor 26/ Permentan/OT.140/2/2007 yang mengubah batasan luas kebun sawit tiap perusahaan di satu provinsi dari 20.000 hektar menjadi 100.000 hektar. Dengan kemudahan mendapatkan izin konsesi dan hak penguaaan sumber agraria diperoleh oleh para pemilik modal, maka perampasan lahan milik petani semakin menggila.
Berkaitan dengan konflik agraria itu, menurut berbagai pihak, ada dua faktor utama penyebab tingginya konflik lahan: pertama, orientasi agraria nasional yang menjadi pelayan neokolonial, seperti UU Perkebunan, UU Migas, UU Minerba, UU Penanaman Modal, dan sebagainya. Kedua, dikedepankannya penyelesaian konflik secara represif (kekerasan) daripada persuasif. Selain itu, konflik sengketa lahan juga makin rumit dengan melibatkan spekulan, mafia tanah dan makelar.
“Nyata sekali, bahwa semangat harimaunya sudah dijinakkan sampai kutu-kutunya dan bahwa (mereka) tak luput dari bekerjanya obat tidur penjajahan yang lama dibawah bangsa asing yang lebih kuat!” kata Bung Karno (Indonesia Menggugat).
Bagaimanapun juga, untuk membangun ekonomi nasional menuju masyarakat Indonesia yang adil dan makmur, lahir serta batin, masalah agraria merupakan masalah mendasar dan mendesak. Dan ingat! Sampai sekarang UUPA Nomor 05 tahun 1960 belumlah dicabut. Untuk itu, mestinya landasan dalam menyusun UU yang berhubungan dengan penggunaan sumber agraria itu tidak boleh bertabrakan dengan UUPA 1960 tersebut. Misalnya UU Penanaman Modal, UU Migas, UU Kehutanan, UU Perkebunan, UU tentang Air dan lain-lain.
Jika cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945 mau ditegakkan kembali, mau tidak mau semua produk UU yang bertentangan dengan kepentingan nasional harus dicabut, dengan mengembalikan semangat UUD Proklamasi 1945, yang anti kolonialisme dan imperialisme.
Perjuangan untuk menegakkan kedaulatan serta martabat bangsa ini memang tidak mudah, dan pasti akan menghadapi kekuatan besar, maka dibutuhkan kekuatan besar pula, tekad yang besar pula, hanya persatuan nasional, konsentrasi kekuatan nasional, dari unsur-unsur dan seluruh kekuatan rakyat yang ingin menegakkan kembali kedaulatan, kemandirian dan kepribadian bangsa itu sebagai jalan dan prasyarat menuju masyarakat Indonesia yang adil makmur.
Kita harus sadar, untuk melemahkan semangat kebangsaan, kekuatan imperialis akan menggunakan segala cara untuk memecah belah bangsa kita, memperlemah kekuatan kita, menghilangkan identitas kita sebagai sebuah bangsa, menempatkan kita menjadi bangsa yang selalu bergantung dengan modal asing itu.
Sudah saatnya bangsa Indonesia percaya dengan kekuatan sendiri. Tidak ada alasan lagi kita menjadi bangsa ke tiga yang hanya menjadi sasaran eksploitasi dari bangsa lain, menjadi obyek penghisapan modal asing.
Kita memiliki segalanya, kekayaan sumber daya alam tidak ada bandingannya, sumber daya manusia kita juga sudah cukup. Yang belum terbangaun adalah kesadaran nasional, kepercayaan diri secara nasional, mengkonsentrasikan kekuatan nasional, untuk membangun kepemimpinan nasional yang mau berjuang bersama rakyat, untuk bergotong royong merebut kembali kekayaan sumber daya alam, memenangkan kembali cita-cita proklamasi 17 Agustus 1945, meletakkan Pancasila dan UUD Proklamasi 1945, sebagai filosofi dan dasar negara untuk menegakkan kedaulatan, kemandirian dan kepribadian, sebagai prasyarat menuju masyarakat adil makmur, lahir batin.
Mari, kita jangan terlalu lama tidur di bawah tipu muslihat imperialis dan para kompradornya! Saatnya kita bangkit, dengan tekad baja, semangat yang menyala-nyala, bergotong royong merebut kembali hak kita, merebut kembali tanah air kita, sumber daya alam kita, martabat kita sebagai bangsa, tumbuhkan kepercayaan diri, berdiri di kaki sendiri, demi anak cucu kita, untuk kemakmuran hidup bersama, meneruskan cita-cita para pendiri bangsa kita!
Selamat Berjuang!
Salam Gotong Royong!
Agus Jabo Priyono
Tidak ada komentar:
Posting Komentar