Jumat, 28 November 2014

Pernyataan sikap PRD Depok terkait tewasnya demonstran di Makasar, Kamis 27 November 2014


Komite Pimpinan Kota Partai Rakyat Demokratik (KPK PRD) Kota Depok

Innalilahi wainna ilahi radjiun

Malam ini (kamis 27 november 2014) kembali penolakan kenaikan harga BBM memakan korban Jiwa.

ARI 17 tahun (warga pampang, Makasar - Sulawesi Selatan) meninggal dunia pada saat polisi sedang melakukan represifitas terhadap aksi mahasiswa di depan kampus UMI

Oleh karena itu kami PRD Kota Depok menyatakan sikap sbb ;

1. Mengutuk kekerasan aparat kepolisian dalam bentrok di kampus UMI malam ini. Yang mengakibatkan seorang pemuda atas nama ARI 17 tahun (anak dr salah satu anggota SRMI) meninggal dunia.
Kabar yang kami dapat dari lapangan bahwa mobil water canon polisi menggilas korban hingga merenggang nyawa.

2. Meminta kepada Komnas HAM, komisi III DPR RI, KOMPOLNAS agar menyelidiki kasus kekerasan aparat kepolisian dikampus UMI.

3. Tolak kenaikan harga BBM dan segera laksanakan pasal 33 UUD 1945.

Hentikan neoliberalisme, rebut kembali kedaulatan nasional !!!

Depok, 27 November 2014

Diddy Kurniawan (Ketua)
Jamaludin (Sekretaris)

Kontak :
HP. 0856 7966 727
twitter : @prddepok
blog : prddepok.blogspot.com

Kamis, 27 November 2014

Bukan Menaikan Harga BBM, Tapi Melaksanakan Pasal 33 UUD 1945!


Tanggal 17 November lalu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) resmi mengumumkan kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM). Nilai kenaikannya cukup signifikan: sebesar Rp 2000,- untuk jenis premiun dan solar.

Jokowi menjelaskan, kenaikan harga BBM tidak bisa dihindarkan. Menurutnya, alokasi anggaran APBN untuk subsidi BBM terlalu besar dan cenderung boros. Ia mencatat, dalam lima tahun terakhir, alokasi subsidi BBM mencapai Rp714 triliun. Sementara, pada periode yang sama, alokasi untuk pembangunan infrastruktur hanya Rp574 triliun dan sektor kesehatan sebesar Rp220 triliun.

Jokowi menyakinkan bahwa besarnya alokasi subsidi BBM menyebabkan pemerintah tidak punya ruang fiskal untuk menjalankan programnya, terutama yang terkait dengan pembangunan dan kesejahteraan rakyat. Karena itu, Jokowi menyebut agenda pemangkasan subsidi BBM ini sebagai bentuk ‘pengalihan subsidi dari aktivitas konsumtif menjadi aktivitas produktif’. Maksudnya, anggaran subsidi BBM akan dialihkan untuk membiayai pembangunan infrastruktur pertanian, pembangkit listrik, pembiayaan program kelautan, dan pembangunan jalan baru.

Benarkah demikian? Mengkambing-hitamkan subsidi BBM sebagai pemborosan dan mempersempit ruang fiskal pemerintah untuk membiayai programnya pembangunannya adalah sebuah penyesatan.  Yang dilupakan, subsidi BBM bukan satu-satunya pos belanja di APBN. Ironisnya lagi, ada pos belanja yang sangat boros dan merugikan negara yang justru tidak pernah disentuh: pertama, belanja rutin birokrasi, termasuk gaji pegawai, yang cukup tinggi; dan kedua, pembayaran cicilan dan bunga utang luar negeri.

Taruhlah soal pembayaran utang. Di APBN 2015 ini porsi pembayaran bunga utang mencapai Rp154 triliun atau hampir 8% dari total belanja APBN kita. Dan untuk diketahui, sepanjang tahun 2005-2011, porsi pembayaran utang mencapai Rp 1.323,8 triliun. Sayangnya, pemerintahan Jokowi-JK tidak pernah menyinggung persoalan beban utang luar negeri ini. Padahal, tidak semua dari komponen utang luar negeri itu adalah utang sah. Tidak sedikit dari jumlah utang itu yang masuk kategori utang ilegal (illegal debt), utang najis (oudius debt), dan utang tidak sah (illegitimate debt).
Dengan demikian, kalau saja pemerintahan Jokowi-JK berani melakukan proses audit terhadap utang itu dan menegosiasikan ulang dengan para kreditur, maka pemerintah akan punya sedikit ruang fiskal.

Lagi pula, soal utang luar negeri ini bukan hanya soal beban kewajiban membayar pinjaman dan beban bunganya, tetapi terkait dengan proyek neokolonialisme di Indonesia. Untuk diketahui, utang luar negeri telah menjadi alat bagi para kreditur, yang notabene negara-negara kapitalis maju dan perwakilan kepentingan korporasi multinasional, untuk menjerat leher negeri dunia ketiga dan mendikte kebijakan ekonomi-politiknya.

Selama ini pemerintah melihat persoalan subsidi BBM hanya sebagai bahan bakar untuk sektor transportasi saja. Mereka lupa bahwa subsidi BBM juga berkontribusi dalam menggerakkan aktivitas produksi, seperti industri, pertanian, nelayan, dan usaha kecil (UKM dan industri rumah tangga). Subsidi BBM berkontribusi dalam meringangkan biaya produksi dan distribusi. Artinya, jika terjadi kenaikan harga BBM, maka aktivitas produksi tersebut akan mengalami gangguan akibat kenaikan biaya produksi dan distribusi. Alhasil, jika terjadi kenaikan BBM, sektor-sektor produksi tersebut akan tergencet dan berpotensi gulung tikar.

Wacana pengalihan subsidi BBM ke sektor produktif, seperti untuk infrastruktur pertanian, pembangkit listrik, pembiayaan program kelautan, dan pembangunan jalan baru, perlu diberondong pertanyaan kritis. Pasalnya, wacana ini juga sangat getol disuarakan oleh Bank Dunia. Dan, sebagaimana ditegaskan oleh petinggi Bank Dunia sendiri, investor asing berharap kenaikan harga BBM segera dilakukan pemerintah sehingga dana subsidi bisa dialihkan ke sektor infrastruktur. Tentu saja, pembangunan infrastruktur yang dimaksud bertujuan untuk melayani proses akumulasi kapital.

Apalagi, pada saat berpidato di Forum Kerja Sama Ekonomi Asia-Pasifik (APEC) lalu, Jokowi mengundang para investor asing untuk ambil-bagian dalam pembangunan infrastruktur di Indonesia. Malahan, untuk menarik minat para investor asing tersebut, Jokowi menjanjikan kemudahan dalam perizinan dan pembebasan lahan. Artinya, penggusuran dan penyingkiran rakyat dari lahan penghidupannya akan dilakukan oleh rezim Jokowi-JK untuk memastikan kapital asing merasa nyaman mengakumulasi keuntungan di Indonesia.

Yang harus diingat oleh Jokowi-JK, kenaikan harga BBM akan menggerus pendapatan rakyat Indonesia. Sebagaimana dilansir oleh Bloomberg, penduduk Indonesia dengan pendapatan harian sebesar US $ 11/hari harus mengalokasikan 33 % pendapatan mereka untuk mendapatkan segalon bensin (1 galon setara dengan 1,9 liter). Artinya, jika terjadi kenaikan harga BBM, pendapatan harian mereka tentu akan sangat tergerus. Apalagi kalau pendapatan harian mayoritas rakyat Indonesia dihitung hanya US $ 2/hari, tentu kehidupan mereka makin sulit. Belum lagi efek berantai yang dipicu oleh kenaikan harga BBM, seperti kenaikan biaya transportasi, kenaikan harga barang kebutuhan, kenaikan biaya hidup, kenaikan biaya produksi yang memicu efisiensi (PHK), dan lain-lain. Singkat cerita, kenaikan harga BBM akan membawa tekanan ekonomi cukup mendalam dan berjangka panjang kepada rakyat Indonesia.

Nah, untuk meredam dampak kenaikan harga BBM, Jokowi-JK menerbitkan tiga ‘kartu sakti’, yakni Kartu Indonesia Sehat (KIS), Kartu Indonesia Pintar (KIP), dan Kartu Keluarga Sejahtera (KKS). Kebijakan semacam ini, yang di Amerika Latin sana disebut ‘kebijakan sosial neoliberal’, dirancang dengan anggaran terbatas dan sasaran yang dibatasi pula. Kebijakan ini hanya menarget mereka yang paling miskin atau yang paling rentan. Kalau kita lihat, kebijakan semacam ini tak ubahnya  pekerjaan “palang merah” di medan perang. Memang ia berhasil menolong banyak korban di medan perang, tetapi tidak semua korban, dan tetap saja tidak bisa menghentikan berjatuhannya korban akibat perang.

Yang juga sering disampaikan ke kita, bahwa kita jangan lagi berharap banyak dan bergantung pada BBM. Menurut mereka, cadangan minyak terbukti (proved reserves) kita menipis, yakni hanya sekitar 3,7 miliar barel atau 0,25% dari total cadangan dunia, sedangkan cadangan minyak potensial kita hanya 3,857 miliar barel. Jadi totalnya hanya 7,5 miliar barel saja dan diperkirakan akan habis dalam hitungan belasan tahun kedepan.

Kemudian, produksi minyak mentah (lifting) kita juga terus menurun. Pada tahun 2004, lifting minyak kita masih 1,4 juta barel/hari. Jumlah itu terus menurun. Pada tahun 2012, lifting minyak kita tinggal 890.000 barel/hari. Alhasil, sejak tahun 2004 lalu, Indonesia berubah predikat dari negeri “pengekspor” menjadi “pengimpor” minyak.

Kenapa bisa demikian? Cadangan minyak terbukti kita memang menipis, tetapi bukan berarti cadangan minyak kita sudah habis. Banyak ahli perminyakan, termasuk petinggi Pertamina, yang menegaskan bahwa cadangan minyak kita sebetulnya masih banyak. Seketaris SKK Migas, Gde Pradyana, memperkirakan negeri ini masih memiliki potensi cadangan minyak baru sebesar 43,7 miliar barel.

Hanya saja, untuk membuktikan potensi tersebut menjadi cadangan minyak terbukti dibutuhkan kegiatan eksplorasi yang intensif. Sementara kegiatan eksplorasi ini butuh dana yang sangat besar. Konon, satu sumur saja membutuhkan biaya mencapai US$100 juta atau setara Rp1 triliun. Itupun resiko kegagalannya sangat besar alias menemukan sumur kosong (dry hole).  Nah, di sinilah letak masalahnya: pemerintah sangat lemah dalam mendorong dan menyediakan anggaran untuk eksplorasi. Bayangkan, alokasi APBN untuk kegiatan eksplorasi hanya 0,07 %.

Sejak Orde baru hingga sekarang, pemerintah kita bertindak tak ubahnya hanya sebagai penerima rente. Untuk diketahui, Pertamina harus menyerahkan 93% keuntungannya kepada pemerintah sebagai dividen. Akibatnya, pertamina mengalami kendala finansial untuk eksplorasi. Menurut kami, kedepan separuh dari keuntungan minyak dikembalikan ke kegiatan migas sebagai investasi.  Selain itu, pemerintah perlu menciptakan petroleum fund untuk menopang kegiatan eksplorasi di masa depan.

Persoalan lainnya adalah kegiatan eksplorasi dan produksi minyak Indonesia masih mengandalkan sumur-sumur tua. Perlu pengayaan teknik dan teknologi untuk memaksimalkan sumur-sumur tua ini. Dalam konteks ini, selain dengan melakukan pengembangan teknik sendiri, pemerintah mestinya bisa mendorong konsep alih-teknologi dengan kontraktor asing.

Dan satu persoalan terbesar yang tidak pernah disinggung-singgung pemerintah, termasuk pemerintahan Jokowi-JK, adalah dominannya penguasaan korporasi asing terhadap ladang-ladang migas Indonesia. Data Indonesian Re­sour­ce Studies (IRESS) mengungkapkan bahwa Pertamina  hanya memproduksi minyak sebesar 15 persen dan 85 persen diproduksi oleh korporasi asing. Sementara data Kementerian ESDM pada tahun 2009 menyebutkan,  pertamina hanya  memproduksi 13,8%. Sisanya dikuasai oleh swasta asing seperti Chevron (41%), Total E&P Indonesie (10%), Chonoco-Philips (3,6%) dan CNOOC (4,6%). Pengelolaan gas kita juga bernasib sama. Hampir 90% produksi gas Indonesia hanya dikangkangi oleh 6 perusahaan asing, yakni Chevron, Total, ConocoPhilips, British Petroleum, dan ExxonMobil. Sementara untuk batubara penguasaan asing diperkirakan mencapai 70%. Inilah yang menyebabkan kita tidak pernah berdaulat di bidang energi. Bagi kami, tanpa mengoreksi dominasi kepemilikan dan penguasaan asing ini, kita jangan bermimpi terlalu tinggi untuk bisa mewujudkan swasembada energi.

Sayangnya, pemerintahan Jokowi-JK enggan, atau mungkin sengaja, tidak menyentuh akar persoalan tersebut. Dan, untuk diketahui, salah satu pangkal dari semua masalah karut-marutnya pengelolaan migas di Indonesia itu bermuasal dari pengesahan UU nomor 22 tahun 2001 tentang migas. UU ini merupakan hasil kongkalikong antara rezim Megawati kala itu dengan kekuatan asing, khususnya IMF dengan Letter of Intent (LoI)-nya. UU inilah yang membentangkan karpet merah kepada modal asing untuk menguasai bisnis migas Indonesia dari hulu hingga ke hilir.

Dan sejak awal kami pun sudah mencium indikasi kuat, bahwa pencabutan subsidi BBM di Indonesia sangat terkait dengan agenda liberalisasi di sektor hilir migas kita. Untuk diketahui, sejak Orde Baru hingga tahun 2000-an, korporasi asing sudah sukses berjaya di sektor hulu. Sekarang ini mereka sangat ngiler untuk menguasai sektor hilir migas kita.

Dan, seturut dengan pengesahan UU migas di tahun 2001 itu, SPBU asing pun mulai menjalar di Jakarta dan sekitarnya. Namun, untuk sementara, SPBU asing itu tidak bisa berkembang pesat dan berekspansi ke daerah-daerah karena kalah bersaing dengan SPBU Pertamina. Sebagaimana kita ketahui, harga jual BBM di SPBU Pertamina lebih murah ketimbang di SPBU asing. Karena itulah, sejak saat itu berdengun keraslah tuntutan pencabutan subsidi BBM sebagai prasyarat membawa harga jual BBM di Indonesia sesuai mekanisme pasar.

Sayang, upaya membawa harga BBM ke mekanisme pasar ini sempat terjegal di tahun 2004, saat Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan bahwa penyerahan harga BBM ke mekanisme pasar adalah inkonstitusional. Alhasil, dalih lain pun mesti dicari. Muncullah argumentasi: subsidi BBM menyebabkan defisit APBN dan alokasi subsidi BBM salah sasaran. Dua argumentansi inilah yang senantiasa dipergunakan pemerintah, baik rezim SBY maupun rezim Jokowi-JK saat ini, untuk menghalalkan penghapusan subsidi BBM.  Dan, ingat juga, bahwa yang paling getol mendesak pemerintahan Jokowi-JK mencabut subsidi BBM adalah lembaga-lembaga imperialis, seperti Bank Dunia dan IMF. Malahan, kenaikan harga BBM jenis premium sebesar Rp 8.500 sekarang ini persis seperti yang direkomendasikan oleh Bank Dunia.

Tak mengherankan, yang paling bertepuk tangan dengan senyum sumringah dalam kenaikan harga BBM ini adalah SPBU asing dan korporasi asing yang berniat berpartisipasi dalam bisnis BBM di Indonesia. Sementara SPBU Pertamina, yang notabene perusahaan milik negara, harus mengelus dada ketika sebagian besar pelanggannya beralih ke SPBU asing.

Karena itu, terkait dengan kenaikan harga BBM ini, kita patut mengajukan satu pertanyaan penting kepada pemerintahan Jokowi-JK: masih adakah komitmen mereka untuk memperjuangkan cita-cita Trisakti sebagaimana didengunkannya semasa kampanye pemilu kemarin? Kalau memang masih ada, maka tidak ada pilihan lain selain membatalkan kenaikan harga BBM.

Tak hanya itu, pemerintahan Jokowi-JK harus menghentikan liberalisasi migas di Indonesia, baik di sektor hulu maupun hilir. Sebagai tahap awal, pemerintahan baru ini harus mencabut UU migas tahun 2001. Selanjutnya, mereka harus mengembalikan tata-kelola migas Indonesia sesuai dengan semangat pasal 33 UUD 1945. Bagi kami, yang mendesak dilakukan pemerintahan Jokowi-JK adalah mengembalikan kedaulatan dan kontrol bangsa ini terhadap semua kekayaan alam dan aset nasionalnya.

Sabtu, 22 November 2014

Wujudkan Depok sebagai kota yang PANCASILAIS (edisi NUROHIM Pendiri Sekolah Gratis MASTER Depok)


Wujudkan Depok sebagai kota yang PANCASILAIS


Gemuruh Simfoni Sosialisme



Gerakan sosialisme baru di Amerika Latin sebenarnya hasil perjalanan panjang dalam upaya merevisi model kapitalisme buas yang sudah gembos. Selain Kolombia, El Salvador, dan Peru, seluruh negara Amerika Latin sedang berada dalam orkes besar memainkan simfoni sosialisme baru. Benar-benar gemuruh!

Dengan mengusung neososialisme atau sosialisme baru, atau juga sosialisme abad ke-21, Amerika Latin ingin menantang apa yang disebut neokapitalisme global atau neoliberalisme. Neososialisme menjadi antitesa neoliberalisme.

Agar ajaran sosialisme baru itu bisa dijalankan, kekuasaan harus direbut, bukan dengan revolusi atau pemberontakan, tapi melalui perekrutan pemimpin alamiah yang berakar dan berpijak pada rakyat.
Setelah terpilih sebagai presiden, pemimpin rakyat ini dalam kapasitas sebagai kepala negara dan pemerintahan diberi peran sebagai regulator pertumbuhan ekonomi mikro maupun makro, hal penting yang diabaikan kapitalisme.

Namun, pemimpin yang lahir dari rakyat itu tidak dibiarkan bergerak tak terkendali, tapi terus dikawal oleh jaringan sociadad civil, masyarakat warga, civil society. Sekalipun sociadad civil tidak berperan sebagai regulator langsung, tapi sangat berperan strategis memengaruhi pemerintah dalam mengambil kebijakan publik, terutama dalam bidang ekonomi dan politik.
Maka, pemberdayaan sociadad civil merupakan paket utama neososialisme Amerika Latin. Masyarakat warga tidak hanya berperan sebelum, tapi lebih-lebih selama berkuasa pemerintahan sosialis.

Kelompok masyarakat ini memberi kawalan untuk menjamin stabilitas pemerintahan yang secara informal melalui dukungan massa yang terus diperluas maupun secara formal melalui wakil-wakil rakyat di parlemen.

Sekadar ilustrasi, Lula da Silva di Brasil mendapat dukungan bukan hanya dari Partai Buruh dan Partai Komunis, tapi juga dari ratusan organisasi sosial, termasuk komunitas basis Gereja. Adapun Chavez di Venezuela mendapat dukungan massa dan melanggengkan hegemoni massa dengan politik petrodollar yang berorientasi pada kepentingan rakyat.

Begitu juga dengan Evo Morales di Bolivia, yang mendapat dukungan kaum tani, suku-suku asli, ditambah dengan politik kedaulatan energi melalui nasionalisasi seluruh perusahaan gas alam dan minyak yang sebelumnya dikuasai perusahaan multinasional.

Sementara di Ekuador, Rafael Correa berpijak dan bersandar pada gerakan sosialis suku-suku asli setempat. Di Uruguay, Tavare Vazquez mendapat dukungan dari kelompok-kelompok sosialis anti-imperium ekonomi adidaya Amerika Serikat.

Juga menarik disoroti bagaimana Daniel Ortega di Nikaragua kembali berkuasa karena efek trauma atas model ekonomi kapitalis yang membuat negara tersebut semakin miskin dalam 18 tahun terakhir.
Perlu pengamatan serius pula model neososialisme di Cile, lebih-lebih karena mendapat dukungan mayoritas dari partai-partai moderat dan partai berhaluan kanan (fanatik terhadap model kapitalisme).
Sedangkan kemenangan Peronisme di Argentina yang diwakili Cristina Fernandez, yang mengambil alih estafet kekuasaan dari suaminya, merupakan tanda penolakan terhadap resep-resep pertumbuhan ekonomi ala Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia.

Sudah jelas pula Dinasti Castro dengan sistem pemerintahan satu partai (Partai Komunis Kuba), merupakan bentuk ekstrem sikap penolakan terhadap semua yang berbau AS dengan sebutan peyoratif, imperialisme yangqui.

Sosialisme kawasan
Sekalipun pada permukaan terkesan setiap negara memiliki unsur khas, tetapi sesungguhnya secara umum pengalaman historis yang merupakan benang merah pemersatu dalam mencari identitas Amerika Latin.

Kecuali Brasil sebagai bekas koloni Portugis, seluruh negara Amerika Latin adalah bekas koloni Spanyol yang dalam konstruksi jati dirinya sebagai bangsa sering terbentur pada peninggalan kolonial secara khusus yang berhubungan dengan sistem pemilihan tanah yang tidak adil oleh latifundista, pemilik tanah di atas 100 hektar, yang umumnya dilegitimasi melalui hukum formal sebagai hak milik pribadi.

Perombakan struktur kepemilikan tanah, landreform, merupakan usaha panjang yang menjadi salah satu tujuan perjuangan organisasi-organisasi sosial dan tokoh seperti Fernando Lugo yang terpilih menjadi Presiden Paraguay.

Tantangan lainnya adalah perbenturan peradaban dan kemanusiaan antara penduduk asli Indian dan keturunan budak Afrika, afroalatinoamericano, dengan kolonialisme. Sampai sekarang penduduk asli dan keturunan Afrika menanti kemerdekaan kedua dari kapitalisme yang menurut mereka sama dengan kolonialisme baru.

Kedua kelompok masyarakat ini memandang sosialisme baru sebagai wadah perjuangan untuk mengembalikan hak-hak mereka yang telah hilang.

Gerakan sosialisme itu pula dikonotasikan bersemangat melawan dominasi AS atas para tetangganya di selatan. AS ingin menjadikan Amerika Latin sebagai salah satu wilayah strategis dari politik ekonomi pasar bebas AS, tapi mendapat tantangan keras Amerika Latin dengan pembentukan Pasar Umum Amerika Latin (Mercado Comun del Sur atau MERCOSUR).
 Secara ke dalam, negara-negara Amerika Latin juga melakukan perjanjian bilateral untuk melindungi invasi atau dominasi AS dalam bidang perdagangan dan jasa.

Tidak kalah menarik pula, neososialisme Amerika Latin bersifat pragmatis, bukan ideologis. Berbeda dengan sosialisme atau komunisme di China, Vietnam, dan Korea Utara yang menjadi ideologi tertutup, sosialisme di Amerika Latin identik dengan kerakyatan.

Banyak nilai positif dari kapitalisme diadopsi dan dipadukan dengan sosialisme yang selalu berorientasi pada kepentingan rakyat sebesar-besarnya. Misalnya, pengakuan dan penerapan teknologi Barat, mengambil keuntungan dari globalisasi, penerapan investasi barang, jasa, serta privatisasi dengan saham yang dimiliki asing tidak boleh lebih besar daripada milik negara.
Jelas sekali, neososialisme Amerika Latin bersifat pragmatis dan lebih terbuka, tidak eksklusif dan lebih dinamis dengan orientasi pencapaian bien comun, kesejahteraan umum.

Rikard Bagun (Kompas)
Sumber : http://nasional.kompas.com/read/2008/08/10/01184938/gemuruh.simfoni.sosialisme

Kamis, 20 November 2014

Dukungan PRD Kota Depok terhadap perjuangan pedagang Pasar Cisalak - Kota Depok




Pernyataan Sikap

DUKUNGAN PENUH PARTAI RAKYAT DEMOKRATIK
(PRD) KOTA DEPOK TERHADAP
PERJUANGAN PEDAGANG PASAR CISALAK - DEPOK
(terkait Rencana Revitalisasi Pasar Cisalak)

Salam Perjuangan,

Dalam bulan November ini, terkait dengan rencana Pembangunan Pasar Cisalak - Kota Depok muncul banyak kesimpang siuran tentang proses pembangunan pasar.  Seperti di ketahui pada 30 Mei 2013 yang lalu telah terjadi kebakaran di Pasar Cisalak, salah satu pasar tradisional yang terbesar di Depok  di mana  528 kios di Blok A ludes di lalap api. Paska kebakaran para pedagang memindahkan usahanya ke Blok B dan lokasi penampungan sementara yang terletak di areal pasar.

Pada 2014 muncul wacana Revitalisasi Pasar Cisalak yang kemudian di wujudkan dengan kebijakan Pemkot Depok untuk membangun pasar pada Januari 2015. Dalam langkah awal, pada pertengahan September 2014  Walikota Depok Nur Mahmudi Ismail menggelar pertemuan dengan ratusan pedagang di Lapangan Futsal RT 06/RW 05 yang terletak di sekitar kawasan Pasar Cisalak namun menurut informasi dari pedagang belum di capai kesepakatan apapun mulai dari proses relokasi sampai dengan kejelasan penempatan pedagang setelah pasar selesai di bangun.

Hal ini lah kemudian yang membuat para pedagang (terutama Blok B) menolak relokasi di karenakan tidak ada kejelasan menyangkut tempat relokasi. Para pedagang kios menginginkan lokasi relokasi yang strategis untuk berdagang, bentuk bangunannya sesuai kebutuhan usahanya (bukan sekedar los pasar kosong).

Oleh sebab itu, Partai Rakyat Demokratik (PRD) Kota Depok sebagai partai politik non parlemen yang terlahir sejak sebelum era Reformasi 1998 (PRD di deklarasikan 22 Juli 1996) yang selama ini konsisten berjuang bersama Rakyat tertindas mendukung penuh perjuangan pedagang Pasar Cisalak untuk memperjuangankan hak-haknya sebagai pedagang pasar dan sebagai warga negara Republik Indonesia untuk menjalankan usahanya mengisi kemerdekaan dan menjalankan ekonomi Pancasila.

Terhadap revitasisasi Pasar Cisalak - Kota Depok, PRD Kota Depok mengeluarkan pernyataan sikap antara lain :


  1. MENDUKUNG PEMBANGUNAN PASAR CISALAK
  2. MENOLAK JIKA ADA MASUKNYA RETAILER BESAR DI PASAR CISALAK (RAMAYANA, ROBINSON, DLL)
  3. MENOLAK RELOKASI PEDAGANG PASAR CISALAK YANG SEPIHAK
  4. RELOKASI PEDAGANG HARUS MELALUI MUSYAWARAH MUFAKAT ANTARA PEMERINTAH KOTA DEPOK DAN PEDAGANG PASAR CISALAK
  5. HARUS ADA KESEPAKATAN YANG TERKAIT DENGAN KEPENTINGAN PEDAGANG PASAR CISALAK MULAI DARI PROSES RELOKASI, PEMBANGUNAN PASAR SAMPAI DENGAN JAMINAN PENEMPATAN PEDAGANG DI GEDUNG PASAR CISALAK SETELAH SELESAI PEMBANGUNAN DENGAN MELIHAT KEMAMPUAN EKONOMI PEDAGANG
  6. MENDUKUNG PELAKSANAAN EKONOMI PANCASILA SECARA KONSISTEN DI KOTA DEPOK
  7. WUJUDKAN KOTA DEPOK SEBAGAI KOTA YANG PANCASILAIS
  8. LAKSANAKAN PASAL 33 UUD 1945

Depok, 20 November 2014

Komite Pimpinan Kota Partai Rakyat Demokratik (KPK PRD Kota Depok)




Diddy Kurniawan                                                              Jamaludin
                                       Ketua                                                                      Sekretaris                                   

PRD Depok MENOLAK KENAIKAN HARGA BBM


Politik Nasionalisasi Dan Ekonomi Berdikari



Pada 1958, pemerintah menerbitkan UU Nomor 86 tentang Nasionalisasi Perusahaan-perusahaan Milik Belanda di Indonesia. Diterbitkannya UU itu merupakan lanjutan atas proses nasionalisasi terhadap perusahaan-perusahaan asing, dimulai dari perusahaan-perusahaan Belanda, yang telah dimulai sejak 1956. Proses nasionalisasi itu merupakan usaha untuk merealisasikan salah satu dari tujuan pokok Proklamasi: kemerdekaan ekonomi.

Kalau kita membaca lagi berita-berita surat kabar pada tahun-tahun itu, menarik untuk memperhatikan bahwa terbitnya UU No. 86/1958 itu mungkin memiliki keterkaitan dengan perjuangan perebutan Irian Barat (Papua).

Apa kaitannya?

UU itu sebenarnya merupakan bentuk antisipasi atas kemungkinan dialihkannya kekayaan alam Papua oleh perusahaan Belanda kepada perusahaan asing negara lain. Tetapi, ini baru praduga atas sedikit pengamatan. Tulisan pendek ini tidak akan mencoba membahasnya.
Terbitnya UU No. 86/1958 itu, beserta dengan sejumlah kebijakan lainnya, menunjukkan bahwa tindakan nasionalisasi yang dilakukan oleh pemerintahan Soekarno sesungguhnya dilakukan sangat sistematis. Paling tidak itu bisa kita lihat dari serangkaian produk hukum yang mereka terbitkan, yang bersifat sinkron satu sama lain.

