Manifesto PRD




Menuju Masyarakat Adil Makmur
Tanpa Penindasan Manusia Atas Manusia Dan Bangsa Atas Bangsa

I.             JALAN PANJANG MEMBANGUN NASION
A.            Pasang Surut Membangun Nasion

Tahap pasang surut membangun nasion di masa feodalisme
Sejarah bangsa-bangsa di Nusantara adalah juga sejarah membangun persatuan dalam menghadapi penjajahan asing. Sebagai sebuah peradaban, masyarakat Nusantara sudah memiliki cara produksi yang mandiri yaitu gotong-royong dan terbuka pada pengaruh luar yang tidak eksploitatif. Interaksi antar kerajaan-kerajaan Nusantara sendiri semakin dipertajam melalui hubungan perdagangan. Hubungan ini kian lancar karena semakin terintegrasinya kepentingan ekonomi, politik dan budaya di Nusantara, meskipun proses integrasi ini bisa disertai penaklukan. Sejarah mencatat adanya kemajuan-kemajuan dari proses integrasi itu seperti konsep Bhineka Tunggal Ika dan terbentuknya bahasa pergaulan terutama di dunia dagang di Nusantara yang menjadi cikal bakal bahasa Persatuan Indonesia.
Interaksi dengan peradaban luar itu diakui telah memajukan tenaga produksi, tetapi juga membentuk masyarakat feodal hirarkis-asiatik. Pengaruh kebudayaan luar, India dan Tiongkok, kemudian Islam tampak begitu kuat dalam tata sosial dan politik di Nusantara sampai pada datangnya bangsa-bangsa penjajah dari Barat yang dengan ganas menghancurkan impian raja-raja kecil di Nusantara pasca ambruknya Negara Maritim Majapahit untuk membangun kota-kota dagang yang berpengaruh. Walau begitu di tengah gencarnya proses kolonisasi yang mulai mengarah ke Nusantara pasca Malaka jatuh ke tangan Portugis, 1511, karakter Nusantara yang bersatu tetap muncul dan bertahan. Adipati Unus alias Pangeran Sabrang Lor tampil memimpin persatuan bangsa-bangsa di Nusantara menghadapi  intervensi asing.

Penghancuran oleh kolonialisme
Namun kerajaan-kerajaan Nusantara terbukti tidak sanggup melawan intervensi kolonialisme Barat. Satu persatu dengan politik adu domba ditekuk atau dipaksa bertekuk pada sang penjajah dari negeri kecil di Eropa, yang kita kenal sebagai Belanda. Hindia Belanda menggantikan Nusantara. Nusantara semakin tak lagi dapat diingat di bangku sekolah bersamaan dengan proses penghancuran peradaban Nusantara oleh kolonialisme. Penindasan, penghinaan dan pelecehan akibat  kolonialisme menimbulkan kesadaran sebagai bangsa senasib-sepenanggungan. Max Havelar, karya Multatuli semakin menyadarkan banyak kaum terpelajar tentang kondisi keterjajahan dan betapa menderitanya rakyat Hindia Belanda.
Kesadaran Nasional yang bersifat modern muncul pada  pendirian Serikat Priyayi, 1907, dengan pimpinan Tirto Adhi Soerjo. Bersama Medan Prijaji, Tirto Adhi Soerjo mendorong kembali bahasa Melayu yang dikenal rakyat Nusantara sebagai bahasa lingua franca menjadi bahasa untuk membangkitkan kesadaran nasional akan adanya kolonialisme. Sejak itu pergerakan nasional untuk kemerdekaan tumbuh berkembang di pelosok Nusantara melawan penjajahan, hendak merobohkannya dan mendirikan Negara baru yang merdeka, adil dan makmur bernama Indonesia, Indonesia yang tentu saja berbeda 180 derajat dengan Hindia Belanda yang terjajah. Penemuan Indonesia ini, sebagai tanah air baru dengan cita-cita baru tentu saja adalah bagian dari semakin berkembangnya tuntutan politik  untuk kemerdekaan yang oleh Bung Karno disebut sebagai Jembatan Emas.


Pembangunan Nasion (1945-1965)

Alangkah membanggakan jiwa kemerdekaan Bangsa Indonesia ini. Untuk pertama kalinya dalam sejarah beratus-ratus tahun perjuangan negara jajahan, rakyat Indonesia bisa mencapai kemerdekaan tanah-air. Proklamasi kemerdekaan itu adalah pekik “berhenti” kepada penjajahan.
Sangat membanggakan pula, karena kemerdekaan Indonesia bukan hadiah dari pihak kolonialis, melainkan hasil perjuangan yang gigih dari Rakyat Indonesia dan terutama, para pemuda revolusioner. Pemuda-pemuda revolusioner inilah yang sesudah mendengar kekalahan Jepang pada tanggal 14 Agustus 1945, mendesak Bung Karno dan Bung Hatta untuk memproklamasikan kemerdekaan dan berdirinya Republik Indonesia yang berdaulat, 17 Agustus 1945.
Hanya sehari setelah proklamasi kemerdekaan, pihak kolonialis mulai berbalap untuk kembali menguasai dan menjajah Indonesia. Usaha ini dilawan dengan gagah berani oleh pemuda dan rakyat Indonesia. Hanya dalam sehari itu pula, negara muda ini berhasil menyusun dan menyempurnakan syarat-syarat sebagai negara modern, yaitu menyusun konstitusi Republik Indonesia (UUD), memilih presiden dan wakil presiden, dan membentuk parlemen sementara (dalam hal ini, Komite Nasional Indonesia Pusat-KNIP). Kaum terpelajar di daerah-daerah mulai membentuk pemerintahan setempat dan menyatakan dukungan  kepada pemerintahan Republik, yang dipimpin Sukarno-Hatta.
Di lapangan ekonomi, semua milik imperialis, perkebunan-perkebunan, tambang-tambang, pabrik-pabrik, bank-bank dan alat-alat pengangkutan disita Republik. Meskipun, karena berbagai tekanan dari agresi pihak musuh, perusahaan-perusahaan tersebut beralih tangan kembali atau ditinggalkan.
Di Lapangan Ikada, Jakarta, 19 September 1945, Sukarno menegaskan kembali kemerdekaan Indonesia di hadapan puluhan ribu massa rakyat; “Kita akan tetap mempertahankan kemerdekaan kita. Kita tidak akan mundur satu patah kata pun. Sekali merdeka tetap merdeka!”
Buah dari perjuangan rakyat di segala lini adalah membesarnya tenaga-tenaga revolusi nasional di seluruh aspek kehidupan rakyat Indonesia. Kita, bangsa Indonesia memekikkan “Merdeka atau Mati”.
Perjuangan rakyat Indonesia sampai tahun 1950, mengikuti penamaan Bung Karno, disebut sebagai revolusi fisik atau tahap mempertahankan kekuasaan yang berhasil direbut dari tangan imperialis. Meskipun, patut dicatat, capaian perundingan Konferensi Meja Bundar (KMB) tahun 1949 merugikan pihak Republik. Hasil perundingan tersebut antara lain menyatakan tanah Papua tetap menjadi jajahan Belanda, dan utang kolonial harus dilunasi oleh Republik.
Selanjutnya, tahun 1950-1955 disebut sebagai tahap survival, yaitu periode bertahan dari penderitaan dan luka-luka akibat kolonialisme. Republik baru ini hampir saja dikoyak-koyak oleh provokasi imperialis, baik melalui gerakan separatis di berbagai daerah maupun sabotase ekonomi dan politik, namun ternyata kita sanggup bertahan dan melewati itu.  Bahkan, di tahun 1955 kita sanggup menjalankan pemilu secara aman dan demokratis.
Tahap ketiga, yaitu tahun 1956, disebut juga tahun penentuan ( “a year of decision”), merupakan tahap untuk menghentikan penyelewengan-penyelewengan dan membetulkan arah perjuangan bangsa kita. Kemudian tahun 1959 disebut sebagai tahun “penemuan kembali revolusi kita” (rediscover our revolution).
Dalam tahap ini, perjuangan nasional kita telah berhasil melikuidasi hasil perjanjian KMB, menghapus utang-utang Hindia-Belanda, merebut kembali asset-aset strategis dari tangan imperialis, dan berjuang untuk bergabungnya Papua dengan Republik. Pada tahun 1961, telah diletakkan proyek besar bernama Sosialisme Indonesia.
Periode ini kita sebut sebagai perjuangan membangun nasion dan karakter bangsa Indonesia (national and character building). Sebagai bagian dari itu, telah dirumuskan tiga prinsip utama perjuangan nasional, yaitu Tri Sakti; berdaulat di bidang politik, berdikari di bidang ekonomi, dan berkepribadian secara budaya.
Semangat Tri Sakti tidak hanya digunakan untuk perjuangan nasional di dalam negeri, namun juga dalam politik internasional.


