Revolusi
kita bukan sekadar mengusir Pemerintahan Belanda dari Indonesia.
Revolusi kita menuju lebih jauh lagi daripada itu. Revolusi Indonesia
menuju tiga kerangka yang sudah terkenal. Revolusi Indonesia menuju
kepada Sosialisme! Revolusi Indonesia menuju kepada Dunia Baru tanpa
‘exploitation de l‘homme par l‘homme’ dan ‘exploitation de nation par
nation’.
Soekarno
Kata-kata di atas merupakan
isi pidato Bung Karno pada tanggal 17 Agustus 1964. Pidato itu, yang
kemudian dinamai “Tahun Vivere Pericoloso-TAVIP”, merupakan jawaban gamblang Bung Karno terhadap mereka yang mengira pergerakan Kemerdekaan Indonesia berakhir dengan terusirnya Belanda dari Indonesia.
Dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia, diskursus sosialisme sangat dominan. Hampir semua spektrum politik pergerakan nasional, yakni nasionalis, agamais, dan marxis, mengakui cita-cita sosialisme dengan berbagai variannya.
Bung Karno, yang sering ditempatkan di spektrum kaum nasionalis, sangat lantang menyatakan bahwa sosialisme merupakan tujuan akhir dari perjuangan kemerdekaan Indonesia. Itu sangat nampak dalam tulisan-tulisan dan pidato Bung Karno.
Dalam artikel berjudul “Mencapai Indonesia Merdeka”, yang ditulis tahun 1933, Bung Karno tegas mengatakan, “maksud pergerakan kita haruslah: suatu masyarakat yang adil dan makmur, yang tidak ada tindasan dan hisapan, yang tidak ada kapitalisme dan imperialisme.”
Dalam tulisannya itu, Bung Karno juga mempertegas bahwa Indonesia merdeka hanyalah “jembatan emas”. Artinya, kemerdekaan hanyalah “penghubung” antara perjuangan rakyat Indonesia dengan cita-citanya yang lebih tinggi, yakni masyarakat adil dan makmur.
Namun, penjelasan lebih rinci dari cita-cita sosialistik Bung Karno terangkum dalam buku “Sarinah”, yang merupakan kumpulan kuliah Bung Karno dalam kursus Wanita di Jogjakarta tahun 1946. Di situ Bung Karno menguraikan pengertiannya mengenai sosialisme dan syarat-syarat untuk mewujudkannya.
Yang menarik, Bung Karno mengajukan pertanyaan, bisakah masyarakat yang terbelakang (belum mengenal listrik, surat kabar, radio, rumah sakit, baca-tulis, dan lain-lain), bisa mencapai sosialisme? Menurut dia, masyarakat terbelakang semacam itu, sekalipun di dalamnya tidak ada kapitalisme, tidak ada imperialisme, tidak ada feodalisme, tidak bisa mewujudkan sosialisme.
Alasannya sederhana: masyarakat semacam itu tidak bisa mendatangkan kesejahteraan sosial. Sebab, bagi Bung Karno, esensi dari sosialisme adalah kesejahteraan sosial atau kemakmuran bagi semua orang. Dan sebagai syaratnya: harus ada kepemilikan pabrik yang kolektif; ada industrialisme yang kolektif; ada produksi yang kolektif; dan ada distribusi yang kolektif.
Bung Karno meyakini, supaya kesejahteraan kolektif bisa tercapai, harus ada kemajuan teknik dan kemajuan pengetahuan. Ini sejalan dengan proposisi marxisme, bahwa perkembangan kekuatan-kekuatan produktif, yang di dalamnya mencakup kemajuan teknik dan kecakapan manusia, yang tidak dirintangi hubungan-hubungan produksi—kalau dirintangi, akan dijebol melalui “Revolusi”—melahirkan perubahan corak produksi.
Bung Karno sendiri mengatakan, “alat-alat teknik, dan terutama sekali semangat gotong-royong yang telah masak, itulah soko-gurunya pergaulan hidup yang sosialistik.” Artinya, kemajuan kekuatan-kekuatan produktif, terutama kemajuan teknik dan kecakapan manusia, harus disertai dengan relasi produksi yang bersifat gotong-royong.
Masalahnya, kata Bung Karno, dalam konteks Indonesia yang masih terjajah, syarat-syarat menuju sosialisme itu dirintangi oleh kolonialisme (penindasan nasional) dan feodalisme. Karena itu, dalam kerangka perjuangan menuju sosialisme, revolusi Indonesia harus melalui tahapan-tahapan yang berkesinambungan (bukan tahapanisme yang terpisahkan oleh tembok China ala Stalinisme).