Kita tahu, nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda dilakukan sejak 1956. Pada mulanya payung hukum dari tindakan nasionalisasi itu adalah UU No. 13 Tahun 1956 tentang Pembatalan Hubungan Indonesia-Nederland berdasarkan Perjanjian Konferensi Meja Bundar (KMB). Sebenarnya, pembatalan KMB secara parsial telah terjadi sejak 1954, dalam bentuk pembubaran Uni-Indonesia-Belanda yang keberadaannya dianggap merugikan Indonesia sebagai negara berdaulat.
Selain tertib dalam menyusun dasar-dasar hukum di dalam negeri, pemerintahan Soekarno juga sangat memperhatikan hukum internasional ketika mengerjakan agenda nasionalisasi itu. Kesaksian mengenai sangat tertibnya pemerintahan Soekarno dalam proses nasionalisasi, setidaknya bisa kita baca dari salah satu buku Gouw Giok Siong, guru besar Universitas Indonesia (UI), yang menjadi staf ahli tim pembela hukum pemerintah dalam kasus “The Bremen Tobacco Case“.

Pada 1959, Verenigde Deli Maatschapijen, sebuah perusahaan perkebunan Belanda, melakukan gugatan terhadap pemerintah Indonesia terkait kepemilikan tembakau perusahaan tersebut yang akan dilelang di pasar tembakau Bremen, Jerman. Gugatan itu merupakan buntut dari nasionalisasi yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia pada 1958 atas perkebunan-perkebunan tembakau di Deli. Pemilik perusahaan Belanda tersebut mengklaim bahwa tembakau yang akan dilelang itu adalah miliknya, bukan milik Indonesia, karena tindakan nasionalisasi yang dilakukan pemerintah Indonesia dianggap tidak sah.

Dalam pembelaannya, pihak Indonesia menyatakan bahwa tindakan pengambilalihan dan nasionalisasi itu merupakan tindakan suatu negara yang berdaulat dalam rangka mengubah struktur ekonominya dari struktur ekonomi kolonial ke ekonomi nasional. Jadi, itu adalah tindakan sah, sehingga tembakau yang akan dilelang tadi sah milik Indonesia.
Pengadilan Bremen, dalam keputusan pertama maupun banding, bukan hanya tidak mengabulkan gugatan perusahaan Belanda tersebut, namun juga mengakui hak pemerintah Indonesia untuk melakukan nasionalisasi.

Apakah obyek nasionalisasi pemerintahan Soekarno hanya berhenti di perusahaan-perusahaan Belanda, yang mayoritas bergerak di sektor perkebunan dan perdagangan?
Ternyata tidak. Agenda nasionalisasi berikutnya adalah sektor yang paling strategis, yaitu pertambangan dan migas. Dasar yang digunakan sebagai “rasionale” tindakan tersebut adalah konstitusi kita, terutama Pasal 33 UUD 1945.

Kalau kita membaca dan mengkonstruksi ulang sejarah masa itu, akan terlihat bahwa pemerintahan Soekarno tidak pernah mengusik-usik perusahaan-perusahaan pertambangan dan migas milik asing non-Belanda, sebelum terbitnya Undang-undang Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960. Hampir semua peraturan dan ketentuan hukum yang diterbitkan pemerintahan Soekarno mengenai rancangan nasionalisasi, renegosiasi, dan sejenisnya yang berhubungan dengan perusahaan pertambangan dan migas asing, diterbitkan setelah UUPA diterbitkan. Ini tentu hal yang menarik.

Dari sejarah kita bisa membaca, bahwa peraturan pelaksana yang terkait dengan soal nasionalisasi migas baru terbit pada 1964 dan 1965. Ada jeda yang cukup panjang dari 1956, tahun ketika agenda nasionalisasi pertama kali dipacak, hingga 1964, ketika agenda itu mulai menyentuh sektor pertambangan dan migas. Atas jeda yang cukup panjang ini setidaknya ada dua penjelasan.

Pertama, dalam teori pembangunan, baik Kiri maupun Kanan, syarat penting untuk melakukan kegiatan pembangunan adalah adalah adanya stabilitas. Dan stabilitas itulah yang tidak dimiliki oleh pemerintahan Soekarno pada masa itu. Selain dirongrong oleh agresi militer Belanda, pemerintahan Soekarno juga dirongrong oleh berbagai pemberontakan daerah, baik yang disetir oleh kepentingan asing maupun murni karena kekecewaan elite lokal terhadap pemerintah pusat.

Kedua, jeda yang panjang itu merupakan masa persiapan sebelum melakukan “perang” yang sesungguhnya, yaitu nasionalisasi sektor pertambangan dan migas.

Ya, dalam perspektif hari ini, kita harus menghubungkan jeda dalam proses nasionalisasi itu dengan disusunnya UUPA 1960 tadi, sebuah undang-undang payung yang pada dasarnya disusun untuk menjadi dasar yuridis formal bagi cita-cita kemerdekaan ekonomi.

Apa hubungan Pasal 33 dengan UUPA 1960?

Jika kita telaah dengan seksama, pokok gagasan yang dikandung dalam Pasal 33 UUD 1945 tidak lain adalah gagasan mengenai “ekonomika agraria”: bumi, air, udara, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Dan perintah konstitusi kita sangat jelas, bahwa semuanya “dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Makanya tidak mengherankan jika payung operasional untuk mengerjakan proses nasionalisasi ekonomi secara sistematis kemudian harus menunggu dan mengindukkan dirinya pada UUPA, dimana semua undang-undang, termasuk undang-undang modal asing, harus tunduk kepadanya (UUPA).

Pada 26 Oktober 1960, sebagai konsekuensi dari ditetapkannya UUPA, pemerintah Republik menerbitkan Perpu No. 44/1960 tentang Pertambangan Minyak dan Gas Bumi. Isinya sangat revolusioner. Simak saja bunyi Pasal 2: “Segala bahan galian minyak dan gas bumi yang ada didalam wilayah hukum pertambangan Indonesia merupakan kekayaan nasional yang DIKUASAI OLEH NEGARA (huruf kapital dari saya)”.

Simak juga Pasal 3, yang terdiri dari dua ayat: (1) Menyimpang dari ketentuan-ketentuan seperti yang termaktub dalam Pasal 4 undang-undang tentang pertambangan, maka pertambangan minyak dan gas bumi HANYA DIUSAHAKAN OLEH NEGARA (huruf kapital dari saya); (2) Usaha pertambangan minyak dan gas bumi DILAKSANAKAN OLEH PERUSAHAAN NEGARA SEMATA-MATA” (huruf kapital dari penulis).

Yang dimaksud dengan usaha pertambangan minyak dan gas bumi itu, sesuai bunyi Pasal 4, mencakup kegiatan eksplorasi, eksploitasi, pemurnian dan pengolahan, pengangkutan, dan penjualan.
Terbitnya Perpu itu menunjukkan jika pemerintah Republik pada masa itu bersifat sangat tertib hukum. Jika dihitung sejak nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda pada 1956, artinya pemerintah memerlukan waktu sekira empat tahun untuk merancang dasar-dasar yuridis bagi politik perekonomian anti-kolonial. Tiga tahun kemudian, sebagai bagian dari usaha untuk menegakkan kedaulatan di bidang migas, pemerintah Republik menerbitkan UU No. 13 dan 14 Tahun 1963 yang berisi perjanjian karya antara perusahaan-perusahaan negara di bidang minyak dan gas bumi dengan perusahaan-perusahaan asing.

Pada 28 April 1965, Chairul Saleh, yang merupakan Menteri Urusan Minyak dan Gas Bumi, menegaskan bahwa pemerintah berkepentingan untuk menguasai dan mengawasi semua perusahaan minyak yang ada di Indonesia. Selain untuk tujuan kemakmuran, politik ekonomi energi di masa itu juga secara tegas dinyatakan sebagai “untuk tujuan pertahanan” dari gempuran Nekolim.
Proses nasionalisasi di bidang migas itu, seturut penjelasan Chairul Saleh, tidak dilakukan secara gegabah dan tidak patut. Hal itu dilakukan melalui ketentuan bahwa semua perusahaan minyak asing yang beroperasi di Indonesia harus tunduk dan diatur oleh perusahaan-perusahaan negara yang menjadi partnernya.

Jika kita mengingat kembali sejarah, tahun-tahun itu adalah tahun ketika slogan BERDIKARI (Berdiri di Atas Kaki Sendiri) mulai bergaung. Dan membaca uraian sebelumnya, kita tahu bahwa slogan itu bukanlah slogan kosong, melainkan bentuk penegasan jargonik atas usaha-usaha yuridis dan institusional yang telah dilakukan pemerintah Republik untuk menata perekonomian Indonesia pasca-kolonialisme. Secara kelembagaan usaha itu sudah dilakukan sejak 1956, dan jargon itu hanya hendak mengkomunikasikan sekaligus menegaskan apa yang sedang dilakukan pemerintahan Soekarno.

Berdikari adalah pilihan niscaya jika kita berpikir mengenai kemerdekaan ekonomi. Tak ada kemerdekaan ekonomi tanpa kemerdekaan dari modal asing.

Apakah berdikari sama dengan autarki? Hanya mereka yang kemampuan bahasa Indonesianya sangat buruk yang akan berkomentar demikian. Dan sayangnya, banyak sarjana kita kini pemahaman “bahasanya” (baca: sejarah) memang sangat buruk.

Tarli Nugroho, peneliti di Mubyarto Institute (Mubins) Yogyakarta, anggota Dewan Redaksi Jurnal Ulumul Qur’an (Jakarta), dan Kepala P2M (Perhimpunan Pendidikan Masyarakat) Yogyakarta