Nation and character destruction
Tampilnya Jendral Soeharto pasca G 30 S 1965 sampai dengan jatuhnya Bung Karno dari tampuk pimpinan Revolusi adalah titik balik dari proses pembangunan nasion Indonesia. Proses penghancuran pembangunan nasion Indonesia ini tak pelak untuk memuluskan rencana pembangunan mereka. Agar tanpa gangguan, penghancuran pun dilaksanakan dengan kekejian pada kemanusiaan. Ratusan ribu rakyat yang dianggap sebagai pendukung politik Bung Karno dibunuh, disiksa dan dipenjarakan. Berbagai organisasi yang dianggap bisa membangkitkan ingatan politik pada masa bergolak Revolusi Belum Selesai pun dihancurkan dan dilarang beraktivitas. Kehidupan politik Rakyat dikontrol.
Ini berarti kebalikan dari proses nation and character building seperti yang dicita-citakan Bung Karno. Tak ada cita-cita Indonesia berdaulat di bidang politik. Tak ada cita-cita Indonesia Berdikari di bidang ekonomi. Tak ada cita-cita Indonesia berkepribadian dalam bidang kebudayaan. Yang ada adalah menerima kembali kolonialisme. Modal Asing yang sudah ditolak kembali diterima melalui UU Penanaman Modal Asing tahun 1967 sebagai tindak lanjut dari Konferensi Jenewa bulan November 1967. Sejak tahun 1967 itulah, orientasi pembangunan terus melayani kepentingan modal asing dan peran modal asing terus diperkuat untuk mengelola dan mengeruk kekayaan alam Indonesia.
Proses nation and character destruction pun terus berlangsung. Partai-partai politik dikerdilkan. Rakyat dijauhkan dari kehidupan politik praktis dan dibiarkan menjadi massa mengambang yang tak perlu tahu nasib bangsanya. Pemilu demi Pemilu dilaksanakan untuk menampilkan wajah demokrasi Soeharto yang tak lain adalah alat legitimasi kekuasaan politik Soeharto. Politik gaya kolonial kembali tampil: adu domba sesama rakyat sambil terus merawat fobia terhadap komunisme disertai intimidasi agar selalu mendukung kekuasaan Soeharto. Pancasila pun hanya dijadikan alat untuk membungkam kesadaran kritis rakyat terhadap pemerintah Soeharto dengan tuduhan anti pembangunan dan anti Pancasila. Kebudayaan dalam artian seni tradisional rakyat Indonesia semakin terpuruk dan tenggelam dalam hingar-bingar budaya kapitalistik, hedonis dan konsumtif, dan sering kali mati tanpa pembelaan.
Dalam merancang pembangunan, Indonesia menjadi negeri yang tergantung pada lembaga-lembaga asing: terutama IMF dan World Bank. Hutang Luar Negeri terus membengkak sementara derajat kesejahteraan rakyat terus merosot bersamaan krisis ekonomi tahun 1997. Inikah negeri yang hendak dimerdekakan pada 17 Agustus 1945? Tentu saja tidak. Pembangunan yang tak berorientasi pada rakyat dan tak memberikan ruang demokrasi ini membawa Soeharto pada keruntuhannya, Mei 1998.


B.            Di Bawah Belenggu Neokolonialisme Baru
Pergeseran Dari Unipolar ke Multipolar
Krisis kapitalisme, dan dunia yang berganti rupa. Begitulah perumpamaan untuk menjelaskan perubahan penting di tingkat dunia saat ini. Untuk pertama-kalinya setelah 21 tahun, dunia yang digenggam sendirian oleh imperialisme Amerika Serikat (AS), kini bergeser ke banyak kutub. Dengan penuh antusias, kita menyambut pergeseran ini sebagai pertanda hadirnya dunia baru; dari unipolarisme menjadi multipolarisme.
Sejak perang dunia kedua berakhir, AS bangkit menjadi imperialis nomor satu dunia, mengalahkan negara-negara kolonial sebelumnya. Namun kebangkitan ini masih tertahan oleh kebangkitan Soviet dan kubu sosialis di sepertiga dunia saat itu. Ada polar lain yang mampu mengimbangi. Maka, sesaat setelah runtuhnya Sovyet dan kubu sosialis di Eropa Timur, para intelektual borjuis pun bersorak girang; “Sejarah telah berakhir! Kapitalisme telah menang!”.
Melalui dominasi militer, imperialisme AS berhasil mengontrol 191 (seratus sembilan puluh satu) pemerintahan di seluruh dunia. Bersamaan dengan itu, AS berhasil mengontrol pula; (1) ekonomi dunia dan pasar finansial, (2) mengusai sumber daya alam (sumber daya utama dan sumber daya tak terbaharui).
Di bidang budaya, sebagaimana dicatat oleh cendikiawan Noam Chomsky, imperialisme AS punya cita-cita untuk mengamerika-kan kebudayaan dunia, dimana seluruh warga dunia mengikuti kebudayaan Amerika sebagai way of life-nya.
Sekarang ini, melalui rahimnya perjuangan bangsa-bangsa dan dunia ketiga, telah lahir bayinya “dunia baru”, yakni dunia multipolar. Rencana “pax americana” telah dibendung di halaman belakangnya sendiri, oleh rakyat di sejumlah negeri Amerika Latin  dan Karibia, seperti Venezuela, Bolivia, Cuba, Brazil, Paraguay, Uruguay, Argentina, Ekuador dan Nikaragua.
Hampir bersamaan dengan itu, sebuah kekuatan baru pun sedang merekah di Asia Timur yaitu negeri Tiongkok. Setelah memenangkan revolusi dan memulai perjuangan berat untuk bertahan (survival), kini negeri Tiongkok sedang memperlihatkan kemajuan ekonomi, ilmu pengetahuan, kesusastraan, dan lain sebagainya.
Pergeseran ini, seperti juga pergeseran kulit bumi, menciptakan keretakan, penaikan dan penurunan, dan perubahan-perubahan struktural. Kapitalisme secara global sedang dijangkiti wabah krisis yang struktural dan berkepanjangan. Kapitalisme AS menjadi sumber penyakit ini, dan telah menularkannya ke seluruh dunia melalui sistem finansial.
Yunani, negeri tertua di dunia, hampir saja terhapus dari peta karena hutang dan kebijakan penyesuaian struktural. Selain Yunani yang meradang karena krisis, negeri-negeri lain pun sedang ditekan oleh krisis dan perlawanan rakyat pekerja seperti di Spanyol, Portugal, Rumania, dan Bulgaria.
Sampai di sini kita bisa mencatat dua kesimpulan; pertama, munculnya imbangan kekuatan baru di tingkat global, yaitu menguatnya peran  Tiongkokdan Rusia, blok progressif Amerika Latin dan Negara Karibia (CELAC), ada juga Iran di Timur Tengah, dan independensi politik negara-negara Afrika di pan-Afrika. Kedua, Krisis kapitalisme global turut menurunkan popularitas AS, di samping kegagalan mereka mencaplok penuh Irak dan Afghanistan.

Neoliberalisme dan Neo-Kolonialisme Di Indonesia
Sayang sekali, ketika sedang terjadi perubahan di dunia, Indonesia tidak memanfaatkan munculnya imbangan kekuatan yang baru itu untuk memajukan kepentingan nasional, malah menjadi pendukung setia dari penguasa dunia lama. Indonesia tetap menjadi penganut garis keras neoliberalisme, sebuah sistim yang akrab dengan dominasi dan hegemoni AS dalam 40 tahun terakhir.
Jika Soeharto telah menjadi “pencetus” kembalinya modal asing, sehingga pada masa pemerintahannya modal asing mulai “merembes” masuk, maka pada saat ini, di tangan rejim-rejim neoliberal, modal asing telah menjadi banjir bah.
Neoliberalismelah yang merampas lahan dan membabat hutan untuk perkebunan sawit atau akasia. Mereka memburu batubara, minyak bumi, gas bumi, untuk menggerakkan mesin-mesin di seluruh dunia. Menambang berpuluh jenis bebatuan dan mineral, emas, nikel, besi, timah, marmer, mangan, tembaga, dan lain-lain, setelah itu meninggalkan lubang-lubang raksasa yang menganga dan rakyat yang kelaparan.
Sementara modal perbankan dibebaskan menarik uang nasabah sebanyak-banyaknya tanpa imbalan kemudahan akses kredit bagi rakyat. Harga hasil pertanian terus merosot sementara harga kebutuhan hidup terus meningkat. Urbanisasi terjadi dalam skala besar tanpa jaminan pekerjaan layak di kota-kota. Pengangguran, pedagang kaki lima, pengamen, dan beragam jenis lumpen proletariat, berdesakan di kota dikejar-kejar satuan polisi pamong praja atau aparat kekerasan. Penggusuran demi penggusuran terjadi untuk menyulap pemukiman rakyat menjadi pusat-pusat bisnis, mall atau plaza, ruko, apartemen, dan hotel berbintang.
Itulah neoliberalisme, sebuah bungkus baru dari modus penjajahan modern terhadap bangsa-bangsa. “Cara pengeduk yang berubah, namun tujuan dan dampaknya bagi kehidupan rakyat tetap sama.” demikian dikatakan Bung Karno.
Kalau kolonialisme menaklukkan negara bangsa, maka neoliberalisme juga melakukan hal yang hampir serupa, melakukan penyusutan atau deformasi negara, terutama yang berkaitan dengan persoalan kepentingan nasional dan kesejahteraan publik.
Mengikuti anjuran duo terompet imperialisme global, yaitu IMF dan Bank Dunia, rejim neoliberal di Indonesia telah melikuidasi peran negara di bidang pendidikan, kesehatan, dan pemenuhan kebutuhan dasar rakyat lainnya.
Modal asing telah mengambil porsi yang lebih besar dibanding modal dalam negeri di beberapa sektor ekonomi yang penting.
Pemerintahan paska reformasi, tanpa melalui konsultasi luas dengan rakyat, telah melakukan empat kali perubahan (amandemen) terhadap konstitusi UUD 1945. Sebagian besar perubahan tersebut berusaha melucuti watak anti-kolonialnya.
Presiden Indonesia seakan menjadi pejabat gubernur jenderal AS di Indonesia, yang mana tindakan dan kebijakan politiknya selalu mengacu pada hal-hal yang sudah digariskan oleh Washington.
Supaya mereka bisa berpesta pora di atas kereta “stabilisasi politik”, maka diperkenalkan model demokrasi dari barat, yaitu demokrasi liberal, sebuah tipe demokrasi yang berulang-ulang dinyatakan oleh Bung Karno sebagai “alam fikir lama/kuno”. “Marilah kita kubur, kubur, kubur!” –begitulah Bung Karno berseru, berbicara soal keburukan sistim demokrasi liberal ini.
Namun, sayang sekali, di mata para teknokrat dan intelektual Indonesia, demokrasi liberal dianggap sebagai sesuatu yang modern, sesuatu yang mewakili semangat jaman saat ini. Akan tetapi, pada kenyataannya, demokrasi liberal ini telah mengeluarkan sebagian besar rakyat Indonesia dari kehidupan politik.
Dengan demikian, demokrasi liberal merupakan tuntutan paling logis dari kehendak bebas modal untuk berkembang-biak di negeri ini, sama halnya ketika modal partikelir membutuhkan politik etis dan Volksraad di jaman kolonialisme.
Bersamaan dengan proses pengedukan ini, selain dengan mekanisme demokrasi liberal tadi, neoliberalisme juga menggunakan “kuasa hegemoni” untuk menaklukkan kesadaran mayoritas rakyat dan mencerai-beraikan ikatan solidaritasnya. Masyarakat kita yang dulunya dikenal dengan semangat “gotong royong”-nya, kini telah berubah menjadi masyarakat apatis, sinis, dan sangat individualis.
Nyatalah, bahwa tidak ada perbedaan substansial antara kolonialisme di masa lalu dan rekolonialisme sekarang ini, kecuali hanya perbedaan soal mana cara yang kasar dan cara halus.

C.            Di Seberang Jembatan Emas: Sosialisme Indonesia
Untuk merajut unsur-unsur yang berpihak pada kepentingan nasional ke dalam suatu alat politik yang bertujuan menuntaskan revolusi nasional, dibutuhkan suatu ideologi pemersatu berupa Pancasila.  Untuk tujuan itu, Pancasila harus diletakkan kepada penjabaran yang sesuai dengan gagasan Bung Karno; yakni sebagai nasionalisme, internasionalisme/kemanusiaan, sosialisme, demokrasi, dan ketuhanan sebagai dasar negara RI. Dengan begitu Pancasila merupakan wadah yang mampu menampung unsur-unsur progresif di atas ke dalam suatu kerja dan perjuangan gotong royong  untuk mewujudkan sosialisme indonesia.
Medan pertempuran yang akan dimasuki oleh kekuatan  politik di atas merupakan arena demokrasi liberal yang dikuasai oleh kekuatan pro-penjajah. Untuk merebut kembali kedaulatan nasional, dilancarkan perjuangan demokrasi nasional yang bertujuan memenangkan kepentingan nasion di atas kepentingan penjajah  dan memberikan kekuasaan kepada pihak-pihak pro-rakyat. Perjuangan ini berlangsung di berbagai tingkatan masyarakat, dari tingkat daerah hingga nasional.
Tugas kita bersama adalah membangkitkan ingatan kolektif rakyat Indonesia tentang jatuh bangun usaha, keberanian yang menyala-nyala, heroisme, kesabaran revolusioner, kisah perjuangan para pembangun nasion Indonesia. Ini sekaligus membantah mitos bahwa rakyat Indonesia memiliki ingatan yang pendek. Juga perlu memahami berbagai kisah tragis, mengenang segenap tahanan politik yang gugur di pengasingan demi terusirnya penjajah. Semua sejarah bangsa harus dibaca baik-baik oleh kaum muda, para pemanggul Sejarah di Abad 21. Ini adalah syarat utama membangun Republik Baru bagi Indonesia.
Massa Rakyat dalam Republik Baru haruslah masyarakat berbudaya yang mampu berdiri sejajar di antara bangsa-bangsa lain di dunia. Bukan menjadi bangsa inlander dan tidak phobi terhadap asing. Para pemudanya harus memastikan Nusantara tetap berdaulat, dan membangun hubungan dengan Bangsa lain atas dasar kesetaraan. Demi kesetaraan ini, sejak masa Revolusi Perancis, orang telah banyak berperang untuknya. Kita pun akan berjuang terus untuk kesetaraan sejati bagi seluruh rakyat di dalam sistem yang sosialistik. Benar, sistem ekonomi yang paling tepat digunakan untuk Republik yang Baru adalah sebuah sistem sosialis ala Indonesia, karena Indonesia memiliki keunikan sendiri.
Sosialisme Indonesia akan diisi oleh gotong royong, kerja keras, banjir keringat dari 100 juta angkatan kerja, tanpa seorang pun menjadi pengangguran. Puluhan juta kanak-kanak dan puluhan juta remaja memperoleh pendidikan yang gratis dan berkualitas. Sementara negara menjamin kesehatan dan keselamatan mereka dan orang tuanya secara cuma-cuma. Sosialisme Indonesia adalah sebuah Republik Baru tanpa korupsi, karena dalam masyarakat yang bermartabat dan ekstra produktif, setiap orang akan merasa malu mencuri (korup) hasil kerja orang lain.
Sosialisme Indonesia adalah pemerataan pendapatan nasional, daerah-daerah miskin harus diprioritaskan untuk makmur. Sosialisme Indonesia adalah pergeseran sentra logistik dan demografi Indonesia dari Jawa ke luar Jawa. Kunci sosialisme Indonesia adalah membangkitkan tenaga produktif rakyat secara nasional dengan sistem pasar domestik yang dikendalikan ketat oleh negara. Kapitalis Nasional dapat dilibatkan dalam proyek ini dengan catatan mereka bersedia untuk dipajaki lebih tinggi (progresif) dan menggaji wajar pekerjanya.

II.            KAWAN DAN LAWAN
Soekarno pernah berkata, “revolusi apapun mestilah punya kawan dan punya lawan, dan kekuatan-kekuatan revolusi harus tahu siapa kawan dan siapa lawan”. Ini adalah salah satu hukum dari sebuah revolusi, yaitu adanya pertentangan.
Siapa kawan? Penjajahan, akan melahirkan perjuangan pembebasan. Kesadaran kebangsaan, dalam perjuangan kemerdekaan, telah memperluas perlawanan di seluruh penjuru tanah air, bahu membahu di antara kekuatan yang ada, petani, kaum miskin kota dan desa, buruh yang berlawan, pemuda nasionalis revolusioner, pengusaha nasional yang tidak tergantung pada modal asing, pengusaha kecil menengah, organisasi politik yang berjuang untuk kemandirian bangsa, organisasi massa yang menolak penjajahan, media massa yang berpihak pada kepentingan nasional. Inilah kekuatan inti yang akan berjuang bersama-sama merebut kedaulatan dari cengkeraman penjajahan.
Kawan adalah siapa-siapa atau kekuatan-kekuatan dalam negeri yang melawan imperialisme dan memihak kepentingan nasional. Mereka adalah sektor-sektor yang telah menjadi korban dari neoliberalisme dan bersedia untuk melakukan perlawanan terhadap berbagai praktik imperialisme.
Selain korban langsung neoliberalisme, terdapat juga kekuatan-kekuatan politik yang menyimpan keprihatinan dan bersiap melawan imperialisme, misalnya kalangan intelektual progressif, kaum agamawan, para seniman, dan kalangan militer.
Siapa Lawan? Dari pertentangan pokok itu, maka sudah jelas pula siapa musuh-musuh paling pokok dalam revolusi nasional rakyat Indonesia saat ini. Mereka adalah instrumen penghisapan neoliberal terhadap rakyat Indonesia. Atau yang berada dalam kesatuan sistem tersebut untuk merawat ketidaktahuan rakyat sambil mengadu-domba. Di sini terdapat negara imperialis AS sebagai kelanjutan dari misi kolonialisme di masa lalu. Terdapat juga korporasi raksasa MNC/TNC yang menggerus kekayaan nasional. Kemudian agen penyelenggara imperialisme seperti IMF, WTO, dan Bank Dunia.
Di dalam negeri, kita temukan tiap pemerintahan yang pro-asing sebagai lawan. Praktik neoliberalisme akan mustahil berhasil dipraktekkan di Indonesia jikalau tidak ada sokongan politik dari dalam, yaitu lapisan politik yang telah mengkhianati kepentingan nasional dan malah memihak kepentingan asing. Kita juga dapat menemukan pengusaha-pengusaha pro-asing. Dalam lapisan borjuasi Indonesia, ada borjuis komprador dan kapitalis birokrat yang anti-nasional, dan adapula borjuis nasional yang bukan komprador.
Borjuis komprador adalah lapisan borjuis yang langsung mengabdi pada kepentingan dan mendapat jaminan dari kaum imperialis. Mereka sangat bergantung kepada bantuan atau belas kasihan dari kaum imperialis dan perusahaan besar multinasional, sehingga politik mereka adalah melawan kepentingan nasional.
Selanjutnya, kapitalis birokrat adalah mereka yang menjadi kapitalis karena kedudukannya di dalam pemerintahan atau perusahaan negara, seringkali menjadi kaya dan berkembang bisnisnya karena praktik korupsi dan suap.
Baik borjuis komprador maupun kapitalis birokrat, kedunya adalah anti kepentingan nasional, anti-rakyat, dan memusuhi demokrasi, sehingga lebih tepat disebut sebagai pengusaha pro-asing.
Sebaliknya, ada pula borjuis nasional yang menjadi korban dari neoliberalisme, yaitu borjuis yang kepentingan bisnisnya berkontradiksi langsung dengan kepentingan imperialis.
Di dalam maupun luar negeri, dapat kita temukan lembaga-lembaga yang bekerja untuk kepentingan asing. Di dalamnya, terdapat organisasi massa, LSM, lembaga penerbitan, lembaga survey, dan sebagainya, yang pengabdiannya adalah untuk kepentingan imperialisme. Mereka biasanya mendapatkan bantuan dana dari negeri-negeri imperialis, untuk menjalankan kegiatan atau mengusung isu/kampanye yang menyerang kepentingan nasional, menciptakan kondisi depolitisasi, dan memecah-belah persatuan nasional.
Organisasi-organisasi reaksioner dan fundamentalis, yang seolah-olah menentang imperialisme dan kapitalisme tapi tindakan politiknya selalu berusaha mengacaukan atau memecah belah persatuan nasional, sebetulnya adalah agen-agen imperialisme juga.
Siapa Kaum Peragu? Tidak dapat dinafikan, bahwa dalam setiap perjuangan akan selalu muncul golongan bimbang atau peragu. Di sini, golongan peragu didefenisikan sebagai golongan atau individu yang sudah mengerti dengan baik mengenai dampak imperialisme dan keharusan melakukan perjuangan, namun masih bersikap tidak ikut ambil bagian, alias netral, dalam perjuangan melawan imperialisme.

III.           MENUJU REPUBLIK BARU
Menuntaskan Revolusi Nasional
Di manakah kita kini? Setelah empat puluh empat tahun nation and character destruction mengaibkan bangsa ini, adakah kebanggaan yang masih tersisa? Pulau-pulau indah yang terus digerus ketamakan itu kah? Adakah kekayaan yang masih bisa dikelola untuk kemakmuran bersama? Berapa banyak manusia Indonesia yang siap sedia menanggung tugas sejarah saat ini demi mencapai kebaikan anak-cucu di masa depan? Kekalahan bangsa ini telah dibuat sedemikian telak hingga begitu sulit untuk bangkit. Demikianlah, kita seolah dipaksa membenarkan berbagai ungkapan klise yang menyiratkan rasa putus asa dan kepasrahan, yang akan berujung di lorong gelap apatisme dan dekadensi.
Sementara, di tengah pergeseran wajah dunia sekarang, pengetahuan sejarah menyediakan kembali terang untuk membangun jembatan hari depan. Sejarah ini seperti berseru-seru, agar Republik Indonesia dikembalikan pada visinya sebagai jembatan emas, yaitu berhimpunnya bangsa-bangsa Nusantara, bergotong-royong menuju masyarakat adil dan makmur, tanpa penindasan manusia atas manusia dan penindasan bangsa atas bangsa.
Akan tetapi, perjuangan menuju masyarakat Indonesia yang sosialistis tersebut hanya mungkin terwujud apabila ada landasan baginya untuk berdiri. Tak lain, landasan bagi bangunan sosialisme adalah kedaulatan nasion Indonesia atas seluruh sumber daya ekonomi; tanah, modal, bahan baku, alat-alat kerja berteknologi tinggi, serta adanya manusia-manusia Indonesia yang berkarakter dan berilmupengetahuan. Sosialisme, atau keadilan sosial, tidak mungkin berdiri di atas sebuah bangsa yang sumber dayanya sedang terhisap oleh korporasi-korporasi asing atau kapitalis multinasional. Sosialisme, atau keadilan sosial, tidak mungkin terbangun tanpa ada cukup gizi, cukup pakaian, cukup makanan, cukup perumahan, dan pencerahan sebanyak mungkin bagi manusia-manusia penggeraknya.
Oleh karena itu, Bumi Pertiwi dan segala kekayaan yang terkandung di dalamnya harus dikembalikan oleh kapitalis multinasional kepada yang empunya: Rakyat Indonesia. Semua kontrak karya yang telah berjalan harus dirundingkan kembali di atas prinsip berpihak kepada yang empunya. Terutama bagi perusahaan-perusahaan yang telah lebih dari sepuluh tahun mengeksploitasi kekayaan Indonesia, seperti Freeport, Chevron, ExxonMobil, Inco, Haliburton, BHP Biliton, Newmont, Conoco Philips, Vico, dan lain-lain. Setidaknya harus ada pembagian kontrak yang lebih berimbang, dan, kenaikan kepemilikan saham Indonesia di setiap perusahaan, untuk menjamin adanya transfer teknologi kepada sumber daya manusia Indonesia. Setiap korporat yang melawan akan kita usir dari Indonesia,  kemudian pengacara kita dan pengacara mereka akan bertanding di meja arbritasi internasional. Sementara, sampai hasilnya diputuskan di meja perundingan, dan Massa Rakyat terorganisir sudah akan menduduki dan menasionalisasi kilang dan tambang yang diklaim milik korporat bermasalah tersebut. Seluruh kekayaan alam yang berhasil direbut kembali, harus dimanfaatkan semaksimalnya demi menyuplai bahan baku dan energi industri nasional tanpa terkecuali.
Pembayaran utang luar negeri harus ditunda sampai seluruh rakyat menjadi sejarahtera. Akan sangat melegakan, bila kita dapat melakukan 60% hair cut dan 40% moratorium selama 40 tahun. Negeri kita, Nusantara memiliki piutang tersebut kepada seluruh negeri imperialis di Eropa, Jepang, dan Amerika Serikat – yang harus mereka lunasi. Pencadangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara akibat Republik Indonesia melakukan hair cut dan moratorium kemudian akan dimaksimalkan untuk mencerdaskan dan menyehatkan rakyat tanpa harus kembali memungut biaya dari rakyat.
Pembangunan infrastruktur harus ditujukan untuk memenuhi rancangan industrialisasi nasional. Sementara industrialisasi nasional harus dimulai dari pengolahan hasil-hasil pertanian dan kelautan, sehingga meningkatkan harga jualnya di pasar lokal, tanpa harus membawanya ke pasar bebas komoditi yang sudah dimonopoli para kartel. Pengadaan listrik melalui berbagai sumber energi harus diratakan di seluruh Nusantara.
Lembaga-lembaga pendidikan tidak lagi diarahkan sebagai pedagang ilmu pengetahuan. Di republik ini kita menghargai ilmu pengetahuan sebagai hasil reproduksi sosial yang berhak diakses oleh siapa saja. Kasta-kasta dalam pendidikan harus dicegah dengan standarisasi mutu seluruh sekolah dengan panduan dan dukungan penuh dari negara. Gerakan pemberantasan buta huruf digalakkan melalui program-program yang melibatkan masyarakat. Pendidikan nasional harus mampu melahirkan manusia-manusia Indonesia yang baru, yang lepas dari segala beban mentalitas terbelakang di masa lalu, dan siap mendedikasikan segala kapasitas dirinya bagi kemajuan seluruh rakyat.
Jaminan kesehatan rakyat sepenuhnya diberikan oleh negara, tanpa perlu melibatkan korporasi perasuransian yang hanya memburu laba. Struktur dan infrastruktur kesehatan harus menjangkau seluruh pelosok tanah air, sejalan dengan struktur dan infrastruktur pendidikan, jalan, listrik, perumahan, air bersih, dan lain-lain. Pendidikan kedokteran harus dibuka di berbagai daerah dan murah agar bisa memfasilitasi siapapun yang berminat dan hendak membaktikan diri untuk kesehatan rakyat. Kecukupan gizi harus dijamin sejak dini melalui penyediaan dapur umum di sekolah-sekolah, taman bermain anak-anak, dan taman-taman bacaan. Gizi bagi pekerja tidak lagi berada di standar minimum 1200 kalori per hari tapi ditingkatkan melalui kenaikan upah dan standar kesejahteraan.
Republik Indonesia tidak akan tertutup dalam pergaulan dengan bangsa-bangsa lain di seluruh dunia. Namun pergaulan yang dikehendaki adalah pergaulan yang setara dan saling memajukan. Dalam kancah internasional, Republik Baru ini akan memperjuangkan tatanan dunia multipolar yang adil dan damai.

Pemerintahan Pro Kepentingan Nasional
Program-program penuntasan revolusi nasional harus diperjuangkan agar menjadi nyata. Untuk itu, Rakyat Indonesia harus memiliki sebuah alat perjuangan politik bersama. Alat perjuangan bersama ini haruslah kuat dan efektif dalam melaksanakan program di atas. Alat ini adalah sebuah pemerintahan, dengan struktur dan infrastrukturnya, yang merupakan ruang bagi seluruh golongan bermufakat menyelesaikan persoalan nasional: neoliberalisme. Inilah yang oleh Bung Karno disebut sebagai sammenbundeling van alle revolutionaire krachten.
Perlahan tapi pasti, situasi obyektif tergambar dalam bentuk fakta dan pengetahuan tentang hilangnya kedaulatan negeri ini. Tentu ada banyak cerita yang dihembuskan oleh pihak lawan untuk mendistorsikan kenyataan ini. Tapi, seperti kata pepatah leluhur, sepandai-pandainya tupai meloncat akhirnya jatuh juga. Sepandai-pandainya penguasa berbohong, dari pengalaman pula rakyat mengetahui fakta yang sebenarnya. Keadaan-keadaan ini berakumulasi dan merangkai menjadi konsep yang hidup dan bekerja, mendesak setiap orang untuk bersikap, apakah berpihak pada kepentingan nasional, atau berpihak pada kepentingan asing. Tak ada tempat bagi kaum peragu dalam pemerintahan ini.
Metode Perjuangan
Metode perjuangan adalah langkah demi langkah, dari kita semua, Bangsa Indonesia, tanpa membedakan latar belakang masing-masing, untuk memenangkan satu hal, yaitu kedaulatan nasional. Bung Karno pernah menyimpulkan dua metode perjuangan menuju kemerdekaan, yaitu massa aksi dan membangun kekuasaan (macthvorming).
Massa aksi, sebagaimana dikatakan oleh Bung Karno, bukanlah sesuatu yang akan terjadi nanti, suatu gelombang besar massa rakyat di waktu mendatang, seperti yang terjadi di tahun 1998. Bukan itu yang dimaksud. Massa aksi adalah aktivitas revolusioner sehari-hari. Revolusioner dalam pengertian sikap politik yang membenarkan diperlukannya segera, secepat-cepatnya, perubahan haluan perjalanan bangsa, dari jalan kolonialisme dan neoliberalisme, menuju jalan kedaulatan nasional. Atas sikap politik tersebut, teremban konsekuensi-konsekuensi praktis yang diatasi bersama, Berat Sama Dipikul, Ringan Sama Dijinjing.
Perjuangan massa aksi yang terjadi pada hari-hari ini mewujud dalam berbagai bentuk, mulai dari menulis untuk berbagai penerbitan, selebaran atau bacaan, menyebarkan bacaan-bacaan kepada rakyat, menyelenggarakan rapat-rapat, diskusi-diskusi, mengadakan aksi demonstrasi, vergadering, mimbar-mimbar kebudayaan, dan lain-lain. Dalam massa aksi, segenap rakyat menjadi unsur pembangun organisasi-organisasi massa dan organisasi politik, meluaskan anggota dan memberi mutu pada organisasinya. Massa aksi bukanlah aktivitas rutinitas biasa, melainkan sebuah aktivitas terencana dalam kesatuan semangat berlawan, kesatuan semangat pembebasan nasional. Karena sifatnya yang terencana itu, maka massa aksi ini akan selalu memperoleh pengetahuan-pengetahuan baru. Semua ini berguna dan mendukung metode perjuangan yang kedua, yaitu macthvorming.
Macthvorming, atau menyusun kekuatan, merupakan capaian dialektis dari massa aksi. Dalam metode macthvorming terkandung prinsip kewenangan atas ruang untuk berpropaganda dan mengorganisasikan kekuatan politik yang konsisten berpihak pada kepentingan rakyat. Proses macthvorming ini dapat dilakukan melalui intervensi ruang-ruang elektoral, atau celah politik lainnya dalam demokrasi borjuis saat ini. Macthvorming juga dilakukan dengan mendorong bentuk demokrasi partisipatoris, yaitu demokrasi yang melibataktifkan rakyat dalam mengidentifikasi, merumuskan, dan memecahkan masalah-masalahnya.
Secara terang-terangan kita nyatakan kekuasaan politik sebagai sasaran dalam perjuangan pembebasan nasional, pada berbagai level. Kita tidak ingin mengkorup defenisi kekuasaan, bahwa segala jenis kekuasaan pastilah korup. Tidak, karena bagi kita tiap-tiap kekuasaan mempunyai keberpihakan sendiri-sendiri. Sedangkan korupsi telah inheren berada dalam kapitalisme, sistem tempat kita hidup saat ini. Kekuasaan tidak akan menjadi korup bila diarahkan untuk membangun tata masyarakat yang produktif, sehingga tidak ada seorangpun (kecuali anak-anak dan orang jompo) dibiarkan menjadi pengangguran dan setiap orang mendapatkan imbalan sesuai andilnya.

Mari, dengan bersemangat kita pekikkan kembali kemerdekaan. Merdeka yang sebenar-benarnya bagi seluruh rakyat Indonesia: ADIL MAKMUR TANPA PENINDASAN MANUSIA ATAS MANUSIA DAN BANGSA ATAS BANGSA.

Jakarta, 27 Juli 2010


=====================================


MANIFESTO PRD 22 JULI 1996
 

MANIFESTO PARTAI RAKYAT DEMOKRATIK

TIDAK ADA DEMOKRASI DI INDONESIA. Demokrasi --dalam makna kedaulatan rakyat-- adalah prinsip dasar dan landasan bagi pembentukan suatu kekuasaan negara. Selama kedaulatan rakyat masih belum mendapatkan tempat yang layak dalam kehidupan ekonomi, politik, dan budaya sebuah bangsa dan masyarakat, selama itu pula sejarah akan memberikan alat-alat perlawanan untuk menegakkannya.
Selama 30 tahun kehidupan bernegara, berbangsa dan bermasyarakat di bawah kekuasaan Presiden Suharto, kekuasan negara telah menjadi lembaga yang memasung dan menghambat kemajuan-kemajuan partisipasi rakyat dalam proses menentukan jalannya kehidupan bernegara. Kekuasaan eksekutif menjadi sedemikian besar, menindas, tidak terkendali dan melampaui kewenangan lembaga legislatif dan yudikatif
Sejarah bangsa Indonesia, sesungguhnya adalah sejarah perjuangan rakyat yang terkenal gigih dalam melawan segala jenis penghisapan/penindasan dalam upaya untuk menghargai kemanusian dan perdamaian. Namun Rejim Orde Baru telah membuat langkah mundur --bila terbanding ke masa tahun 1950 - 1959-- dalam kehidupan politik.

Hak-hak dasar partisipasi rakyat untuk berpolitik telah dipasung, dibatasi, dibuntungi dengan penerapan 5 paket UU Politik dan Dwi Fungsi ABRI. Hakekat kemerdekaan, yang adalah kebebasan memilih, mengawasil dan menentukan negara yang berkedaulatan rakyat, semakin menjauh dari kehidupan politik sehari-hari. Secara sistematis penguasa semakin mendominasi lapangan politik dengan cara-cara yang inkonstitusional, keji dan brutal. Tidak menghargai perbedaan pendapat, tidak menghargai kritik dan tidak mau mendengar aspirasi-aspirasi rakyat. Kebangkitan perlawanan rakyat --dalam makna masyarakat sipil-- dibalas dengan intimidasi, teror, penangkapan, pemenjaraan, berondongan peluru, dan bahkan dengan pembantaian. Koran-koran, majalah, buku-buku, dan alat-alat pendidikan rakyat lainnya, yang kritis dan berani berbeda dengan pandangan penguasa, dibredel. Para wartawan yang tidak menghendaki pengawasan sepihak atas informasi oleh pemerintah dikirim ke penjara; Kaum buruh yang ditindas secara ekonomi, diintimidasi, diteror bahkan dibunuh; Kaum tani semakin sulit mempertahankan tanahnya dan hak-haknya karena harus harus berhadapan dengan militer yang apabila mereka melawan jarahan kaum kapitalis. Semua logika kekuasan itu dilancarkan, diterapkan, dilaksanakan, dipelihara dengan tujuan; menjaga stabilitas akumulasi modal.

Hingga kini kita melihat semakin dalamnya kesenjangan antara segelintir yang kaya dengan mayoritas yang miskin. Kaum buruh dijajakan dan dieksploitasi secara murah untuk mengundang investasi dan akumulasi modal. Perekonomian Indonesia yang tumbuh di atas 6 %/tahun, hanya dapat dinikmati oleh minoritas kelompok tertentu. Aset-aset ekonomi yang vital dan penting bagi kehidupan rakyat, diswastakan dengan konsesi yang dijual-belikan di antara kerabat dan rekan sejawat. Bentuk-bentuk monopoli dan oligopoli yang menyengsarakan rakyat dilindungi, difasilitasi oleh kekuasaan yang ada. Beban ekonomi semakin berat ketika pemerintahan dipenuhi oleh para koruptor yang berkolusi dengan orang-orang pemerintahan untuk kepentingan pribadi dan kelompok bisnisnya. Lembaga-lembaga imperialis seperti IMF dan World Bank tanpa jemu-jemunya memacu ekonomi Indonesia dengan pinjaman-pinjaman luar negeri. Akibatnya hutang luar negeri Indonesia sekarang ini telah mencapai US$ l00 milyar. Artinya, ini kita berada di peringkat tiga dunia di bawah Brasilia dan Mexico.

Perkembangan ekonomi Indonesia yang makin menguntungkan kelompok minoritas pemilik modal, dan eksploitasi modal asing di Indonesia, menjadikan kehidupan bernegara yang ada semakin keji dan jauh dari cita-cita rakyat untuk mencapai masyarakat yang adil dan makmur.
30 tahun, delapan bulan, dan duapuluh dua hari kekuasaan Orde Baru ini, secara ekonomi, politik dan budaya tidak bisa diterima dan tidak bisa lagi dipertahankan oleh rakyat Indonesia. Terbukti: kaum buruh mulai melakukan pemogokan di berbagai kawasan industri; kaum tani melakukan aksi-aksi menentang penggusuran; para mahasiswa berdemonstrasi menentang militerisme; para intelektual menentang penindasan atas kebebasan akedemik; para agamawan menolak intervensi militer; para suku anak dalam di Papua Barat dan Kalimantan menantang penghisapan oleh Jakarta; Di Timor-Timur, rakyat Maubere tidak pernah berhenti melawan peyerbuan militer dan penjajahan oleh rejim Orde Baru; rakyat Aceh dan Papua Barat menuntut hak penentuan nasib sendiri. Metode-metode perlawanan rakyat juga terus meningkat melalui aksi-aksi masa besar-gabungan antar sektor masyarakat, menduduki DPR, menyerbu kantor polisi dan markas militer, konfrontasi dengan militer, hingga produksi selebaran-selebaran yang massif. Intinya: ketidak puasan rakyat terjadi dimana-mana; rakyat sudah tida rela hidup di bawah rejim Orde Baru. Sistem ekonomi, politik dan budaya sekarang ini, yang dijaga oleh garda militer rejim Orde Baru, terbukti memang tidak mampu menyalurkan apalagi mencari jalan keluar bagi problem-problem nyata yang dihadapi oleh rakyatnya sendiri.
Sistem ekonomi, politik dan budaya yang ada sekarang sedang bangkrut. Inilah saatnya segala paket perundang-undangan yang membatasi partisipasi rakyat seperti 5 paket UU politik dicabut; inilah saatnya garda militer yang berlindung di bawah Dwi Fungsi ABRI harus dicabut.

Paket undang-undang ini adalah benteng pengabsahan pemerintah untuk membatasi hak-hak politik rakyat untuk berpartisipasi dalam pemerintahan dan tata-kenegaraan. Partai politik, sebagai ibu kandung dari rakyat untuk berpolitik, sebagai rahim kedaulatan rakyat, harus segera ditegakan; Pemilu yang jujur dan demokratis, dengan tidak membatasi partisipasi dan aspirasi politik rakyat, sebagai hak masyarakat sipil modern, tidak pernah ada; Susunan DPR/MPR mencerminkan kejahatan dalam mempertahankan kekuasaan --oknum-oknum klik kekuasaan dan ABRI mendapat hak-hak khusus yang diangkat oleh Presiden tanpa melalui pemilu; UU tentang organisasi kemasyarakatan tidak mengijinkan afiliasi politik dan dihambat dalam pendiriannya; dan terakhir UU tentang referendum tidak pernah dilaksanakan untuk mengambil suatu keputusan penting seperti perubahan UUD 45 --UUD 45 menjadi suatu yang sakral tanpa mempertimbangkan perubahan situasi ekonomi, politik dan budaya dunia. Rakyat yang berdaulat adalah rakyat yang bisa belajar, memiliki kesempatan, dan memiliki ruang untuk sadar akan kedaulatannya, sadar akan kemampuannya dalam berpolitik. Untuk itu tidak ada jalan lain selain mencabut paket 5 UU politik l985.

Militer menjarah lorong-lorong kehidupan masyarakat sipil, persis dengan hakekat kemiliterannya, sebagai penyandang senjata, terlebih-lebih dengan hakekat kemiliteran rejim Orde Baru --tak terusik oleh sejarah pencerahan abad pertengahan sekalipun. Masyarakat sipil modern yang tak bersenjata harus memiliki otoritas mutlak terhadap militer, menjadikan militer (meminjam istilah masyarakat Perancis) sebagai Si Raksasa Bisu (La Grande Muette) --tak ada satu kata pun tentang politik (baca: kekuasaan) dari moncong senjata. Oleh karena itu: Rakyat harus mencabut Dwi Fungsi ABRI
Pembudakkan rejim Orde baru ke dalam sistem kapitalisme dunia membuat pemerintahan Jenderal Suharto tidak dapat lari dari sorotan internasional atas penindasan yang ada dinegerinya. Tumbangnya rejim-rejim otoriter di Amerika Latin, Afrika, dan Asia mengajarkan pada rejim dan gerakan demokrasi bahwa tidak ada kekuasaan otoriter yang langgeng dan abadi; semua pasti ada akhirnya. Kebijakan ekonomi luar negeri haruslah mempunyai watak anti neo-kolonialisme --seperti yang diwujudkan melalui APEC, AFTA dan NAFTA. Kerjasama Internasional harus dibawah syarat-syarat damai dan kemanusiaan. Untuk itu penjajahan atas Timor-Timur haruslah menjadi Bab dari program perjuangan kita, bukan sekedar embel-embel solidaritas --dalam makna tabo terhadap rakyat Maubere untuk menentukan nasibnya sendiri: MERDEKA. Perjuangan demokrasi Indonesia tidaklah lengkap dan palsu bila tidak menghubungkan dengan tuntutan kemerdekaan bagi rakyat Maubere. Partai Rakyat Demokratik (PRD) menghindari chauvinis-nasionalisme dan menganggap persaudaraan internasionali sebagai watak pokok dari perjuangan rakyat. Terintegrasinya kekuasaan modal secara internasional, dengan dukungan pemerintahan yang melecehkan demokrasi, haruslah juga dilawan secara internasional. Untuk itu Partai Rakyat Demokratik (PRD ) akan aktif dan mendukung semua forum dan aksi damai internasional yang berwatak kerakyatan dan anti penindasan.

Kerja-kerja perjuangan melawan kekuasan rejim Orde Baru tidak dapat dipisahkan dari program Partai rakyat Demokratik (PRD), dan sebagai sebuah partai politik merasa syah, berhak dan wajib berpartisipasi untuk menentukan jalannya pemerintahan dan kekuasan negara. Penumpulan partisipasi rakyat ini tidak boleh dibiarkan berlarut-larut. Kedaulatan rakyat dalam sistem yang ada tidak melulu membutuhkan legitimasi legal-fomal penguasa, bila penguasa yang ada justru tidak dapat menghargai partisipasi aktif dari rakyatnya sendiri untuk mengawasai dan mengkritiknya. Problem-problem masyarakat Indonesia yang kapitalistik ini harus diselesaikan, tidak bisa tidak harus dengan suatu partisipasi rakyat yang harus semakin meluas: DENGAN DEMOKRASI. Berbagai kekuatan yang mungkin membawa perbaikan politik harus sesegera mungkin menyatukan langkah dan program-programnya untuk membentuk suatu pemeritahan yang demokratik kerakyatan.

Suatu pemerintahan yang berwatak demokratik dan kerakyatan haruslah mempunyai kekuatan arah kemilau masa depan yang jelas tentang masyarakat Indonesia, serta jalan keluar bagi persoalan ekonomi, politik dan budayanya --yang selama 30 tahun, delapan bulan, dan duapuluh hari, ditanam dengan pupuk-bangkai dan air-darah rakyat. Untuk mencapai kekuatan arah cita-cita masyarakat yang demokratik tersebut harus dicari kekuatan pendorong untuk mencapainya di tengah-tangah rakyat itu sendiri. Untuk itu persoalan strategi-taktik haruslah dirumuskan dengan cara tepat berdasarkan pada potensi-potensi yang ada di rakyat itu sendiri. Dari semua potensi-potensi yang ada di masyarakat tersebut kami melihat perlawanan kaum buruh adalah pondasi yang paling mungkin untuk diraih dan diorganisir dalam perjuangan demokratik. Jumlahnya yang semakin besar, kesetiaan perlawanannya, dan makna strategisnya bagi perekonomian kapitalisme Orde Baru akan membuat buruh dapat menjadi benteng demokrasi di masa kini dan masa depan; Kekuatan kedua yang secara historis terbukti mampu menjadi kekuatan yang menentukan adalah mahasiswa dan kaum intelektual. Kelompok sosial ini telah menjadi pelopor dalam perlawanan politik menentang kekuasan rejim Orde Baru. Kemampuan mereka dalam ideologi, organisasi dan politik merupakan sumbangan yang penting bagi gerakan demokrasi. Penumpulan dan petualangan gerakan mahasiswa, hanya bisa dikurangi bila terintegrasi dalam gerakan rakyat atau demokrasi secara keseluruhan; Kekuatan ketiga yang terbukti yang terbukti sedang bangkit adalah kaum miskin kota. Jumlah mereka yang besar dan tersingkir akibat daya tarik kota dan pembangunan yang pincang antara kota-daerah menjadikan sektor ini menjadi penyangga basis masa di kota. Dalam aksi-aksi mendukung Megawati, terlihat bagaimana sektor ini secara militan dan fanatik membela hak-hak mereka; Dan sektor terakhir yang juga penting adalah sembangan perlawanan kaum tani.
Kapitalisme brutal yang terjadi telah memiskinkan dan membuat petani kehilangan tanah sebagai alat produksinya. Tidak mengherankan bila sektor ini, yang jumlahnya tersebar dipelosok Indonesia akan menjadi kekuatan pendukung yang penting dalam gerakan demokrasi.

Untuk menyatukan dan menggerakan kekuatan-kekuatan demokratik yang ada sekarang ini harus dibuat suatu platform bersama yang mampu bergerak dalam kesatuan aksi dan tindakan. Kesatuan aksi dan tindakan tidak cukup diwakili oleh persamaan program dan metode, tapi juga kecakapan untuk menerjemakkan momentum pollitik yang mampu menyeret partisipasi rakyat secara lebih luas. Untuk itu momentum Pemilu yang akan dilaksanakan pada tahun l997 harus direspon dan diantisipasi. Pemilu adalah momentum, ketika kesadaran masa terfokus pada aroma politik dengan disertai pengerahan-pengerahan massa yang luas dari para kontestan. Gerakan demokrasi harus mengamati kesadaran massa sehingga dapat memberikan sumbangannya bagi peningkatan kesadaran rakyat tentang hakekat politik dari kekuasan Orde Baru. Kita tidak boleh mengucilkan diri dari kesadaran massa, apalagi meremehkannya. Alat untuk mengorganisir dan memperluas jaringan gerak-perlawanan dengan memanfatkan isu pemilu dapat diandalkan melalui pembentukan Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP). KIPP yang sudah populer tidak dapat terpisah dari kondisi politik yang terus berubah dari hari ke hari. Untuk itu KIPP diharapkan dapat menembus batas-batas kesadaran palsu rakyat dan mampu melakukan agitasi-propaganda untuk mendidik dan mengaktifkan rakyat bahwa pemilu harus dihubungkan dengan kedaulatan rakyat. Dan kedaulatan rakyat akan selalu berhubungan dengan paket 5 UU politik tahun 1985 dan Dwi Fungsi ABRI. Ke sana lah muara KIPP harus ditujukan. KIPP bukan lah sekedar alat dari konsep pemantauan proses pemilihan umum --dari sejak pantarlih hingga penghitungan suara-- namun juga mengawasi sampai sejauh mana kedaulatan rakyat dihargai sebagai fondasi bagi keabsahan pemilu.

Langkah penting yang sudah dirasakan mendesak, dan harus diciptakan adalah membangun suatu front persatuan diatas suatu platform bersama untuk mencapai sasaran-sasaran strategis bagi kedaulatan rakyat seperti pencabutan 5 paket UU politik 1985 dan dan pencabutan Dwi Fungsi ABRI. Dan fondasi front, tidak bisa lagi dan tidak bakal mengalami penguatan bila tidak didasarkan pada basis-basis massa. Untuk itu kualitas organisasi yang layak dalam suatu front haruslah setingkat partai-partai politik atau ormas-ormas yang berbasis massa. Front perjuangan yang serius dan sejati harus lah mempunyai program-program, strategi/taktik, dan slogan-slogan yang mempunyai akar ke basis massa. Front adalah suatu wadah pengerahan massa, bukan wadah kampanye isu politik. Selama ini kita belum sadar akan makna politik front, dan masih tidak bisa membedakan batasan-batasan antara komite aksi dengan front. Untuk tugas-tugas ke depan, suatu usaha membangun front-demokratik harus sesegera mungkin diupayakan. Adalah tidak berguna mempertahankan eksistensi organisasi, bila ia tidak mampu menjawab persoalan politik strategis dalam menghadapi kekuasan rejim Orde Baru yang otoriter. Partai Rakyat Demokratik (PRD) menganggap, bahwa suatu front harus dibangun dengan bersendikan kantong-kantong massa. Selama kantong-kantong masa belum dapat digerakkan menjadi suatu gerakan demokrasi, maka front tersebut akan tertatih-tatih dan gagap menghadapi kekuasaan yang milteristik dan mau menang sendiri. Dengan semua problem-problem masyarkat Indonesia di atas, maka juga harus secara jelas dapat dibayangkan dan divisionerkan suatu masyarakat masa-depan yang demokratis secara ekonomi, politik dan budaya. Partai Rakyat Demokratik (PRD) memandang pentingnya terlebih dahulu untuk menyelesaikan solusi-solusi politik untuk mempermudah solusi-solusi ekonomi Indonesia yang sudah tereksploitasi habis-habisan dibawah kapitalisme. Partai Rakyat Demokratik (PRD) memandang penting, di masa depan, membangun suatu masyarakat sipil modern yang menghormati kedaulatan rakyat dan pembenahan praktek demokrasi dengan trias-politikanya secara sejati dan sepenuh-penuhnya. Pembangunan demokrasi yang sejati dan sepenuh-penuhnya haruslah diabdikan pada kedaulatan rakyat. Untuk itu suatu pemerintahan koalisi-demokratik kerakyatan haruslah diciptakan di masa depan, untuk menyalurkan partisipasi rakyat dengan saling menghormati aliran ideologi dan alat-alat politiknya masing-masing secara damai, tanpa kekerasan.

Perkembangan masyarakat sipil modern Indonesia yang berkedaulatan rakyat akan tergantung dari cara-cara kita membangun suatu gerakan demokrasi di masa kini. Langkah-langkah strategis-taktis harus dibangun sekarang ini dengan tetap berangkat dari kondisi-kondisi kongkrit yang ada dimasyarakat. Untuk itu Partai Rakyat Demokratik (PRD) percaya dan yakin bahwa pengorganisiran rakyat adalah satu-satunya cara untuk menegakan kedaulatan rakyat. Dan berdirinya Partai Rakyat Demokratik (PRD) merupakan salah satu manifestasi dan jawaban untuk menjawab kebekuan dan kebuntuan dari alat-alat politik ekstra parlementer, serta meningkatakan kualitatif gerakan rakyat menuju suatu masyarakat demokratik multi partai kerakyatan yang damai, tanpa kekerasan.

Jakarta, 22 Juli 1996