Bung Karno selalu berpesan, “sosialisme Indonesia sebagai hari depan Revolusi Indonesia bukanlah semata-mata ide ciptaan seseorang “in een slapeloze nacht” (dalam satu malam yang tidak tidur), juga bukan suatu barang yang diimpor dari luar negeri, atau sesuatu yang dipaksakan dari luar masyarakat Indonesia, melainkan suatu “reaktief verzet van verdrukte elementen” (perlawanan penentangan daripada anasir/kaum yang tertekan), suatu kesadaran sosial yang ditimbulkan oleh keadaan sosial Indonesia sendiri, suatu “historische Notwendigkeit”, suatu keharusan sejarah.”
Dengan demikian, dalam konteks sosialisme Indonesia, sosialisme harus merupakan hasil “penciptaan yang heroik”, yang sesuai dengan karakteristik dan kekhususan masing-masing bangsa. Bung Karno menolak sosialisme yang dicopy-paste dari luar atau sosialisme tiruan.
Lebih lanjut, Bung Karno menjelaskan, kendati sosialisme itu adalah keharusan sejarah, tetapi ia tidak seperti “datang seperti embun diwaktu malam dengan sendirinya”. Sosialisme sebagai keharusan sejarah hanya dapat direalisasi melalui kesadaran dan tindakan manusia.
Untuk merealisasi sosialisme sebagai keharusan sejarah itu, Bung Karno membentangkan jalannya: fase nasional-demokratis dan fase sosialisme. Dalam fase nasional demokratis, kita akan mendirikan Negara Indonesia yang merdeka dan demokratis. Sedangkan dalam fase sosialisme, kita akan mendirikan sosialisme.
Dalam fase nasional demokratis, sasaran pokok revolusi adalah mengakhiri penindasan nasional (kolonialisme/imperialisme) dan menghancurkan sisa-sisa feodalisme. Dalam fase ini, perjuangan kita adalah meremukkan kolonialisme di lapangan politik, ekonomi, dan sosial-budaya. Selain itu, akan dijalankan land-reform sebagai upaya menghapuskan hak-milik tuan feodal dan mendemokratiskan kehidupan rakyat di pedesaan.
Dalam fase nasional-demokratis ini, ungkap Bung Karno, kita juga menyiapkan syarat-syarat untuk dimulainya fase selanjutnya, yakni revolusi sosialis. Syarat-syarat itu, antara lain, memajukan teknik/industrialisasi, mencerdaskan kehidupan rakyat, mendorong demokratisasi seluas-luasnya, dan mendorong produksi di bawah kontrol komunitas atau masyarakat.
Dalam buku “Sarinah”, Bung Karno menyatakan bahwa konstitusi kita, yakni UUD 1945, mencerminkan transisi dari negara nasional borjuis menjadi negara sosialis. “Undang-Undang Dasar kita adalah Undang-Undang Dasar sebuah negara yang sifatnya di tengah-tengah kapitalisme dan sosialisme,” kata Bung Karno.
UUD 1945 itu, kata dia, di satu sisi kakinya masih berpijak dalam bumi burgerlijk (kapitalistik), tetapi di dalam kandungannya telah hamil dengan kandungan masyarakat sosialis. Inilah konsep negara peralihan ala Bung Karno, yakni sebuah negara yang sedang melakukan transisi ke sosialisme.
Kemudian, tahap yang kedua, yakni revolusi sosialis, yang mengarah pada perwujudan sosialisme Indonesia, yang tidak ada lagi kapitalisme dan l’exploitation de l’homme par I’homme.
Salah satu ciri utama dari sosialisme adalah kepemilikan sosial terhadap alat produksi. Dan ini, seperti ditekankan oleh Bung Karno, negara hanya berfungsi sebagai organisasi atau alat, tetapi pemilikan sosial yang sesungguhnya harus di tangan rakyat.
Dengan pemilikan alat produksi di tangan rakyat, kemudian perencanaan produksi oleh rakyat, dan juga tujuan produksi adalah untuk memenuhi kebutuhan rakyat, maka cita-cita masyarakat adil dan makmur bisa direalisasikan di bumi Indonesia ini.
Timur Subangun, kontributor Berdikari Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar