Jumat, 27 September 2013

PERNYATAAN SIKAP PRD KOTA DEPOK : DUKUNGAN TERHADAP PERJUANGAN SATPAM GRAND DEPOK CITY


Hari Jumat siang tadi (26/9/2013) sekitar 140 Satpam Grand Depok City (GDC) Kota Kembang menggelar aksi demonstrasi di kantor Pemasaran GDC menuntut keadilan kepada pihak pengembang GDC karena beberapa kawan mereka (7 orang) telah di pecat secara secara semena-mena tanpa alasan yang jelas.

Selain itu, hasil pantauan PRD Depok, gaji para Satpam ini juga di bawah Upah Minimum Kota Depok sebesar Rp 2.042.000,-. Mereka mengaku hanya di gaji Rp 1,1 juta/per bulan padahal rata-rata sudah bertahun-tahun bekerja di GDC.

Oleh karena itu, PRD Kota Depok menuntut :

I. Pihak pengembang GDC untuk tidak melakukan pemecatan Satpam tanpa alasan yang jelas.

II. Pihak pengembang GDC untuk membayar gaji Satpam minimal sesuai dengan UMK Kota Depok sebesar Rp. 2.042.000,-

III. Pihak Pengembang GDC untuk memberikan hak-hak normatif buruh sesuai UU No 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yaitu :
1.       Hak atas pekerjaan dan Upah Normal.
2.       Hak atas Upah Lembur.
3.       Hak atas Hari Libur.
4.       Hak atas Izin Dispensasi.
5.       Ha katas Cuti Tahunan atau Istirahat Tahunan.
6.       Hak atas Cuti Melahirkan, untuk Pekerja wanita.
7.       Hak untuk menjalankan Ibadah Keagamaan (Menunaikan Ibadah Haji).
8.       Hak atas THR Keagamaan.
9.       Hak atas Jaminan Sosial Tenagakerja.
10.    Hak atas Keselamatan dan Kesehatan Kerja.
11.    Hak untuk berorganisasi dalam Serikat Buruh.
12.    Hak atas Pesangon.

IV. Pemerintah Kota Depok (Dinas Tenaga Kerja dan Sosial) untuk terlibat libat aktif dalam penyelesaian konflik perburuhan.

V. Pemerintah Kota Depok (Dinas Tenaga Kerja dan Sosial) untuk menindak pengembang GDC jika tidak membayar para buruhnya sesuai dengan UMK yang berlaku di Kota Depok serta mengabaikan Hak-hak normatif buruh sebagaimana tercantum dalam UU No. 13 tahun 2003.

VI. PRD Kota Depok siap melakukan pendampingan/advokasi dalam perjuangan para Satpam GDC untuk memperoleh hak-haknya sebagai buruh/pekerja dari GDC.

Demikian pernyataan sikap PRD Kota Depok menanggapi perjuangan kawan-kawan Satpam GDC.

SALAM GOTONG ROYONG !!!
LAKSANAKAN PASAL 33 UUD 1945 !!!

Depok, 27 September 2013

Komite Pimpinan Kota - Partai Rakyat Demokratik (PRD)
Kota Depok




Diddy Kurniawan
Ketua

HP. 0856 7966 727
Blog : http://prddepok.blogspot.com/

PERNYATAAN SIKAP PRD KOTA DEPOK TERKAIT DEMO WARGA PASIR PUTIH MENOLAK PERLUASAN TPA CIPAYUNG




Berkaitan dengan demo ratusan warga Kelurahan Pasir Putih, Sawangan yang menolak perluasan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Cipayung seluas 6 Hektar, Kamis 26 September 2013 di Gd. DPRD Depok dan Kantor Pemkot Depok maka Komite Pimpinan Kota - Partai Rakyat Demokratik (KPK - PRD) Kota Depok mendukung penuh langkah warga tersebut untuk MENOLAK PERLUASAN TPA CIPAYUNG.

Pertama, Kebijakan untuk perluasan TPA Cipayung tersebut dari hasil pantauan lapangan PRD Kota Depok tidak melalui mekanisme dengan melibatkan masyarakat Pasir Putih secara terbuka, transparan dan demokratis sebagai wilayah yang selama ini terdampak dengan keberadaan TPA Cipayung.

Kedua, Mandulnya kinerja DKP sebagai Dinas yang bertanggung jawab dalam urusan sampah di Depok dan sebagian program-program DKP lebih bernuansa proyek daripada pelayanan terhadap masyarakat.

Ketiga, Kebijakan pengelolaan sampah di Depok yang terutama di lakukan oleh 3 (tiga) Dinas yaitu Dinas Kebersihan dan Pertamanan (DKP), Dinas Koperasi, UMKM dan Pasar, dan Dinas Bina Marga dan Sumber Daya Air (DBMSDA) terlihat tidak saling terkordinasi sehingga masing-masing Dinas terkesan berjalan sendiri-sendiri dalam kebijakan penanganan sampah.

Keempat, Kegagalan program UPS (Unit Pengelolaan Sampah) yang juga sama, merupakan program top down minim partisipasi publik sehingga banyak penolakan dalam pembangunan UPS.

Kelima, Sampai saat ini tidak ada terobosan untuk penggunaan Tehnologi Pengelolaan Sampah yang tepat untuk Depok.

Oleh karena itu KPK - PRD Kota Depok mendukung penuh PENOLAKAN WARGA PASIR PUTIH ATAS PERLUASAN TPA CIPAYUNG dan mendesak adanya REFORMASI TOTAL SAMPAH di Depok/

Depok, 26 September 2013

SALAM GOTONG ROYONG !
LAKSANAKAN PASAL 33 UUD 1945 !


Komite Pimpinan Kota - Partai Rakyat Demokratik (KPK - PRD)
Kota Depok




Diddy Kurniawan
Ketua

HP. 0856 7966 727
Blog : http://prddepok.blogspot.com/

Selasa, 24 September 2013

Pidato Ketua Umum PRD Menyambut Hari Agraria Nasional




Berikut ini adalah pidato yang disampaikan oleh Ketua Umum Partai Rakyat Demokratik (PRD), Agus ‘Jabo’ Priyono, untuk menyambut Hari Agraria Nasional ke-53. Kami publikasikan untuk disebarluaskan kepada masyarakat luas.
————————————————————————
Laksanakan Pasal 33 UUD Proklamasi 1945:
Rebut Tanah dan Sumber Daya Alam untuk sebesar-besarnya Kemakmuran Rakyat! 

Hari ini, tanggal 24 September 2013, bertepatan dengan hari disahkannya UU Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA-1960), sebagai   implementasi   dari  kemerdekaan  dan  pelaksanaan Pasal 33 UUD  Proklamasi 1945. Inilah salah satu Undang-Undang  yang  menjadi   tonggak sejarah baru perjuangan bangsa Indonesia  yang bebas dari kolonialisme, imperialisme dan feodalisme, untuk membangun bangsa yang berdaulat, mandiri serta berkepribadian, sebagai prasyarat menuju masyarakat Indonesia yang adil makmur, lahir serta batin!

Kita masih ingat, 53 tahun yang lalu, hampir 80 persen kepemilikan modal asing sudah berada di tangan bangsa Indonesia. Namun sekarang malapetaka itu datang lagi; sekarang ini terjadi arus balik yang teramat dashyat menimpa kehidupan bangsa kita kembali, yaitu arus balik penguasaan modal asing terhadap sumber-sumber kehidupan bangsa Indonesia!

Imperialisme datang lagi, modal asing menguasai tanah air kita lagi!
Negara menjadi pelayan modal asing itu! Rakyat kembali sengsara, kehilangan martabatnya!

Soal agraria menyangkut soal hidup dan penghidupan manusia, tanah adalah sumber dan asal makanan bagi manusia. Siapa menguasai tanah, ia menguasai makanan!” Kata Mochammad Tauchid (1952).
Indonesia adalah negara agraris, sebagaimana diajarkan buku pelajaran sekolah dulu. Tanah sebagai tempat bercocok tanam dan sumber utama kehidupan bagi kita semua. Maka amatlah penting struktur kepemilikan, distribusi, penguasaan dan penggunaan  tanah itu. Dari penguasaan terhadap tanah ini akan tercerminkan sistem ekonomi dan politik dari satu bangsa. Tanah itu dimiliki dan dikuasai oleh negara, masyarakat atau swasta. Tanah itu sebagai alat untuk kesejahteraan hidup, atau justru dijadikan sebagai alat penindasan.

Hakekat kemerdekaan adalah perubahan struktur kepemilikan tanah, dari kolonialisme Belanda ke bangsa Indonesia. Namun pada kenyataanya, tidak serta merta terjadi demikian. Usaha-usaha yang dilakukan para pendiri bangsa kita untuk melakukan reforma agraria ternyata terhentikan di tengah jalan, berbarengan dengan terjadinya perubahan kekuasaan politik yang ada di Indonesia.

Kenapa perubahan struktur kepemilikan itu penting? Karena perubahan struktur kepemilikan serta penguasaan tanah dari kolonialisme dan  imperialisme itu kepada bangsa Indonesia merupakan landasan utama kita membangun ekonomi nasional, membangun industri nasional, membangun kemandirian nasional, membangun kepribadian nasional, dan pertahanan nasional. Karena apa, karena di dalam dan di atas tanah air itu terdapat sumber daya alam yang berlimpah ruah, sebagai modal kita bangkit menjadi bangsa merdeka.
Menurut Bung Karno, “Revolusi Indonesia tanpa land reform adalah sama saja dengan gedung tanpa alas, sama saja dengan pohon tanpa batang, sama saja dengan omong besar tanpa isi!”

Namun sekarang, modal asing itu kembali menguasai sumber agraria kita, dalam bentuk konsesi-konsesi untuk hutan tanaman industri, perkebunan maupun pertambangan. Rakyat, yang memiliki kuasa penuh menurut Undang-Undang, kemudian dilepaskan ikatannya dari sumber-sumber agraria itu.

Semua sektor kehidupan bangsa ambruk! Pangan, sebagai kebutuhan mendasar bagi bangsa Indonesia untuk hidup, tidak mampu lagi dipenuhi oleh produksi dalam negeri. Sebut saja beras, kedelai dan daging. Bagaimana bisa Indonesia yang mayoritas penduduknya petani tidak mampu memenuhi kebutuhan beras, kedelai dan daging hasil produksi sendiri? Semua harus diimpor!

Mengapa demikian, apa gerangan sebab musababnya? Karena tanah air Indonesia kembali dikuasai asing, negara asing, modal asing, untuk kepentingan asing!

Kedaulatan Bangsa Indonesia roboh! Kemandirian Bangsa Indonesia rontok! Kepribadian Bangsa Indonesia sirna! Negara hanya menjadi Pelayan Modal Asing! Kehidupan bangsa Indonesia kembali terpuruk, menjadi gembel di negeri sendiri!

Kedaulatan bangsa sudah diserahkan sepenuhnya kepada modal asing, seperti yang diatur dalam UU Nomor 25 tahun 2007, dimana lahan disediakan oleh pemerintah untuk tananaman komoditi eksport, beratus-ratus ribu hektar lahan disediakan bagi modal asing itu. Inilah pokok masalahnya: mengapa untuk memenuhi kebutuhan kita harus impor?

Dimana kedaulatan serta keadilan, jika setelah 68 tahun  kita memproklamirkan kemerdekaan, 95 persen dari 26 juta keluarga petani itu hanya memiliki tanah seluas 0,3 hektar.
Bung Karno sudah dengan tegas mengatakan : “Tanah tidak boleh menjadi alat penghisapan, tanah untuk Tani! Tanah untuk mereka yang betul-betul menggarap tanah!

Bandingkan dengan modal asing yang menguasai ratusan ribu hektar tanah itu, untuk kebun sawit, untuk menanam akasia, untuk mengeksploitasi tambang-tambang kita. Untuk siapakah itu semua? Untuk mencari keuntungan sebesar-besarnya bagi kepentingan modal asing itu. Saat ini asing menguasai 70 persen pertambangan minyak dan gas, 75 persen tambang batu bara, bauksit, nikel dan timah, 85 persen tambang tembaga dan emas, serta 50 persen menguasai perkebunan sawit.

“Temuan kami ada sekitar 150 juta hektar lahan di Indonesia luasnya. Dari 150 juta hektar itu baru 11% yang sudah clean and clear artinya peruntukannya sesuai dengan aturan yang ada,” jelas Wakil Ketua KPK Busyro Muqoddas. Artinya, sebanyak 89 persen dari 150 juta hektar itu dijadikan bancakan; rampokan bagi para pemilik modal (asing)! Dan puluhan juta keluarga petani kita hanya menguasai 0,3 hektar!
Ketua KPK Abraham Samad mengatakan, setiap tahun kekayaan kita yang lari keluar negeri hampir 20.000 trilyun!

Ini adalah pelanggaran konstitusi terbesar oleh para Pemimpin Negara kita! Pengkhianatan terhadap Proklamasi, UUD Proklamasi 1945, kedaulatan serta kemandirian bangsa, dan pengkhianatan terhadap segenap rakyat Indonesia!

Mari kita baca lagi Pasal 33 UUD Proklamasi 1945 :
  1. Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan.
  2. Cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara.
  3. Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Sangat tegas dan jelas, bahwa sistem ekonomi kita bukanlah ekonomi pasar, bukan ekonomi liberal! Cabang-cabang produski yang penting tidak boleh dikuasai modal swasta (asing)! Bahwa kekayaan alam bukan untuk sebesar-besarnya keuntungan modal asing!

Apa yang dilakukan oleh negara kita, negara bukan lagi sebagai alat dan pelayan dari bangsa Indonesia, tetapi sebagai alat dan pelayan modal!

Bahkan Panglima TNI yang baru saja dilantik, Jendral Moeldoko, juga sudah berikrar akan menjaga modal asing itu. Padahal sudah sangat jelas, bahwa modal asing itu merampok tanah air kita, sumber daya alam serta martabat segenap bangsa Indonesia!

Indonesia kembali dalam penguasaan VOC! Modal asing berkuasa, menguasai negara beserta alat-alatnya, untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya!

Maka konflik yang tidak berujung antara modal yang didukung oleh negara berhadapan dengan anak bangsa sendiri, yaitu masyarakat Indonesia terus terjadi di mana-mana. Konflik penguasaan tanah adalah konflik yang paling tua dan terus terjadi sampai sekarang, karena dari tanah itulah digantungkan kehidupan manusia.
Sak dumuk bathuk, sak nyari bumi!

Menurut data KPA, konflik lahan periode Januari hingga Juni 2012 mencapai 377.159 hektare dengan melibatkan sekitar 25.000 kepala keluarga di seluruh Indonesia, dengan 101 kasus.

Penguasaan dalam bentuk penjajahan ini sudah dipersiapkan secara sistematis, diawali dengan perubahan Konstitusi Negara, Undang-Undang, Peraturan-Peraturan, bahkan kepemimpinan Nasional dan perubahan-perubahan lembaga negara. Intinya, untuk melakukan penguasaan sumber-sumber agraria itu modal asing secara sistematis telah mengubah filosofi bangsa serta dasar negara, yang pada akhirnya menjadikan negara beserta aparatusnya, tergantung serta menjadi pelayan dan penjaga modal asing itu! Sistem ekonomi yang bersifat kekeluargaan dan gotong royong, digantikan dengan ekonomi liberal, menyembah kapital!

Kemiskinan, pengangguran, kemudian menjadi dampak yang akut. Rakyat hanya menjadi buruh atau buruh tani yang menggantungkan hidupnya kepada tenaganya, bukan kepada sumber-sumber agraria yang mestinya menjadi miliknya.

Mari coba kita tengok sejarah kepemilikan serta penguasaan tanah dalam sejarah bangsa kita. Sebelum kolonialisme masuk dan menguasai tanah air, kekuasaan sepenuhnya berada di tangan para Raja.  Tanah milik raja, petani hanya memiliki hak garap tanah dan harus membayar upeti dari hasil panen. Ketika VOC masuk, tanah dijadikan sarana untuk mengeruk hasil bumi yang laku di pasar Eropa dengan jalan melakukan penaklukan terhadap raja-raja.

Pada masa Pemerintahan Herman Willem Deandels tahun 1808-18011, tanah mulai dijual ke swasta.
Inggris datang menguasai negeri kita, di bawah Raffles, 1811-116, yang memberlakukan sistem pajak tanah sebagai pengganti kebijakan yang diterapkan VOC. Raffles telah membuat satu perubahan fundamental, jika VOC memaksa rakyat membayar upeti, maka Inggris memperkenalkan pembayaran sewa yang nilainya sebesar dua pertiga hasil panen.

Bagi Raffles, semua tanah adalah eigendom (hak milik) pemerintah, sedangkan rakyat adalah pachter (penyewa), termasuk di dalamnya juga tanah ulayat. Raffles juga menghapus kekuasaan raja-raja.
Akibat  perang Jawa pemerintahan kolonial bangkrut, untuk memulihkan ekonomi, di bawah Van den Bosch pada tahun 1830 memberlakukan sistem tanam paksa, pengganti sistem pajak tanah dengan kembali memanfaatkan pengaruh para bupati ini untuk memaksakan kebijakan tanam paksa itu.

Pada masa kekuasaan Van den Bosch rakyat betul-betul hidup menderita. Selain ditindas oleh Kolonial Belanda, juga ditindas oleh para Priyayi! Sistem Tanam Paksa menempatkan rakyat Indonesia kuli dinegeri sendiri!

Van den Bosch menjadikan perkebunan negara penghasil bahan-bahan ekspor, dan memberikan keuntungan yang sangat besar bagi negeri Belanda, menjadi pelampung bagi negeri Belanda yang hampir tenggelam.
Sistem tanam paksa dikritik serta dilawan dimana-mana, maka disusunlah UU baru, yang seolah-olah memberikan pengakuan terhadap status kepemilikan tanah rakyat. Akan tetapi, UU itu hanyalah memberi jaminan kepada modal asing untuk menguasai lahan-lahan di tanah air kita.

Agrarische Wet atau Undang Undang Pokok Agraria. Semua tanah rakyat yang tidak dapat dibuktikan kepemilikannya dinyatakan sebagai eigendom, sebagai tanah milik negara. Kalau ada seseorang yang mengaku bahwa sebidang tanah adalah hak miliknya, orang itu diwajibkan untuk membuktikan haknya itu. Hal seperti ini sama saja dengan situasi yang terjadi sekarang: jika tanah milik rakyat akan diambil oleh para pemodal itu melalui konsesi, mereka harus menunjukkan bahwa tanah itu milik mereka, padahal mereka sudah mendiami dan mengolah tanah itu turun temurun!

Agrarische Wet hanyalah memberikan jalan kepada modal besar asing agar berkembang di Indonesia. Melalui UU Agraria 1870, perkebunan besar merambah ke desa-desa, mengubah kehidupan petani. Petani memasuki era ekonomi uang dengan menjadi buruh upahan di perkebunan, petani menjadi kuli di negerinya sendiri.

“Bangsa Indonesia (karena kebijakan Agrarishce Wet) akan menjadi bangsa koelie, dan menjadi koelie diantara bangsa-bangsa!” kata Prof Van Gelderen. Dan hal itu terjadi sampai jaman sekarang ini. Undang-Undang Agraria 1870 menandai dimulainya jaman liberal: modal swasta mulai masuk menguasai tanah untuk perkebunan.

Menurut Hardjosudarmono (1970), selama tiga perempat abad, penguasaan tanah terbagi : (1) dari segi pemilikan tanah, dapat digolongkan: tuan tanah (pemilik tanah besar), pemilik tanah sedang, pemilik tanah kecil, dan golongan petani tak bertanah, (2) dari keadaan itu penggunaan tanahnya didapatkan: petani besar (tuan tanah yang mengerjakan tanahnya sendiri yang luas atau melepaskan pada orang lain untuk disewa tau membiarkan kosong), pemilik sawah sedang yang menjadi petani sedang, pemilik tanah kecil, petani yang tak punya sawah.

Cornelis de Jonge, Gubernur Jenderal Hindia Belanda yang berkuasa pada tahun 1931-1936, menjadikan target utama investasi asing ini adalah penguasan bahan mentah. Untuk menarik kapital asing, pemerintah kolonial memberlakukan sejumlah kebijakan murah investasi, seperti penghapusan pajak, politik upah murah dan jaminan kemananan terhadap aset dan operasi kapital asing.

Pada tahun 1931, Gubernur Jenderal De Jonge bicara di depan Volksraad (parlemen Hindia-Belanda), bahwa Perusahaan Eropa di Indonesia memberi pekerjaan kepada buruh Indonesia, menambah pajak untuk kas negara, dan menghasilkan barang-barang yang bisa dijual ke luar negeri. Karena itu, De Jonge memerintahkan agar perusahaan barat itu jangan diganggu, jangan ditimpali dengan pajak yang berat, dan janganlah ada gerakan kemerdekaan. Karena, menurutnya, kalau perusahaan Eropa itu diganggu, maka rumah tangga negeri dan kehidupan rakyat akan kocar kacir.

Apa bedanya pandangan Gubernur Jenderal De Jonge itu dengan pemerintahan sekarang ini?
Menurut Bung Hatta, kerusakan yang ditimbulkan modal asing adalah berpuluh-puluh kali lipat lebih besar dibanding jasa yang dihasilkannya. Pemikiran ala De Jonge alias Nederland denken ini ternyata dianut oleh Pemerintahan kita sekarang ini, menjadi mind-set para penyelenggara negara kita saat ini. Akibatnya, manisnya dimakan oleh kaum kapitalis asing, sampahnya menimpa rakyat Indonesia!

Tentara Jepang masuk, terjadi perubahan kebijakan tentang agrarian. Jika kolonialisme Belanda memusatkan pada penanaman tanaman komoditi untuk memenuhi permintaan pasar Eropa, Jepang memprioritaskan penanaman bahan pangan dan tanaman jarak untuk mendukung kebutuhan perang.

Saat Jepang masuk, perkebunan-perkebunan besar ditinggalkan Belanda maupun modal asing lainnya. Lahan perkebunan yang terlantar ini kemudian diambil alih oleh rakyat.

Merdeka adalah bebas dari kekuasaan feudalisme, kolonialisme maupun imperialisme.  Nasional demokratis sebagai tahapan menuju masyarakat yang berdaulat, adil dan makmur. Menurut Muhammad Hatta, tanah-tanah perkebunan besar itu dahulunya adalah tanah rakyat, dan bagi bangsa Indonesia, tanah jangan dijadikan barang dagangan yang semata-mata digunakan untuk mencari keuntungan (komoditi komersial). Hal inilah yang menjiwai UUPA 1960.

Usaha-usaha yang dilakukan oleh para pendiri bangsa kita untuk mengubah penguasaan sumber agraria itu terus dilakukan. Pada tahun 1946, diadakan uji coba land-reform dengan penyusunan UU No. 13/1946 tentang Landreform di daerah Banyumas. Kemudian ada UU Darurat Nomor 13/1948 Landreform di daerah Istimewa Yogyakarta dan Surakarta. Pada tahun 1948 itu pula dibentuklah sebuah Panitia Negara yang bertugas mengembangkan pemikiran dalam rangka mempersiapkan Undang-Undang Agraria yang baru, Undang-Udang Nasional, untuk menggantikan UU Agraria kolonial 1870.

Namun usaha ini belum bisa dijalankan pada masa revolusi fisik, karena pemerintah sedang berkonsentrasi menjaga eksistensi negara akibat tekanan dari Belanda. Setelah situasi politik dan keamanan mulai stabil,  Panitia Agraria Yogya (1948) dihidupkan kembali pada tahun 1951. Tahun 1957 Indonesia membatalkan perjanjian KMB, dan tahun 1958 menasionalisasi perkebunan-perkebunan besar milik asing, serta melalui UU No. 1/1958 menghapuskan tanah-tanah partikelir.

Dan pada akhirnya, setelah melalui proses panjang itu, pada tanggal 24 September 1960, DPR mengesahkan UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agaria yang kemudian dikenal sebagai UUPA Tahun 1960. Penjabaran terpenting dari UUPA  1960 adalah ditetapkannya UU No. 56/1960 yang kemudian dikenal sebagai UU Landrform, yaitu tentang penetapan luas tanah pertanian. Pada tanggal 24 September 1961, mulailah dilaksanakan program land reform itu. Hampir satu juta hektar tanah didistribusikan kepada petani penggarap. Namun belum selesai proses pelaksanaan land reform itu, Bung Karno dijatuhkan.

Ketika Orde Baru berkuasa, prinsip-pirinsip kedaulatan, kemandirian serta kepribadian, yang  sudah diletakkan oleh para pendiri bangsa kita dikubur dalam-dalam, dengan menjadikan pertumbuhan ekonomi berbasis investasi sebagai pondasi utama. Reforma agraria dihentikan, UU Nomor 05 tahun 1960 dibekukan!

Pada tahun 1967 disusunlah undang-undang yang mengabaikan UUPA 1960, yaitu UU PMA, UU Pokok Kehutanan, UU Pokok Pertambangan.
Dari tahun ke tahun terjadi peningkatan jumlah petani gurem dan petani tak bertanah (buruh tani). Dari  26 juta rumah tangga petani di Indonesia, terdapat 11,1 juta yang tidak memiliki tanah sama sekali. Sedangkan sisanya rata-rata memiliki lahan hanya 0,3 hektar. Sementara 0,2 persen penduduk menguasai 56 persen aset nasional yang sebagian besar (87 persen) dalam bentuk tanah. Dengan demikian, terjadi ketimpangan penguasaan dalam pengelolaan tanah.

Mengenai ketimpangan penguasaan dalam pengelolaan tanah tersebut terlihat dalam data sektor kehutanan, perkebunan, dan pertambangan. Dari data-data yang dihimpun dari berbagai sumber, di sektor kehutanan, sekitar 17,38 juta hektar diberikan kepada 248 perusahaan dalam bentuk izin usaha penguasaan hasil hutan dan kayu dan 8,8 juta hektar untuk hutan tanaman industri, sektor perkebunan, sekitar 15 juta hektar untuk hak guna usaha.

Selanjutnya, 35 persen daratan kita dikuasai 1.194 pemegang kuasa pertambangan, 341 kontrak pertambangan, dan 257 kontrak pertambangan batu bara (Kompas, 6/1/2012).
Investasi ketiga sektor ini semakin meningkat sejak disahkannya UU Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Dari data berbagai sumber menunjukkan jumlah petani gurem dan petani tak bertanah semakin meningkat. Hampir 60 persen penerima beras untuk rakyat miskin adalah petani. Jutaan anak petani putus sekolah dan banyak petani yang kurang gizi.

Ketimpangan dalam penguasaan lahan inilah menjadi penyebab utama konflik pertanahan. Menurut Mochammad Tauhid, perebutan tanah berarti perebutan makanan, perebutan tiang hidup manusia. Untuk itu, orang rela menumpahkan darah, mengorbankan segala yang ada demi mempertahankan hidup selanjutnya.
Land reform adalah penataan ulang agraria termasuk peruntukannya. Pada masa Presiden B.J. Habibie, ada upaya meninjau kembali kebijakan landreform, tetapi belum berjalan sudah ada pergantian Presiden. Selanjutnya, Presiden Abdurahman Wahid menyatakan bahwa 30 persen dari tanah-tanah perkebunan itu seharusnya didistribusikan kepada rakyat. Pernyataan itu disambut rakyat dengan menduduki tanah-tanah yang dibiarkan terbengkalai.

Masalah agraria kembali terangkat ke permukaan seiring dengan tuntutan rakyat akan kebutuhan sumber-sumber agraria tersebut. Pada masa Presiden Megawati, MPR hasil pemilu 1999 membentuk BP Agraria, yang melahirkan TAP MPR No. IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam.
Isi TAP MPR Nomor IX/2001 itu memberikan mandat kepada Presiden maupun DPR agar mengambil langkah tindak lanjut. Ketika sampai dengan tahun 2003 ternyata tidak ada tanda-tanda tanggapan baik dari DPR maupun dari presiden. Walaupun pada masa akhir jabatannya Presiden Megawati mengeluarkan Keppres No. 34/2003 yang isinya memberi mandat kepada Badan Pertanahan Nasional (BPN) untuk melakukan penyusunan RUU mengenai penyempurnaan UUPA 1960, namun itupun juga tidak ada realisasinya.

Pada Pemerintahan SBY, ia menjanjikan redistribusi lahan untuk petani. Dan berdasarkan perintah SBY, Hendarman Supanji setelah dilantik menjadi Kepala BPN, tanggal 14 Juni 2012, menjanjikan dua hal: pertama, akan melaksanakan reforma agrarian; dan kedua, akan menyelesaikan konflik agraria.
Namun janji itu sampai sekarang belum ada penampakannya. Di sisi lain, konflik agraria semakin keras dan meningkat. Menurut Kepala Departemen Mitigasi Lingkungan dan Sosial Sawit Watch Norman Jiwan, sepanjang 2010 terjadi sekitar 660 kasus konflik agraria di kawasan perkebunan kelapa sawit. Sepanjang 2009, jumlah konflik agraria di kawasan perkebunan kelapa sawit berkisar 240 kasus. Kriminalisasi warga yang terlibat konflik naik dari 112 orang pada 2009  menjadi 130 orang lebih pada 2010. (lihat, Kompas, 5/1/11).

Sepanjang tahun 2011, Konsorsium Pembaharuan Agararia (KPA) mencatat terdapat 163 konflik agraria di seluruh Indonesia. Jumlah itu meningkat 35% dibanding tahun 2010 sebanyak 106 konflik. Tak hanya itu, terdapat 22 petani/warga yang tewas di wilayah-wilayah sengketa dan konflik agraria (lihat, Media Indonesia, 28/12/2011).

Konflik ini disebabkan karena aturan serta UU lebih banyak memberikan ruang kepada para pemilik modal (asing) untuk menguasai tanah. Misalnya, Peraturan Menteri Pertanian Nomor 26/ Permentan/OT.140/2/2007 yang mengubah batasan luas kebun sawit tiap perusahaan di satu provinsi dari 20.000 hektar menjadi 100.000 hektar. Dengan kemudahan mendapatkan izin konsesi dan hak penguaaan sumber agraria diperoleh oleh para pemilik modal, maka perampasan lahan milik petani semakin menggila.
Berkaitan dengan konflik agraria itu, menurut berbagai pihak, ada dua faktor utama penyebab tingginya konflik lahan: pertama, orientasi agraria nasional yang menjadi pelayan neokolonial, seperti UU Perkebunan, UU Migas, UU Minerba, UU Penanaman Modal, dan sebagainya. Kedua, dikedepankannya penyelesaian konflik secara represif (kekerasan) daripada persuasif. Selain itu, konflik sengketa lahan juga makin rumit dengan melibatkan spekulan, mafia tanah dan makelar.

“Nyata sekali, bahwa semangat harimaunya sudah dijinakkan sampai kutu-kutunya dan bahwa (mereka) tak luput dari bekerjanya obat tidur penjajahan yang lama dibawah bangsa asing yang lebih kuat!” kata Bung Karno (Indonesia Menggugat).

Bagaimanapun juga, untuk membangun ekonomi nasional menuju masyarakat Indonesia yang adil dan makmur, lahir serta batin, masalah agraria merupakan masalah mendasar dan mendesak. Dan ingat! Sampai sekarang UUPA Nomor 05 tahun 1960 belumlah dicabut. Untuk itu, mestinya landasan dalam menyusun UU yang berhubungan dengan penggunaan sumber agraria itu tidak boleh bertabrakan dengan UUPA 1960 tersebut. Misalnya UU Penanaman Modal, UU Migas, UU Kehutanan, UU Perkebunan, UU tentang Air dan lain-lain.

Jika cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945 mau ditegakkan kembali, mau tidak mau semua produk UU yang bertentangan dengan kepentingan nasional harus dicabut, dengan mengembalikan semangat UUD Proklamasi 1945, yang anti kolonialisme dan imperialisme.

Perjuangan untuk menegakkan kedaulatan serta martabat bangsa ini memang tidak mudah, dan pasti akan menghadapi kekuatan besar, maka dibutuhkan kekuatan besar pula, tekad yang besar pula, hanya persatuan nasional, konsentrasi kekuatan nasional, dari unsur-unsur dan seluruh kekuatan rakyat yang ingin menegakkan kembali kedaulatan, kemandirian dan kepribadian bangsa itu sebagai jalan dan prasyarat menuju masyarakat Indonesia yang adil makmur.

Kita harus sadar, untuk melemahkan semangat kebangsaan, kekuatan imperialis akan menggunakan segala cara untuk memecah belah bangsa kita, memperlemah kekuatan kita, menghilangkan identitas kita sebagai sebuah bangsa, menempatkan kita menjadi bangsa yang selalu bergantung dengan modal asing itu.
Sudah saatnya bangsa Indonesia percaya dengan kekuatan sendiri. Tidak ada alasan lagi kita menjadi bangsa ke tiga yang hanya menjadi sasaran eksploitasi dari bangsa lain, menjadi obyek penghisapan modal asing.
Kita memiliki segalanya, kekayaan sumber daya alam tidak ada bandingannya, sumber daya manusia kita juga sudah cukup. Yang belum terbangaun adalah kesadaran nasional, kepercayaan diri secara nasional, mengkonsentrasikan kekuatan nasional, untuk membangun kepemimpinan nasional yang mau berjuang bersama rakyat, untuk bergotong royong merebut kembali kekayaan sumber daya alam, memenangkan kembali cita-cita proklamasi 17 Agustus 1945, meletakkan Pancasila dan UUD Proklamasi 1945, sebagai filosofi dan dasar negara untuk menegakkan kedaulatan, kemandirian dan kepribadian, sebagai prasyarat menuju masyarakat adil makmur, lahir batin.

Mari, kita jangan terlalu lama tidur di bawah tipu muslihat imperialis dan para kompradornya! Saatnya kita bangkit, dengan tekad baja, semangat yang menyala-nyala, bergotong royong merebut kembali hak kita, merebut kembali tanah air kita, sumber daya alam kita, martabat kita sebagai bangsa, tumbuhkan kepercayaan diri, berdiri di kaki sendiri, demi anak cucu kita, untuk kemakmuran hidup bersama, meneruskan cita-cita para pendiri bangsa kita!

Selamat Berjuang!
Salam Gotong Royong!

Agus Jabo Priyono

Kamis, 19 September 2013

Bung Karno: Revolusi Indonesia Menuju Sosialisme!


Revolusi kita bukan sekadar mengusir Pemerintahan Belanda dari Indonesia. Revolusi kita menuju lebih jauh lagi daripada itu. Revolusi Indonesia menuju tiga kerangka yang sudah terkenal. Revolusi Indonesia menuju kepada Sosialisme! Revolusi Indonesia menuju kepada Dunia Baru tanpa ‘exploitation de l‘homme par l‘homme’ dan ‘exploitation de nation par nation’. 
Soekarno

Kata-kata di atas merupakan isi pidato Bung Karno pada tanggal 17 Agustus 1964. Pidato itu, yang kemudian dinamai “Tahun Vivere Pericoloso-TAVIP”, merupakan jawaban gamblang Bung Karno terhadap mereka yang mengira pergerakan Kemerdekaan Indonesia berakhir dengan terusirnya Belanda dari Indonesia.

Saat itu, sebagian elit Indonesia berpikiran, bahwa tujuan pergerakan kemerdekaan hanyalah merebut kemerdekaan, menyusun pemerintahan nasional, mengganti pegawai asing dengan pegawai bangsa sendiri, dan lain-lain. Nah, Pidato TAVIP itu adalah penegasan, bahwa Revolusi Agustus 1945 bermuara pada sosialisme.

Dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia, diskursus sosialisme sangat dominan. Hampir semua spektrum politik pergerakan nasional, yakni nasionalis, agamais, dan marxis, mengakui cita-cita sosialisme dengan berbagai variannya.

Bung Karno, yang sering ditempatkan di spektrum kaum nasionalis, sangat lantang menyatakan bahwa sosialisme merupakan tujuan akhir dari perjuangan kemerdekaan Indonesia. Itu sangat nampak dalam tulisan-tulisan dan pidato Bung Karno.

Dalam artikel berjudul “Mencapai Indonesia Merdeka”, yang ditulis tahun 1933, Bung Karno tegas mengatakan, “maksud pergerakan kita haruslah: suatu masyarakat yang adil dan makmur, yang tidak ada tindasan dan hisapan, yang tidak ada kapitalisme dan imperialisme.”

Dalam tulisannya itu, Bung Karno juga mempertegas bahwa Indonesia merdeka hanyalah “jembatan emas”. Artinya, kemerdekaan hanyalah “penghubung” antara perjuangan rakyat Indonesia dengan cita-citanya yang lebih tinggi, yakni masyarakat adil dan makmur.

Namun, penjelasan lebih rinci dari cita-cita sosialistik Bung Karno terangkum dalam buku “Sarinah”, yang merupakan kumpulan kuliah Bung Karno dalam kursus Wanita di Jogjakarta tahun 1946. Di situ Bung Karno menguraikan pengertiannya mengenai sosialisme dan syarat-syarat untuk mewujudkannya.

Yang menarik, Bung Karno mengajukan pertanyaan, bisakah masyarakat yang terbelakang (belum mengenal listrik, surat kabar, radio, rumah sakit, baca-tulis, dan lain-lain), bisa mencapai sosialisme? Menurut dia, masyarakat terbelakang semacam itu, sekalipun di dalamnya tidak ada kapitalisme, tidak ada imperialisme, tidak ada feodalisme, tidak bisa mewujudkan sosialisme.

Alasannya sederhana: masyarakat semacam itu tidak bisa mendatangkan kesejahteraan sosial. Sebab, bagi Bung Karno, esensi dari sosialisme adalah kesejahteraan sosial atau kemakmuran bagi semua orang. Dan sebagai syaratnya: harus ada kepemilikan pabrik yang kolektif; ada industrialisme yang kolektif; ada produksi yang kolektif; dan ada distribusi yang kolektif.

Bung Karno meyakini, supaya kesejahteraan kolektif bisa tercapai, harus ada kemajuan teknik dan kemajuan pengetahuan. Ini sejalan dengan proposisi marxisme, bahwa perkembangan kekuatan-kekuatan produktif, yang di dalamnya mencakup kemajuan teknik dan kecakapan manusia, yang tidak dirintangi hubungan-hubungan produksi—kalau dirintangi, akan dijebol melalui “Revolusi”—melahirkan perubahan corak produksi.

Bung Karno sendiri mengatakan, “alat-alat teknik, dan terutama sekali semangat gotong-royong yang telah masak, itulah soko-gurunya pergaulan hidup yang sosialistik.” Artinya, kemajuan kekuatan-kekuatan produktif, terutama kemajuan teknik dan kecakapan manusia, harus disertai dengan relasi produksi yang bersifat gotong-royong.

Masalahnya, kata Bung Karno, dalam konteks Indonesia yang masih terjajah, syarat-syarat menuju sosialisme itu dirintangi oleh kolonialisme (penindasan nasional) dan feodalisme. Karena itu, dalam kerangka perjuangan menuju sosialisme, revolusi Indonesia harus melalui tahapan-tahapan yang berkesinambungan (bukan tahapanisme yang terpisahkan oleh tembok China ala Stalinisme).

Bung Karno selalu berpesan, “sosialisme Indonesia sebagai hari depan Revolusi Indonesia bukanlah semata-mata ide ciptaan seseorang “in een slapeloze nacht” (dalam satu malam yang tidak tidur), juga bukan suatu barang yang diimpor dari luar negeri, atau sesuatu yang dipaksakan dari luar masyarakat Indonesia, melainkan suatu “reaktief verzet van verdrukte elementen” (perlawanan penentangan daripada anasir/kaum yang tertekan), suatu kesadaran sosial yang ditimbulkan oleh keadaan sosial Indonesia sendiri, suatu “historische Notwendigkeit”, suatu keharusan sejarah.”

Dengan demikian, dalam konteks sosialisme Indonesia, sosialisme harus merupakan hasil “penciptaan yang heroik”, yang sesuai dengan karakteristik dan kekhususan masing-masing bangsa. Bung Karno menolak sosialisme yang dicopy-paste dari luar atau sosialisme tiruan.

Lebih lanjut, Bung Karno menjelaskan, kendati sosialisme itu adalah keharusan sejarah, tetapi ia tidak seperti “datang seperti embun diwaktu malam dengan sendirinya”. Sosialisme sebagai keharusan sejarah hanya dapat direalisasi melalui kesadaran dan tindakan manusia.

Untuk merealisasi sosialisme sebagai keharusan sejarah itu, Bung Karno membentangkan jalannya: fase nasional-demokratis dan fase sosialisme. Dalam fase nasional demokratis, kita akan mendirikan Negara Indonesia yang merdeka dan demokratis. Sedangkan dalam fase sosialisme, kita akan mendirikan sosialisme.

Dalam fase nasional demokratis, sasaran pokok revolusi adalah mengakhiri penindasan nasional (kolonialisme/imperialisme) dan menghancurkan sisa-sisa feodalisme. Dalam fase ini, perjuangan kita adalah meremukkan kolonialisme di lapangan politik, ekonomi, dan sosial-budaya. Selain itu, akan dijalankan land-reform sebagai upaya menghapuskan hak-milik tuan feodal dan mendemokratiskan kehidupan rakyat di pedesaan.

Dalam fase nasional-demokratis ini, ungkap Bung Karno, kita juga menyiapkan syarat-syarat untuk dimulainya fase selanjutnya, yakni revolusi sosialis. Syarat-syarat itu, antara lain, memajukan teknik/industrialisasi, mencerdaskan kehidupan rakyat, mendorong demokratisasi seluas-luasnya, dan mendorong produksi di bawah kontrol komunitas atau masyarakat.

Dalam buku “Sarinah”, Bung Karno menyatakan bahwa konstitusi kita, yakni UUD 1945, mencerminkan transisi dari negara nasional borjuis menjadi negara sosialis. “Undang-Undang Dasar kita adalah Undang-Undang Dasar sebuah negara yang sifatnya di tengah-tengah kapitalisme dan sosialisme,” kata Bung Karno.
UUD 1945 itu, kata dia, di satu sisi kakinya masih berpijak dalam bumi burgerlijk (kapitalistik), tetapi di dalam kandungannya telah hamil dengan kandungan masyarakat sosialis. Inilah konsep negara peralihan ala Bung Karno, yakni sebuah negara yang sedang melakukan transisi ke sosialisme.

Kemudian, tahap yang kedua, yakni revolusi sosialis, yang mengarah pada perwujudan sosialisme Indonesia, yang tidak ada lagi kapitalisme dan  l’exploitation de l’homme par I’homme

Salah satu ciri utama dari sosialisme adalah kepemilikan sosial terhadap alat produksi. Dan ini, seperti ditekankan oleh Bung Karno, negara hanya berfungsi sebagai organisasi atau alat, tetapi pemilikan sosial yang sesungguhnya harus di tangan rakyat.

Dengan pemilikan alat produksi di tangan rakyat, kemudian perencanaan produksi oleh rakyat, dan juga tujuan produksi adalah untuk memenuhi kebutuhan rakyat, maka cita-cita masyarakat adil dan makmur bisa direalisasikan di bumi Indonesia ini.

Timur Subangun, kontributor Berdikari Online

Hikayat Negara Depok


Gedoran Depok: Revolusi Sosial di Tepi Jakarta, 1945 – 1955 (2011). Penulis: Wenri Wanhar. Penerbit: Telahsadar, Depok.

Lewis Mumford dalam The City in History menganggap sejarah asal mula kota penuh misteri. Masa lalu seolah terkubur bersama pertanyaan tanpa jawaban. Dan begitulah Depok hari ini. Deretan perumahan, kampus, dan sejumlah tempat hang out dengan berbagai fasilitas mengesankan kota ini lahir dalam keadaan langsung dewasa. Depok seakan minus masa kecil, masa di mana ia mulai dilahirkan.
Pembahasan melalui karya atas wilayah yang kini menjadi kotamadya di Jawa Barat ini bisa dihitung dengan jari. Akan tetapi, belum lama ini, di tengah keheningan sejarah dari wilayah yang kini jumlah penduduknya sekitar 1,7 juta jiwa, muncul sebuah karya besutan Wenri Wanhar berjudul Gedoran Depok; Revolusi Sosial di Tepi Jakarta 1945-1955. Sebagaimana judulnya, karya ini menggedor pengetahuan sejarah kita. Benak akan terhenyak sebab di dalamnya dipaparkan bahwa wilayah yang bersebelahan dengan ibu kota negara Indonesia, Jakarta, ini sempat menjadi semacam republik.

Republik Depok?
Siapa sangka kota di dalam Republik Indonesia itu ternyata awalnya ‘Republik’ Depok. Jangan bayangkan Depok pada masa itu seluas sekarang. Wilayahnya hanya sekitar 1.224 hektar. Teritori Depok ini merupakan tanah milik seorang kaya raya mantan pegawai VOC (Perserikatan Perusahaan Dagang Kerajaan Belanda di Hindia Timur). Ialah Cornelis Chastelein, tuan tanah berdarah Perancis-Belanda, sang empunya Depok. Sebagaimana dilansir koran di Jakarta, Kompas (22/12/11), bahwa dalam testamennya, Chastelein menginginkan tanahnya itu kelak menjadi semacam komunitas sejahtera, suatu “perhimpoenan masehi jang indah”.

Waktu berganti, dan setelah Chastelein menutup mata, Depok menggeliat. Tak sekadar menjadi komunitas, sebagaimana diinginkan sang pendiri, Depok bermetamorfosa menjadi negara. Akan tetapi, tentu saja, jangan bandingkan dengan kriteria negara pada era kekinian yang kian kompleks dengan berbagai lembaga dan kelengkapan. Pada 1871, seorang advokat bernama Mr. M.H. Klein membantu proses peletakan batu pertama berdirinya Pemerintahan Otonom Depok semacam ‘Desa Republik’.

Berikutnya, bentuk Depok lebih dipertegas dengan lahirnya Reglemen Van Het Land Depok (regulasi negara Depok) pada kisaran 1886. Setelah mengalami beberapa revisi, pada awal 1913, reglemen van het land Depok kembali direvisi dan ditandatangani oleh G. Jonathans selaku Presiden Depok dan M.F. Jonathans selaku sekretaris. Di dalamnya terdapat penjelasan tentang struktur pemerintahan Depok, yakni Vergaderingen, Commissarissen, dan Bestuur, yang dipimpin oleh presiden dengan masa jabatan tiga tahun. Setelah itu dilakukan pemilihan umum untuk menentukan siapa presiden Depok berikutnya berdasarkan suara terbanyak. Untuk menjalankan tugasnya, presiden Depok dibantu oleh sekreteris, bendahara, dan beberapa petugas.

Selain secara administratif merupakan daerah otonom bercorak republik, secara geografis Depok dapat dimasukkan dalam kategori negara kota. Dalam teori politik klasik, negara kota atau polis selalu merujuk pada Athena di Yunani. Sebagaimana Depok yang diharapkan Chastelein menjadi tempat sejahtera dan tenteram, demikian pula Pericles, petinggi Athena, mengharapkan nasib Athena yang beradab. Namun apa mau dikata, sejarah berkata lain. Ketenangan Athena diobrak-abrik tentara Sparta. Jika keruntuhan Athena ditandai oleh perang Peloponnesia, maka runtuhnya kedaulatan Depok sebagai city state ditandai oleh Gedoran.
Gedoran Depok bukan sekadar penjarahan sebagaimana arti kesekian dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia. Peristiwa ini tak lahir di ruang kosong. Selayaknya bangsa Athena yang diserang bangsa Sparta, demikian pula yang terjadi di Depok. ‘Bangsa Depok’ yang juga kerap disebut ‘Kaoem Depok Dalam’ digedor oleh laskar rakyat. Peristiwa yang meletus pada 1949 ini bermula dari sikap ‘Bangsa Depok’ yang terkesan tidak mengakui kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945. Hal tersebut diakui oleh putera dari Johanes Matheis Jonathans, presiden Depok terakhir, sebagaimana direkam Wenri Wanhar dalam Gedoran Depok. “1945 belum merdeka! Peristiwanya dadakan. Tiba-tiba Jepang menyerah setelah Hiroshima dan Nagasaki dibom. Jadi pemerintahan di sini kosong…” demikian papar Cornelis Josef Jonathans yang akrab disapa Opa Yoti.

Agaknya sikap politik ini satu dari sekian pemicu yang memercik benturan. Sebab, faktor lain juga mempertontonkan ketimpangan dan perbedaan mencolok seperti halnya gaya hidup dan identitas budaya orang Depok pada masa itu yang cenderung beraroma Belanda. Dalam cara pandang alam revolusi, fenomena perbedaan identitas ini melahirkan gesekan horizontal sebab laskar rakyat akan melihat ‘Orang Depok Dalam’ sebagai the others yang identik dengan pihak yang sedang mereka perangi, Belanda.

Kaoem Depok atau Bangsa Depok
Siapa sebenarnya orang Depok? Banyak pendapat mengenai identitas ataupun penamaan orang Depok. Ada yang menyebut ‘Kaoem Depok’, ‘Orang Depok Dalam’, atau ‘Belanda Depok’. Istilah yang terakhir ini kurang disenangi. Dalam perspektif antropologi, pengamat Depok Graafland menyebut mereka sebagai Mixtum Compositum. Keragaman suku yang membentuk komposisi masyarakat Depok membuatnya terlihat sebagai komposisi campuran.

Tapi, dari mana berbagai suku itu datang? Sebagaimana tertulis dalam Het Testamen Van Cornelis Chastelein, bahwa asal mula suku yang beragam itu berawal dari niatan Chastelein membangun tanahnya yang luas sehingga ia membutuhkan banyak budak. Ratusan budak ia datangkan dari berbagai daerah seperti Bali, Makassar, Betawi, Benggala, Timor, dan sebagainya. Setelah wafat, Chastelein dalam wasiatnya memerdekakan para budak dan keturunan mereka dengan sarat mengikuti ajaran Chastelein dan menggunakan marga di belakang nama mereka. Satu dari dua belas marga boleh mereka pilih: Loen, Jonathans, Soedira, Bacas, Leander, Zadokh, Samuel, Tholense, Jakob, Iskah, Laurens, dan Joseph.
Selain itu, keragaman juga ditambah dengan masuknya wanita berdarah Melayu atau kembang desa, serta tak jarang terjadi pernikahan campur dengan wanita berdarah Tiong Hoa atau Eropa. Alhasil, keragaman etnik dan ras demikian berwarna di Depok. Jika di Jawa dikenal “kebudayaan Indis” di kalangan priayi, maka di Depok kebudayaan separuh Eropa separuh pribumi itu dipraktikkan di kalangan keturunan mantan budak. Tengoklah nama presiden Depok yang menandatangani Reglemen. Di belakang namanya yang tertulis dengan inisial ‘G,’ ia menggandengkan marga Jonathans, satu dari dua belas marga khas Depok. Itu menandakan bahwa G. Jonathans, sang Presiden, merupakan keturunan mantan budak Chastelein. Fakta ini sekaligus merontokkan tesis Aristoteles yang mengatakan bahwa bekas budak tidak bisa menjadi aristokrat.
Dalam keseharian, selain bergaya hidup Eropa, orang Depok terbilang hidup dalam kemewahan. Mereka memiliki saluran irigasi yang baik, sawah dengan panen berlimpah, ternak, dan rumah gedong. Ini jauh berbeda dengan warga kampung di sekitar Depok yang hidup dalam serba kesulitan sebagai rakyat terjajah dalam era revolusi. Sedikit banyak, realitas ekonomi yang timpang tersebut melengkapi sarat pecahnya Gedoran.

Perbedaan ini diperuncing dengan perbedaan budaya dan sikap politik yang menolak kemerdekaan Indonesia 1945. Alhasil, dalam bahasa sederhana dan dalam perspektif wilayah lain, ‘Kaoem Depok’ pada masa itu diidentifikasi sebagai bagian dari kolonial, sebagai bangsa yang memerintah, pro Belanda, dan kontra revolusioner. Sehingga, dalam pandangan laskar rakyat, mereka harus diperangi dan direbut. Depok kemudian mengakui kedaulatan Indonesia pada 1949 dan sovereiniteit overdracht (penyerahan kedaulatan) secara administratif selesai sekitar 1952 dengan pengaturan pembagian tanah eigendom.

Sumber : lenteratimur.com

Senin, 16 September 2013

45 Fakta Kebohongan Rezim SBY Di Balik Kenaikan Harga BBM



Dalam waktu dekat ini, Presiden SBY berencana kembali menaikkan harga BBM. Supaya terkesan kenaikan harga BBM ini “tak terhindarkan”, berbagai alasan pun diajukan.
Sayangnya, media massa di Indonesia tidak kritis. Mereka lebih banyak bertindak sebagai “jubir” pemerintah ketimbang menyampaikan informasi yang sehat kepada rakyat.
Karena itu, supaya masyarakat punya perspektif lain mengenai kenaikan harga BBM, berikut kami tuliskan beberapa fakta untuk menyingkap kebohongan di balik alasan pemerintah menaikkan harga BBM.
Pemerintah menyatakan: subsidi BBM telah menyebabkan defisit APBN
Kenyataannya:
  1. Subdidi BBM di APBN 2013 hanya Rp Rp193,8 triliun atau sekitar 12% dari total APBN. Faktanya, anggaran untuk membiayai aparatus negara mencapai 79% dari APBN. Itu sudah mencakup anggaran untuk membayar gaji pegawai yang mencapai Rp 241,1 triliun.
  2. Setiap tahun APBN juga dibebani oleh pembayaran cicilan utang dan bunganya. Untuk tahun 2012, porsi pembayaran utang mencapai   Rp113,2 triliun. Pada APBN 2013, anggaran pembayaran utang mencapai 21% atau Rp 241 triliun. Padahal, sebagian besar utang itu tidak pernah dinikmati oleh rakyat.
  3. Pemborosan anggaran sebetulnya banyak dilakukan oleh pejabat negara. Lihat saja, misalnya, gaji Presiden SBY yang mencapai US$ 124.171 atau sekitar Rp 1,1 miliar per tahun (tertinggi ketiga di dunia). Kemudian anggaran perjalanan dinas para pejabat negara Rp 21 trilun.
  4. Biaya pidato SBY untuk merespon HUT Kemerdekaan sebesar Rp 1,2 milyar; anggaran untuk parkiran kendaraan roda dua di Istana mencapai  Rp12,3 miliar, anggaran untuk 12 staf kepresidenan senilai Rp 27,5 miliar (tahun 2012), dan lain-lain. (Sumber: FITRA)
  5. Presiden SBY menghabiskan Rp 839 juta hanya untuk urusan bajunya. Sementara anggaran furniture Istana Negara mencapai Rp 42 miliar setiap tahunnya. Untuk penyusunan pidatonya saja, Presiden SBY pun harus menggerus dana APBN sebesar Rp1,9 milyar. Sedangkan untuk kebutuhan pengamanan pribadi, presiden SBY juga menyedot anggaran APBN sebesar Rp52 milyar. (Sumber: FITRA)
  6. Setiap tahunnya pemerintahan SBY memboroskan anggaran sebesar Rp 300 trilyun. Sebagian besar pemborosan itu terkait pembiayaan gaya hidup pejabat, seperti pembiayaan baju seragam, biaya makan dan minum perjalanan dinas, dan fasilitas kebutuhan pejabat. (Sumber: FITRA)
  7. Berdasarkan temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), selama tujuh tahun kepemimpinan Presiden SBY, sedikitnya Rp 103 triliun uang negara disalahgunakan atau dikorupsi. (Sumber: FITRA).
  8. Tingkat kebocoran APBN masih sangat tinggi. Menurut FITRA, tiap tahun kebocoran APBN mencapai 30%. Artinya, jika total APBN mencapai Rp 1600 triliun, berarti ada Rp 320-an triliun uang negara yang menguap tidak jelas.
  9. Menurut FITRA, penyebab utama defisit APBN adalah penurunan target penerimaan pajak sebesar Rp 53,6 triliun. FITRA memperkirakan penurunan pajak tersebut berperan 66 persen terhadap defisit APBN. Sementara subsidi BBM hanya berkontribusi 20% terhadap defisit.
  10. Ketika subsidi BBM terus meningkat, penerimaan negara dari sektor migas juga meningkat. Pada tahun 2005, penerimaan migas baru mencapai Rp 138,9 triliun. Lalu, pada tahun 2010 penerimaan menjadi Rp 220 triliun. Tahun 2012 lalu, penerimaan migas mencapai 265,94 Triliun.
  11. Menurut Ahmad Erani Yustika, ekonom dari INDEF, selama kurun 2005 hingga 2010, persentase subsidi energi terhadap penerimaan migas baru mencapai 64% (minyak sebesar 44% dan listrik 20%). Persentase yang sangat tinggi tercatat pada 2005 yang mencapai 75,2% dan 2008 sebesar 77,2%.
Pemerintah menyatakan: subsidi BBM salah sasaran dan hanya dinikmati oleh segelintir kaum kaya. Menurut pemerintah, sekitar 70% subsidi BBM justru dinikmati kaum kaya.
Bantahannya:
  1. Hasil kajian KEN menyatakan, subsidi BBM hanya dinikmati 12 persen masyarakat miskin (29 juta jiwa) dan 28 persen masyarakat rentan (70 juta jiwa). 60 persen subsidi BBM dinikmati kalangan mampu dan kaya (150 juta jiwa). Pertanyaannya: benarkah kalangan mampu dan kaya di Indonesia mencapai 150 juta jiwa? Apa ukuran KEN menyebut 150 juta jiwa Indonesia itu kaya dan mampu.
  2. Kajian dan penelitian ECONIT justru menemukan fakta berbeda. Menurut ECONIT, 65% BBM bersubsidi dinikmati oleh keluarga berpendapatan 4 USD (Dollar AS) ke bawah. Sementara sisanya dinikmati oleh keluarga berpendapatan 4 USD ke atas.
  3. Penelitian Fraksi PDI Perjuangan di DPR juga menemukan kesimpulan berbeda. Menurutnya, BBM bersubsidi dikonsumsi oleh sebanyak 64 persen kendaraan bermotor dan mobil sebanyak 36 persen. Kita tahu, motor bukan lagi barang mewah di Indonesia. Sudah begitu, banyak rakyat miskin menggantungkan hidup dari profesi sebagai tukang ojek.
  4. Selain itu, konsumen BBM bersubsidi bukan hanya sektor transportasi. Dalam Peraturan Presiden No. 15 Tahun 2012 Tentang Harga Jual Eceran dan Konsumen Pengguna Jenis Bahan Bakar Tertentu, antara lain, disebutkan: pengguna BBM bersubsidi juga meliputi nelayan dan pembudi daya ikan skala kecil, usaha pertanian kecil dengan luas maksimal 2 hektar, usaha mikro (UMKM), dan pelayanan umum seperti krematorium. Artinya, jika BBM dinaikkan, sektor usaha kecil ini akan ambruk.
Indonesia adalah negara yang kaya sumber energi. Kita punya cadangan minyak, gas, dan batubara yang melimpah. Lantas, kenapa negara ini seakan mengalami krisis energi?
  1. Produksi minyak mentah siap jual (lifting) nasional terus menurun. Sebelum SBY berkuasa pada tahun 2004, lifting minyak masih berkisar 1,4 juta barel perhari. Namun, pada akhir 2011 lalu, produksi minyak Indonesia hanya 905.000 barel perhari. Bahkan, pada tahun 2012 ini, produksi minyak cuma berkisar 890.000 barel perhari.
  2. Penyebab turunnya produksi minyak mentah Indonesia adalah produksi minyak Indonesia mengandalkan sumur-sumur tua dan keengganan pemerintah untuk melakukan investasi untuk eksplorasi minyak. Pemerintah beralasan, berinvestasi dalam eksplorasi minyak itu beresiko. Kata SKK Migas, Rudi Rubiandini, biaya eksplorasi minyak per sumur bisa mencapai Rp 1 triliun tetapi belum tentu dapat minyak alias dry hole. Pada kenyataannya, kendati beresiko, perusahaan asing justru berlomba-lomba melakukan investasi dalam eksplorasi minyak dan menikmati untung. Lagipula, potensi dry hole dalam eksplorasi bisa diminimalisir dengan pengembangan teknologi dan riset.
  3. Indonesia sebetulnya masih punya cadangan minyak. Menurut Kurtubi, cadangan minyak kita masih berkisar 50 miliar hingga 80 miliar barel. Namun, potensi cadangan terbukti (proved reserve) hanya sekitar 3,4 milyar barel. Seharusnya, kata Kurtubi, Indonesia sanggup memproduksi minyak 1,5 juta barrel per hari. Akan tetapi, karena tata kelola migas yang salah, maka kemampuan kita hanya 890.000 barel per hari.
  4. Produksi minyak Indonesia sebagian besar dikuasai oleh produksi asing. Data Kementerian ESDM tahun 2009 menyebutkan, pertamina hanya hanya memproduksi 13,8%. Sisanya dikuasai oleh swasta asing seperti Chevron (41%), Total E&P Indonesie (10%), Chonoco-Philips (3,6%) dan CNOOC (4,6%). Data ini tidak berbeda jauh dengan temuan Indonesian Re­sour­ce Studies (IRESS), bahwa Pertamina memproduksi hanya 15 persen dan 85 persen diproduksi oleh asing.
  5. Tata kelola migas saat ini, yang masih mengacu pada UU nomor 22 tahun 2001 tentang Migas, sangat merugikan negara. Akibat UU migas yang sangat liberal itu, sebagian besar kekayaan migas Indonesia jatuh ke tangan korporasi asing. Sudah begitu, hasil produksinya pun dijual dengan harga murah ke luar negeri seperti dalam kasus gas (kasus LNG Tangguh).
  6. Selain itu, akibat tata kelola migas yang tidak benar, Indonesia juga dibebani oleh biaya cost recovery yang terus meningkat tiap tahunnya. Bayangkan, pemerintah setiap tahun harus membayar sekitar Rp 120 triliun hanya untuk cost recovery.
  7. Seharusnya, ketika harga minyak dan gas dunia naik, seharusnya perusahaan atau kontraktor migas di Indonesia menikmati rejeki nomplok berupa “windfall profit”. Sayangnya, pemerintah Indonesia belum berani memberlakukan windfall profit tax kepada korporasi atau kontraktor asing tersebut.
Belakangan banyak pihak yang menuding, ada kepentingan asing di balik kenaikan harga BBM ini. Terutama untuk meliberalkan sektor hilir migas Indonesia.
  1.  Sejak tahun 2008, Organisasi Kerjasama dan Pengembangan Ekonomi (OECD) sudah “mengejar-ngejar” pemerintah Indonesia agar memastikan penghapusan subsidi BBM. Lalu, pada 1 November 2010, Sekjend OECD Angel Gurria menemui sejumlah Pejabat Tinggi Indonesia, termasuk Wapres Boediono dan Menkeu Agus Martowardoyo. Di situ, OECD berusaha menyakinkan pemerintah Indonesia agar segera menghapus subsidi BBM dan listrik hingga 2014.
  2. Dalam forum G-20 di Pittsburgh (2009) dan Gyeongju (2010), proposal penghapusan subdisi BBM makin gencar disuarakan. Di Pittsburgh, G20 memaksa negara anggotanya, termasuk Indonesia, segera menghapus subsidi BBM secara bertahap. Di Gyeongju, Korea Selatan, Pemerintah Indonesia menjanjikan akan melaksanakan penghapusan subdisi energi, khususnya BBM dan TDL, dimulai pada tahun 2011.
  3. Pada saat yang bersama, desakan serupa juga gencar dilakukan oleh lembaga seperti IMF, Bank Dunia, USAID dan ADB. Lembaga-lembaga tersebut memaksa pemerintah Indonesia segera menghapus subsidi energi paling lambat tahun 2014. Dengan demikian, terkait rencana penghapusan subsidi energi ini (BBM dan TDL), pemerintah Indonesia sudah dikejar jadwal.
  4. Kenaikan harga BBM ini merupakan desakan dari lembaga dan negara asing untuk mempercepat liberalisasi sektor hilir migas di Indonesia. Target dari penghapusan subsidi BBM adalah membuat harga jual BBM di Indonesia sesuai dengan harga pasar atau harga keekonomian. Menurut Menko Perekonomian Hatta Radjasa, harga keekonomian BBM di Indonesia seharusnya Rp 10 ribu. Nantinya, kalau harga jual BBM sudah mengacu ke harga pasar,  pemain asing (SPBU asing) bisa turut bermain dalam bisnis penjualan BBM di Indonesa.
  5. Sejak tahun 2005 lalu, tiga perusahaan asing sudah menyiapkan kesiapannya untuk membangun stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) di berbagai wilayah di Indonesia. Ketiganya adalah Shell (milik Inggris dan Belanda), Petronas (Malaysia), dan Total (Prancis). Pada tahun 2006, Dirjen Migas ESDM sudah mencatat, setidaknya 25% perusahaan swasta (lokal dan asing) sudah mendapat ijin prinsip ataupun ijin usaha untuk terlibat bisnis BBM.
  6. Dua pemain asing utama, Shell dan Petronas, berencana membangun ratusan SPBU untuk menyambut potensi bisnis BBM itu: Shell berencana membangun 400 SPBU dan Petronas akan membangun 500 SPBU. Sejumlah perusahaan swasta lokal juga sudah merintis usaha yang sama.
  7. Pada kenyataannya, menurut Institute For Global Justice (IGJ), sebanyak 176 negara di dunia masih memberikan subsidi energi. Diantara negara itu: Amerika Serikat sebesar $502 billion, China sebesar $279 billion, dan Russia sebesar $116 billion. Subsidi BBM di negara maju ini terkait erat dengan kebijakan industri dan perdagangan mereka.
  8. Negara-negara kaya energi lainnya berhasil membuat harga jual BBM mereka sangat rendah: Venezuela (0,08 USD/Rp.774), Mesir (0,09 USD/Rp.871), Saudi Arabia (0,10 USD/Rp 968), Qatar (0,12 USD/Rp 1,161), Bahrain (0,15 USD/Rp 1,452), Libya (0,15 USD/Rp 1,452), Turkmenistan (0,17 USD/Rp 1,645), Kuwait (0,17 USD/Rp 1,645), Aljazair (0,17 USD/Rp 1,645), dan Iran (0,21 USD/Rp 2,032).
Pemerintah mengklaim, kenaikan harga BBM akan menguntungkan rakyat. Sayangnya, pemerintah tidak bisa menjelaskan argumentasi itu lebih jauh. Pada kenyatannya, kenaikan harga BBM justru akan menyengsarakan rakyat.
  1.  Kenaikan harga BBM akan memicu kenaikan harga barang, termasuk kebutuhan pokok. Selanjut, kenaikan harga barang ini akan memicu kenaikan biaya hidup lainnya, seperti sewa kontrakan.
  2. Kenaikan harga BBM akan mendorong kenaikan tarif angkutan umum dan alat transportasi lainnya. Akibatnya, pengeluaran rakyat untuk urusan transportasi akan meningkat, seperti ongkos bepergian, transportasi berangkat ke tempat kerja, dan ongkos transportasi anak bersekolah.
  3. Kenaikan harga BBM juga memukul produktivitas nasional. Kalau daya beli rakyat menurun, hal itu berarti penurunan permintaan dalam pasar dalam negeri. Kondisi ini akan merugikan produksi dalam negeri, terutama usaha menengah dan kecil, yang sangat bergantung pada pasar internal.
  4. Kenaikan harga BBM akan membebani industri berupa kenaikan biaya produksi. Tentu saja, untuk mengimbanginya, pengusaha akan melakukan efisiensi. Pilihannya: mereka akan memangkas kesejahteraan buruh atau mengurangi jumlah pekerja. Dengan demikian, kenaikan harga BBM akan memicu penurunan kesejahteraan dan gelombang PHK.
  5. Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM), yang jumlahnya  mencapai 99,9% dari keseluruhan pelaku usaha di Indonesia, akan terkena dampak kenaikan harga BBM. Ketua Kadin Jabar Bidang UMKM dan kemitraan, Iwan Gunawan, memperkirakan pengeluaran UMKM untuk pembelian BBM akan naik 20%. Belum lagi pengaruh kenaikan harga BBM terhadap biaya bahan baku dan lain-lain. Padahal, sebelumnya UMKM sudah disusahkan oleh kenaikan biaya Tarif Dasar Listrik (TDL).
Pemerintah berdalih, dampak kenaikan harga BBM bisa ditekan dengan pemberian dana bantuan langsung kepada rakyat miskin. Benarkah?
  1. Kenaikan harga BBM akan memicu kenaikan harga barang dan biaya hidup rakyat. Artinya, daya beli rakyat akan merosot. Majelis Pekerja Buruh Indonesia (MPBI) memperkirakan, kenaikan harga BBM akan menyebabkan daya beli buruh akan menurun hingga 30 persen.
  2.  Data menunjukkan tenaga kerja yang betul-betul dianggap bekerja penuh (minimal 35 jam/minggu) hanya sekitar 70%, sedangkan sisanya adalah setengah penganggur dan penganggur terbuka. Lebih dramatis lagi, mereka yang dianggap bekerja penuh ternyata 65% bekerja di sektor informal dan hanya 35% bekerja di sektor formal (BPS, 2011). Artinya, mereka ini sangat rentan terkena dampak kenaikan harga BBM dan merosot tingkat kesejahteraannya.
  3. Dana kompensasi BBM—berapa pun besarannya–tidak akan bisa mengatasi kemiskinan. Alasannya sederhana: kenaikan harga BBM berdampak luas pada perekonomian nasional, yang memukul ekonomi rakyat dari berbagai segi (efisiensi industri, kenaikan harga barang, dan kenaikan biaya hidup). Menurut pengamat ekonomi Yanuar Rizky, dampak kenaikan harga BBM itu menggerus daya beli 90% rakyat Indonesia. Sementara dana kompensasi BBM, yang dirancang dengan anggaran terbatas dan sasaran yang terbatas pula, hanya menjangkau sebagian kecil dari mereka yang terkena dampak kenaikan harga BBM.
  4. Kenyataan juga menunjukkan, bahwa pada awal 2006 (setahun setelah kenaikan harga BBM) jumlah orang miskin melonjak menjadi 39,05 juta (17,75%). Artinya, program BLT saat itu tidak berhasil menekan dampak kenaikan harga BBM.
  5. BLT tidak membuat rakyat produktif dan mandiri. Artinya, sekalipun rakyat diberi BLT, tidak ada peluang mereka untuk keluar dari kemiskinan. Sebab, mereka tetap tidak punya pekerjaan dan tidak punya akses terhadap alat produksi.
  6. Sasaran penerima BLT ini sangat sedikit dan tidak menjangkau seluruh rakyat yang terkena dampak kenaikan harga BBM. Pada tahun 2005, ketika SBY menaikkan harga BBM dua kali, jumlah penerima BLT hanya 19,1 juta keluarga. Untuk program BLSM tahun 2013 ini, jumlah sasaran keluarga malah menurun, yakni hanya 15,5 juta keluarga.
  7. Sebagian besar dana bantuan atau kompensasi BBM ini dapat melalui pinjaman luar negeri dengan bunga tinggi. Dengan demikian, program ini tidak lebih sebagai strategi kapital untuk mendorong permintaan dengan utang-konsumsi.
  8. Lebih jauh lagi, program BLT hanya melahirkan klientalisme. Masalahnya, seperti dalam kasus pemilu 2009, BLT dijadikan alat kampanye politik dan dibagikan menjelang hari pemilihan.
Menurut Menteri ESDM, kenaikan harga BBM adalah keinginan masyarakat. Menteri dari Partai Demokrat ini mengklaim menerima masukan dari banyak kelompok masyarakat.
Faktanya:
  1. Menteri ESDM Jero Wacik tida bisa menunjukkan kelompok masyarakat yang mana yang menginginkan kenaikan harga BBM. Selain itu, Jero Wacik juga tidak bisa membuktikan bahwa aspirasi kelompok masyarakat dimaksud mewakili kepentingan seluruh rakyat Indonesia.
  2. Sejak isu kenaikan harga BBM muncul, hampir setiap hari terjadi aksi demonstrasi menolak kenaikan harga BBM di berbagai tempat di seluruh Indonesia. Sebaliknya, kita belum pernah menyaksikan adanya aksi demonstrasi mendukung kenaikan harga BBM.
  3. Mekanisme terbaik untuk menentukan apakah rakyat setuju atau tidak dengan kenaikan harga BBM adalah referendum. Kita menantang SBY dan kroninya untuk menggelar referendum guna membuktikan apakah rakyat setuju atau menolak kenaikan harga BBM.
Kusno, anggota Partai Rakyat Demokratik (PRD)

Berdikarionline.com, Rabu 1 Mei 2013

PRD Tetapkan Pancasila sebagai Asas Partai




(Gatra) Jakarta – Sosial demokrasi kerakyatan yang semula menjadi asas Partai Rakyat Demokrati (PRD) sempat menjadi perdebatan internal partai. Hasilnya, setelah melalui perdebatan panjang, PRD memutuskan Pancasila sebagai asas partai.

Ketua Umum Komite Pimpinan Pusat Partai Rakyat Demokratik (KPP-PRD), Agus Jabo Priyono, menuturkan, pasca-Orde Baru ambruk, sejumlah perdebatan internal mewarnai keberadaan dan gerak PRD, baik perdebatan teoritis maupun praktis. Dalam kongres PRD Maret 2010, ke-VII (tujuh) di Salatiga, Jawa Tengah.

Perdebatan tersebut menyangkut kesimpulan atas persoalan pokok masyarakat Indonesia, tentang rumusan asas, strategi politik, strategi organisasi, dan bahkan tujuan PRD akhirnya di setujui oleh Kongres yang diikuti sekitar 100 kader atau perwakilan dari 19 provinsi.

“Perdebatan tersebut hampir berujung perpecahan. Namun, kader PRD memaknainya bahwa perdebatan tersebut merupakan upaya untuk mencapai bentuk dan pola perjuangan partai yang terbaik, di atas kondisi bangsa yang baru,” terangnya, kepada wartawan dalam konferensi pers seminar nasional bertajuk “Pancasila dan UUD 1945 sebagai Dasar Persatuan Nasional” di Coffe Phoenam, Jakarta Selatan, Minggu (24/6).
Perdebatan tersebut tetap bepatokan dalam merumuskan masa depan bangsa. Dengan semangat yang kuat di kalangan kader PRD, akhirnya sepakat untuk menghilangkan kecenderungan dogmatisme terhadap teori-teori perjuangan. Selain itu, berupaya semakin mengenal berbagai kondisi masyarakat Indonesia pada bidang ekonomi, politik, dan sosial budaya, sekalian mendalami sejarahnya serta merumuskan solusi atas masalah-masalahnya.

“Akhirnya disepakati, bahwa gerak perkembangan masyarakat Indonesia, untuk keluar dari kemiskinan dan keterbelakangan, terhambat oleh suatu bentuk penjajahan baru. Sejak pemilihan umum presiden tahun 2009 lalu, khalayak umum mulai mengenal hambatan atau persoalan ini dengan istilah, neoliberalisme,” paparnya.

Apalagi, di Indonesia sekarang, kata Agus, terdapat hampir 40 juta pengangguran dan 70% dari 115 juta angkatan kerja merupakan pekerja sektor informal. Mereka adalah tenaga produktif yang sedang disia-siakan oleh negara, dalam kekuasaan politik atau cengkraman neoliberalisme, sehingga juga ditelantarkan.
“Indonesia tertinggal dalam hal perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Indikasi fakta ini bisa dikongkritkan, bahwa setelah 65 tahun proklamasi kemerdekaan, masih terdapat 55% angkatan kerja yang hanya mengecap pendidikan pada Sekolah Dasar (SD),” ungkapnya

Kongres PRD juga menyimpulkan adanya gerak perubahan situasi geopolitik internasional, dari dunia unipolar (dengan sentralnya di Amerika Serikat) menuju multipolar. Indikasinya, antara lain, kemunculan potensi kekuatan dunia baru dan kecenderungan kapital di banyak negeri mulai coba berlindung di balik kepentingan nasiona bangsa ini.

Hasil penting lainnya, kata Agus, adalah perubahan asas PRD, dari Sosial Demokrasi Kerakyatan menjadi Pancasila. Meski di sisi lain, Sosial Demokrasi Kerakyatan masih dinilai positif dalam makna perjuangan bagi demokrasi dan keadilan sosial. Namun, asas ini kurang mengekspresikan semangat kebangsaan dan kepentingan nasional yang telah menjadi kebutuhan obyektif.

“Selain itu, perubahan PRD juga di setejuinya argumentasi, ‘untuk menghindari stigma komunis’ yang selama ini dilekatkan kepada PRD. Stigmatisasi tidak merubah kenyataan konkrit karena pilihan Pancasila sebagai asas PRD merupakan hasil pendalaman terhadap hakikat Pancasila yang dimaksud oleh pencetusnya, Soekarno,” pungkasnya. [IS]

Sumber:
GatraNews, Minggu 24 Juni 2012

HUT PRD Ke-17: Sistem Demokrasi Liberal Bertentangan Dengan Cita-cita Proklamasi & Pancasila

 JAKARTA – Partai Rakyat Demokratik (PRD) memperingati Hari Ulang Tahun ke-17 di Aula Perpustakaan Nasional (Perpusnas), di Jalan Salemba Raya, Jakarta Pusat, Senin (22/7/2013). Sedikitnya 500-an anggota dan simpatisan PRD menghadiri acara tersebut.
 
Acara yang dimulai sekitar pukul 15.00 WIB itu dibuka dengan lagu kebangsaan Indonesia Raya. Setelah itu, Rizal Abdulhadi, aktivis Jaringan Kerja Kebudayaan Rakyat (Jaker), memandu untuk menyanyikan Mars Partai Rakyat Demokratik (PRD). Kemudian pembacaan puisi tentang PRD oleh Ririn Sefsani.

Acara kemudian dilanjutkan dengan pidato politik dan sekaligus refleksi perjalanan 17 tahun PRD. Web Warouw, salah seorang pendiri PRD, menyinggung soal cita-cita politik pendirian PRD. Menurutnya, sejak didirikan secara legal tahun 1996 hingga saat ini ada utang PRD kepada rakyat Indonesia yang belum terbayarkan, yakni menempatkan rakyat di kekuasaan politik.

“Kritik otok kritik kita hari ini adalah kegagalan kita menghantarkan rakyat merebut kekuasaan politik. Hanya dengan merebut kekuasaan di tangannya, rakyat bisa membebaskan diri dari belenggu penindasan dan penghisapan,” kata Web Warouw.

Ia menjelaskan, sejak di bawah rezim kediktatoran Orde Baru hingga rezim pasca Orde Baru, rakyat Indonesia terpinggirkan dari kekuasaan. Lebih parah lagi, setelah lepas dari kediktatoran Orde Baru, rakyat Indonesia justru masuk ke mulut rezim neoliberal atau neo-koloanilistik. Akibatnya, kata dia, sekalipun terjadi peralihan kekuasaan, tetapi rakyat belum terbebas dari belenggu penindasan dan penghisapan.

“Inilah utang sejarah kita. Selama rakyat belum berkuasa, maka tugas sejarah kita belum berakhir. Utang sejarah ini harus kita tunaikan,” ujarnya dengan nada suara berkobar-kobar.

Sementara itu, Bursah Zarnubi menyinggung kandasnya cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945 akibat penghianatan elit politik. Mantan Ketua Umum Partai Bintang Reformasi (PBR) ini mengambil contoh pada kegagalan pengelolaan ekonomi kita sesuai dengan amanat Proklamasi kemerdekaan, yakni memakmurkan seluruh rakyat.

“Sekarang ini kemakmuran hanya dinikmati segelintir orang, sekelompok orang,” ujar Bursah Zarnubi. Bursah Zarnubi,  yang saat ini menjabat Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat Perhimpunan Gerakan Keadilan (DPP PGK), mengutip pendapat seorang ekonom, bahwa 90% kekayaan nasional kita dikuasai oleh kurang-lebih 300-an orang kaya di Indonesia.

Sementara 90% rakyat kita hanya menguasai 10% aset nasional. Bursah juga menyinggung utang luar negeri yang mencekik leher rakyat Indonesia dan kehancuran ekonomi akibat perdagangan bebas. “Kita harus berani mengoreksi sistem ekonomi pasar yang tidak membawa keuntungan bagi rakyat kita,” katanya.
Karena itu, Bursah mendukung program politik PRD untuk menegakkan kembali pasal 33 UUD 1945 sebagai landasan perekonomian nasional Bangsa Indonesia. Ia juga mendukung langkah PRD memperjuangkan pencabutan semua produk UU yang pro-asing.

Di tempat yang sama, Ketua Umum PRD Agus Jabo juga menyampaikan pidato politiknya. Ia menyinggung penghianatan para reformis gadungan yang telah membajak hasil perjuangan mahasiswa dan rakyat dalam menggulingkan rezim Orde Baru.

“Dengan berpura-pura berteriak demokrasi dan reformasi, para reformis gadungan telah mencoleng hasil perjuangan reformasi. Tindakan mereka mirip dengan tingkah laku kaum borjuis di Revolusi Perancis,” katanya.

Ironisnya, kata Agus Jabo, begitu berkuasa, para reformis gadungan itu kemudian merombak struktur kekuasaan ekonomi-politik demi membuka pintu selebar-lebarnya bagi modal asing. “Secara ekonomi, mereka kemudian menerapkan sistem neoliberalisme. Kemudian secara politik mereka memaksakan penerapan demokrasi liberal,” ujarnya.

Agus Jabo mengungkapkan, para reformis gadungan itulah yang kemudian menjelma menjadi ‘borjuis komprador’, yang kemudian memanfaatkan negara sekedar sebagai instrumen untuk melayani kepentingan modal asing di Indonesia. Di bawah kekuasaan borjuis komprador itu, ungkap Agus Jabo, konstitusi hasil Proklamasi, yakni UUD 1945, dipreteli dan dirombak agar sesuai dengan tuntutan liberalisme ekonomi. Alhasil, keluarlah puluhan produk UU yang sangat berbau neokolonialistik.

Agus Jabo menegaskan, konsep demokrasi yang berlaku saat ini, yakni demokrasi liberal, sangat menyalahi cita-cita pendiri bangsa. Katanya, demokrasi itu seharusnya menjadi alat bagi rakyat untuk berkuasa secara politik, ekonomi, dan sosial budaya. “Pada kenyataannya, demokrasi liberal itu justru menjadi jembatan bagi korporasi asing untuk menguras kekayaan alam Indonesia, menguasai sumber daya alam nasional,” tegasnya.
Untuk mengakhiri kekuasaan neokolonial ini, Agus Jabo menyerukan perlunya “persatuan nasional” berbasiskan semua kekuatan politik yang setia pada cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945. “Hanya persatuan nasional yang bisa menyelamatkan bangsa ini dari kehancuran yang lebih mendalam dan lebih parah,” tegasnya.

Peringatan HUT PRD ini dirangkaikan dengan peluncuran buku berjudul “17 Tahun PRD: Sumbangsih Pemikiran untuk Indonesia”. Peluncuran buku itu ditandai dengan penyerahan secara simbolis puluhan buku oleh Sekjend PRD, Dominggus Oktavianus, kepada sejumlah tokoh pendiri PRD dan aktivis pergerakan.
Selain itu, acara HUT PRD ini juga ditandai dengan pemotongan tumpeng. Tumpeng tersebut diberikan oleh Ketua Umum PRD Agus Jabo Priyono kepada Ibu Arum, seorang kader PRD DKI Jakarta, dan media Berdikari Online. Acara kemudian ditutup dengan buka puasa bersama, pementasan lagu-lagu perjuangan, dan pementasan teater oleh seniman-seniman muda dari Bekasi.

Sementara Ketua PRD Depok, Diddy Kurniawan yang usai acara diwawancarai Depok Interaktif , sependapat dengan pernyataan Ketua Umum PRD Agus Jabo Priyono, bahwasannya sistem Demokrasi yang dijalankan di Indonesia saat ini sangatlah bertentangan dengan cita-cita Proklamasi Kemerdekaan dan Ideologi Pancasila. “Demokrasi yang dijalankan penguasa dan reformis gadungan hari ini adalah demokrasi liberal. Ini adalah pengkhianatan terhadap cita-cita rakyat Indonesia,” ujar Diddy sambil mengangkat tangan kiri bersama kawan-kawan seperjuangannya. (depokinteraktif/berdikarionline)

PRD Depok Sebar Selebaran Tolak Kenaikan Harga BBM


Puluhan aktivis Partai Rakyat Demokratik (PRD) kota Depok, Jawa Barat, menyebar selebaran penolakan kenaikan harga BBM, Selasa (4/6). Selebaran yang disebar tersebut berjudul “45 Fakta Kebohongan Rezim SBY Di Balik Kenaikan Harga BBM”.

Menurut pengurus kota PRD Depok,  Diddy Kurniawan, proses penyebaran selebaran tersebut dipusatkan di dua titik, yakni Sawangan dan Tapos. “Ini hanyalah bentuk awal dari konsolidasi perlawanan terhadap rencana pemerintah menaikkan harga BBM,” kata Diddy.

Ia melanjutkan, target dari penyebaran selebaran ini adalah memberikan penyadaran kepada rakyat terkait berbagai kebohongan rezim SBY terkait alasan menaikkan harga BBM.

“Pemerintahan SBY, yang didukung media, banyak melakukan pembohongan kepada rakyat terkait kenaikan harga BBM. Dan ini yang coba kami patahkan. Agar rakyat sadar dan melakukan perlawanan,” ujar Diddy.

Mengenai respon warga, Diddy mengatakan, “mayoritas warga yang menerima selebaran memang dalam posisi menolak kenaikan harga BBM.”

Untuk rencana selanjutnya, Diddy mengungkapkan, pihaknya akan memasang spanduk penolakan kenaikan harga BBM di sejumlah titik strategis di kota Depok.

Ulfa Ilyas