Kamis, 19 September 2013

Hikayat Negara Depok


Gedoran Depok: Revolusi Sosial di Tepi Jakarta, 1945 – 1955 (2011). Penulis: Wenri Wanhar. Penerbit: Telahsadar, Depok.

Lewis Mumford dalam The City in History menganggap sejarah asal mula kota penuh misteri. Masa lalu seolah terkubur bersama pertanyaan tanpa jawaban. Dan begitulah Depok hari ini. Deretan perumahan, kampus, dan sejumlah tempat hang out dengan berbagai fasilitas mengesankan kota ini lahir dalam keadaan langsung dewasa. Depok seakan minus masa kecil, masa di mana ia mulai dilahirkan.
Pembahasan melalui karya atas wilayah yang kini menjadi kotamadya di Jawa Barat ini bisa dihitung dengan jari. Akan tetapi, belum lama ini, di tengah keheningan sejarah dari wilayah yang kini jumlah penduduknya sekitar 1,7 juta jiwa, muncul sebuah karya besutan Wenri Wanhar berjudul Gedoran Depok; Revolusi Sosial di Tepi Jakarta 1945-1955. Sebagaimana judulnya, karya ini menggedor pengetahuan sejarah kita. Benak akan terhenyak sebab di dalamnya dipaparkan bahwa wilayah yang bersebelahan dengan ibu kota negara Indonesia, Jakarta, ini sempat menjadi semacam republik.

Republik Depok?
Siapa sangka kota di dalam Republik Indonesia itu ternyata awalnya ‘Republik’ Depok. Jangan bayangkan Depok pada masa itu seluas sekarang. Wilayahnya hanya sekitar 1.224 hektar. Teritori Depok ini merupakan tanah milik seorang kaya raya mantan pegawai VOC (Perserikatan Perusahaan Dagang Kerajaan Belanda di Hindia Timur). Ialah Cornelis Chastelein, tuan tanah berdarah Perancis-Belanda, sang empunya Depok. Sebagaimana dilansir koran di Jakarta, Kompas (22/12/11), bahwa dalam testamennya, Chastelein menginginkan tanahnya itu kelak menjadi semacam komunitas sejahtera, suatu “perhimpoenan masehi jang indah”.

Waktu berganti, dan setelah Chastelein menutup mata, Depok menggeliat. Tak sekadar menjadi komunitas, sebagaimana diinginkan sang pendiri, Depok bermetamorfosa menjadi negara. Akan tetapi, tentu saja, jangan bandingkan dengan kriteria negara pada era kekinian yang kian kompleks dengan berbagai lembaga dan kelengkapan. Pada 1871, seorang advokat bernama Mr. M.H. Klein membantu proses peletakan batu pertama berdirinya Pemerintahan Otonom Depok semacam ‘Desa Republik’.

Berikutnya, bentuk Depok lebih dipertegas dengan lahirnya Reglemen Van Het Land Depok (regulasi negara Depok) pada kisaran 1886. Setelah mengalami beberapa revisi, pada awal 1913, reglemen van het land Depok kembali direvisi dan ditandatangani oleh G. Jonathans selaku Presiden Depok dan M.F. Jonathans selaku sekretaris. Di dalamnya terdapat penjelasan tentang struktur pemerintahan Depok, yakni Vergaderingen, Commissarissen, dan Bestuur, yang dipimpin oleh presiden dengan masa jabatan tiga tahun. Setelah itu dilakukan pemilihan umum untuk menentukan siapa presiden Depok berikutnya berdasarkan suara terbanyak. Untuk menjalankan tugasnya, presiden Depok dibantu oleh sekreteris, bendahara, dan beberapa petugas.

Selain secara administratif merupakan daerah otonom bercorak republik, secara geografis Depok dapat dimasukkan dalam kategori negara kota. Dalam teori politik klasik, negara kota atau polis selalu merujuk pada Athena di Yunani. Sebagaimana Depok yang diharapkan Chastelein menjadi tempat sejahtera dan tenteram, demikian pula Pericles, petinggi Athena, mengharapkan nasib Athena yang beradab. Namun apa mau dikata, sejarah berkata lain. Ketenangan Athena diobrak-abrik tentara Sparta. Jika keruntuhan Athena ditandai oleh perang Peloponnesia, maka runtuhnya kedaulatan Depok sebagai city state ditandai oleh Gedoran.
Gedoran Depok bukan sekadar penjarahan sebagaimana arti kesekian dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia. Peristiwa ini tak lahir di ruang kosong. Selayaknya bangsa Athena yang diserang bangsa Sparta, demikian pula yang terjadi di Depok. ‘Bangsa Depok’ yang juga kerap disebut ‘Kaoem Depok Dalam’ digedor oleh laskar rakyat. Peristiwa yang meletus pada 1949 ini bermula dari sikap ‘Bangsa Depok’ yang terkesan tidak mengakui kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945. Hal tersebut diakui oleh putera dari Johanes Matheis Jonathans, presiden Depok terakhir, sebagaimana direkam Wenri Wanhar dalam Gedoran Depok. “1945 belum merdeka! Peristiwanya dadakan. Tiba-tiba Jepang menyerah setelah Hiroshima dan Nagasaki dibom. Jadi pemerintahan di sini kosong…” demikian papar Cornelis Josef Jonathans yang akrab disapa Opa Yoti.

Agaknya sikap politik ini satu dari sekian pemicu yang memercik benturan. Sebab, faktor lain juga mempertontonkan ketimpangan dan perbedaan mencolok seperti halnya gaya hidup dan identitas budaya orang Depok pada masa itu yang cenderung beraroma Belanda. Dalam cara pandang alam revolusi, fenomena perbedaan identitas ini melahirkan gesekan horizontal sebab laskar rakyat akan melihat ‘Orang Depok Dalam’ sebagai the others yang identik dengan pihak yang sedang mereka perangi, Belanda.

Kaoem Depok atau Bangsa Depok
Siapa sebenarnya orang Depok? Banyak pendapat mengenai identitas ataupun penamaan orang Depok. Ada yang menyebut ‘Kaoem Depok’, ‘Orang Depok Dalam’, atau ‘Belanda Depok’. Istilah yang terakhir ini kurang disenangi. Dalam perspektif antropologi, pengamat Depok Graafland menyebut mereka sebagai Mixtum Compositum. Keragaman suku yang membentuk komposisi masyarakat Depok membuatnya terlihat sebagai komposisi campuran.

Tapi, dari mana berbagai suku itu datang? Sebagaimana tertulis dalam Het Testamen Van Cornelis Chastelein, bahwa asal mula suku yang beragam itu berawal dari niatan Chastelein membangun tanahnya yang luas sehingga ia membutuhkan banyak budak. Ratusan budak ia datangkan dari berbagai daerah seperti Bali, Makassar, Betawi, Benggala, Timor, dan sebagainya. Setelah wafat, Chastelein dalam wasiatnya memerdekakan para budak dan keturunan mereka dengan sarat mengikuti ajaran Chastelein dan menggunakan marga di belakang nama mereka. Satu dari dua belas marga boleh mereka pilih: Loen, Jonathans, Soedira, Bacas, Leander, Zadokh, Samuel, Tholense, Jakob, Iskah, Laurens, dan Joseph.
Selain itu, keragaman juga ditambah dengan masuknya wanita berdarah Melayu atau kembang desa, serta tak jarang terjadi pernikahan campur dengan wanita berdarah Tiong Hoa atau Eropa. Alhasil, keragaman etnik dan ras demikian berwarna di Depok. Jika di Jawa dikenal “kebudayaan Indis” di kalangan priayi, maka di Depok kebudayaan separuh Eropa separuh pribumi itu dipraktikkan di kalangan keturunan mantan budak. Tengoklah nama presiden Depok yang menandatangani Reglemen. Di belakang namanya yang tertulis dengan inisial ‘G,’ ia menggandengkan marga Jonathans, satu dari dua belas marga khas Depok. Itu menandakan bahwa G. Jonathans, sang Presiden, merupakan keturunan mantan budak Chastelein. Fakta ini sekaligus merontokkan tesis Aristoteles yang mengatakan bahwa bekas budak tidak bisa menjadi aristokrat.
Dalam keseharian, selain bergaya hidup Eropa, orang Depok terbilang hidup dalam kemewahan. Mereka memiliki saluran irigasi yang baik, sawah dengan panen berlimpah, ternak, dan rumah gedong. Ini jauh berbeda dengan warga kampung di sekitar Depok yang hidup dalam serba kesulitan sebagai rakyat terjajah dalam era revolusi. Sedikit banyak, realitas ekonomi yang timpang tersebut melengkapi sarat pecahnya Gedoran.

Perbedaan ini diperuncing dengan perbedaan budaya dan sikap politik yang menolak kemerdekaan Indonesia 1945. Alhasil, dalam bahasa sederhana dan dalam perspektif wilayah lain, ‘Kaoem Depok’ pada masa itu diidentifikasi sebagai bagian dari kolonial, sebagai bangsa yang memerintah, pro Belanda, dan kontra revolusioner. Sehingga, dalam pandangan laskar rakyat, mereka harus diperangi dan direbut. Depok kemudian mengakui kedaulatan Indonesia pada 1949 dan sovereiniteit overdracht (penyerahan kedaulatan) secara administratif selesai sekitar 1952 dengan pengaturan pembagian tanah eigendom.

Sumber : lenteratimur.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar