Tanggal 17 November lalu, Presiden Joko Widodo (Jokowi)
resmi mengumumkan kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM). Nilai
kenaikannya cukup signifikan: sebesar Rp 2000,- untuk jenis premiun dan
solar.
Jokowi menjelaskan, kenaikan harga BBM tidak bisa dihindarkan.
Menurutnya, alokasi anggaran APBN untuk subsidi BBM terlalu besar dan
cenderung boros. Ia mencatat, dalam lima tahun terakhir, alokasi subsidi
BBM mencapai Rp714 triliun. Sementara, pada periode yang sama, alokasi
untuk pembangunan infrastruktur hanya Rp574 triliun dan sektor kesehatan
sebesar Rp220 triliun.
Jokowi menyakinkan bahwa besarnya alokasi subsidi BBM menyebabkan
pemerintah tidak punya ruang fiskal untuk menjalankan programnya,
terutama yang terkait dengan pembangunan dan kesejahteraan rakyat.
Karena itu, Jokowi menyebut agenda pemangkasan subsidi BBM ini sebagai
bentuk ‘pengalihan subsidi dari aktivitas konsumtif menjadi aktivitas
produktif’. Maksudnya, anggaran subsidi BBM akan dialihkan untuk
membiayai pembangunan infrastruktur pertanian, pembangkit listrik,
pembiayaan program kelautan, dan pembangunan jalan baru.
Benarkah demikian? Mengkambing-hitamkan subsidi BBM sebagai
pemborosan dan mempersempit ruang fiskal pemerintah untuk membiayai
programnya pembangunannya adalah sebuah penyesatan. Yang dilupakan,
subsidi BBM bukan satu-satunya pos belanja di APBN. Ironisnya lagi, ada
pos belanja yang sangat boros dan merugikan negara yang justru tidak
pernah disentuh:
pertama, belanja rutin birokrasi, termasuk gaji pegawai, yang cukup tinggi; dan
kedua, pembayaran cicilan dan bunga utang luar negeri.
Taruhlah soal pembayaran utang. Di APBN 2015 ini porsi pembayaran
bunga utang mencapai Rp154 triliun atau hampir 8% dari total belanja
APBN kita. Dan untuk diketahui, sepanjang tahun 2005-2011, porsi
pembayaran utang mencapai Rp 1.323,8 triliun. Sayangnya, pemerintahan
Jokowi-JK tidak pernah menyinggung persoalan beban utang luar negeri
ini. Padahal, tidak semua dari komponen utang luar negeri itu adalah
utang sah. Tidak sedikit dari jumlah utang itu yang masuk kategori utang
ilegal (illegal debt), utang najis (oudius debt), dan utang tidak sah
(illegitimate debt).
Dengan demikian, kalau saja pemerintahan Jokowi-JK berani melakukan
proses audit terhadap utang itu dan menegosiasikan ulang dengan para
kreditur, maka pemerintah akan punya sedikit ruang fiskal.
Lagi pula,
soal utang luar negeri ini bukan hanya soal beban kewajiban membayar
pinjaman dan beban bunganya, tetapi terkait dengan proyek
neokolonialisme di Indonesia. Untuk diketahui, utang luar negeri telah
menjadi alat bagi para kreditur, yang notabene negara-negara kapitalis
maju dan perwakilan kepentingan korporasi multinasional, untuk menjerat
leher negeri dunia ketiga dan mendikte kebijakan ekonomi-politiknya.
Selama ini pemerintah melihat persoalan subsidi BBM hanya sebagai
bahan bakar untuk sektor transportasi saja. Mereka lupa bahwa subsidi
BBM juga berkontribusi dalam menggerakkan aktivitas produksi, seperti
industri, pertanian, nelayan, dan usaha kecil (UKM dan industri rumah
tangga). Subsidi BBM berkontribusi dalam meringangkan biaya produksi dan
distribusi. Artinya, jika terjadi kenaikan harga BBM, maka aktivitas
produksi tersebut akan mengalami gangguan akibat kenaikan biaya produksi
dan distribusi. Alhasil, jika terjadi kenaikan BBM, sektor-sektor
produksi tersebut akan tergencet dan berpotensi gulung tikar.
Wacana pengalihan subsidi BBM ke sektor produktif, seperti untuk
infrastruktur pertanian, pembangkit listrik, pembiayaan program
kelautan, dan pembangunan jalan baru, perlu diberondong pertanyaan
kritis. Pasalnya, wacana ini juga sangat getol disuarakan oleh Bank
Dunia. Dan, sebagaimana ditegaskan oleh petinggi Bank Dunia sendiri,
investor asing berharap kenaikan harga BBM segera dilakukan pemerintah
sehingga dana subsidi bisa dialihkan ke sektor infrastruktur. Tentu
saja, pembangunan infrastruktur yang dimaksud bertujuan untuk melayani
proses akumulasi kapital.
Apalagi, pada saat berpidato di Forum Kerja
Sama Ekonomi Asia-Pasifik (APEC) lalu, Jokowi mengundang para investor
asing untuk ambil-bagian dalam pembangunan infrastruktur di Indonesia.
Malahan, untuk menarik minat para investor asing tersebut, Jokowi
menjanjikan kemudahan dalam perizinan dan pembebasan lahan. Artinya,
penggusuran dan penyingkiran rakyat dari lahan penghidupannya akan
dilakukan oleh rezim Jokowi-JK untuk memastikan kapital asing merasa
nyaman mengakumulasi keuntungan di Indonesia.
Yang harus diingat oleh Jokowi-JK, kenaikan harga BBM akan menggerus
pendapatan rakyat Indonesia. Sebagaimana dilansir oleh Bloomberg,
penduduk Indonesia dengan pendapatan harian sebesar US $ 11/hari harus
mengalokasikan 33 % pendapatan mereka untuk mendapatkan segalon bensin
(1 galon setara dengan 1,9 liter). Artinya, jika terjadi kenaikan harga
BBM, pendapatan harian mereka tentu akan sangat tergerus. Apalagi kalau
pendapatan harian mayoritas rakyat Indonesia dihitung hanya US $ 2/hari,
tentu kehidupan mereka makin sulit. Belum lagi efek berantai yang
dipicu oleh kenaikan harga BBM, seperti kenaikan biaya transportasi,
kenaikan harga barang kebutuhan, kenaikan biaya hidup, kenaikan biaya
produksi yang memicu efisiensi (PHK), dan lain-lain. Singkat cerita,
kenaikan harga BBM akan membawa tekanan ekonomi cukup mendalam dan
berjangka panjang kepada rakyat Indonesia.
Nah, untuk meredam dampak kenaikan harga BBM, Jokowi-JK menerbitkan
tiga ‘kartu sakti’, yakni Kartu Indonesia Sehat (KIS), Kartu Indonesia
Pintar (KIP), dan Kartu Keluarga Sejahtera (KKS). Kebijakan semacam ini,
yang di Amerika Latin sana disebut ‘kebijakan sosial neoliberal’,
dirancang dengan anggaran terbatas dan sasaran yang dibatasi pula.
Kebijakan ini hanya menarget mereka yang paling miskin atau yang paling
rentan. Kalau kita lihat, kebijakan semacam ini tak ubahnya pekerjaan
“palang merah” di medan perang. Memang ia berhasil menolong banyak
korban di medan perang, tetapi tidak semua korban, dan tetap saja tidak
bisa menghentikan berjatuhannya korban akibat perang.
Yang juga sering disampaikan ke kita, bahwa kita jangan lagi berharap
banyak dan bergantung pada BBM. Menurut mereka, cadangan minyak
terbukti (
proved reserves) kita menipis, yakni hanya sekitar
3,7 miliar barel atau 0,25% dari total cadangan dunia, sedangkan
cadangan minyak potensial kita hanya 3,857 miliar barel. Jadi totalnya
hanya 7,5 miliar barel saja dan diperkirakan akan habis dalam hitungan
belasan tahun kedepan.
Kemudian, produksi minyak mentah (
lifting) kita juga terus
menurun. Pada tahun 2004, lifting minyak kita masih 1,4 juta barel/hari.
Jumlah itu terus menurun. Pada tahun 2012, lifting minyak kita tinggal
890.000 barel/hari. Alhasil, sejak tahun 2004 lalu, Indonesia berubah
predikat dari negeri “pengekspor” menjadi “pengimpor” minyak.
Kenapa bisa demikian? Cadangan minyak terbukti kita memang menipis,
tetapi bukan berarti cadangan minyak kita sudah habis. Banyak ahli
perminyakan, termasuk petinggi Pertamina, yang menegaskan bahwa cadangan
minyak kita sebetulnya masih banyak. Seketaris SKK Migas, Gde Pradyana,
memperkirakan negeri ini masih memiliki potensi cadangan minyak baru
sebesar 43,7 miliar barel.
Hanya saja, untuk membuktikan potensi tersebut menjadi cadangan
minyak terbukti dibutuhkan kegiatan eksplorasi yang intensif. Sementara
kegiatan eksplorasi ini butuh dana yang sangat besar. Konon, satu sumur
saja membutuhkan biaya mencapai US$100 juta atau setara Rp1 triliun.
Itupun resiko kegagalannya sangat besar alias menemukan sumur kosong (
dry hole).
Nah, di sinilah letak masalahnya: pemerintah sangat lemah dalam
mendorong dan menyediakan anggaran untuk eksplorasi. Bayangkan, alokasi
APBN untuk kegiatan eksplorasi hanya 0,07 %.
Sejak Orde baru hingga sekarang, pemerintah kita bertindak tak
ubahnya hanya sebagai penerima rente. Untuk diketahui, Pertamina harus
menyerahkan 93% keuntungannya kepada pemerintah sebagai dividen.
Akibatnya, pertamina mengalami kendala finansial untuk eksplorasi.
Menurut kami, kedepan separuh dari keuntungan minyak dikembalikan ke
kegiatan migas sebagai investasi. Selain itu, pemerintah perlu
menciptakan
petroleum fund untuk menopang kegiatan eksplorasi di masa depan.
Persoalan lainnya adalah kegiatan eksplorasi dan produksi minyak
Indonesia masih mengandalkan sumur-sumur tua. Perlu pengayaan teknik dan
teknologi untuk memaksimalkan sumur-sumur tua ini. Dalam konteks ini,
selain dengan melakukan pengembangan teknik sendiri, pemerintah mestinya
bisa mendorong konsep alih-teknologi dengan kontraktor asing.
Dan satu persoalan terbesar yang tidak pernah disinggung-singgung
pemerintah, termasuk pemerintahan Jokowi-JK, adalah dominannya
penguasaan korporasi asing terhadap ladang-ladang migas Indonesia. Data
Indonesian Resource Studies (IRESS)
mengungkapkan bahwa Pertamina hanya memproduksi minyak sebesar 15
persen dan 85 persen diproduksi oleh korporasi asing. Sementara data
Kementerian ESDM pada tahun 2009 menyebutkan, pertamina hanya
memproduksi 13,8%. Sisanya dikuasai oleh swasta asing seperti Chevron
(41%), Total E&P Indonesie (10%), Chonoco-Philips (3,6%) dan CNOOC
(4,6%). Pengelolaan gas kita juga bernasib sama. Hampir 90% produksi gas
Indonesia hanya dikangkangi oleh 6 perusahaan asing, yakni Chevron,
Total, ConocoPhilips, British Petroleum, dan ExxonMobil. Sementara untuk
batubara penguasaan asing diperkirakan mencapai 70%. Inilah yang
menyebabkan kita tidak pernah berdaulat di bidang energi. Bagi kami,
tanpa mengoreksi dominasi kepemilikan dan penguasaan asing ini, kita
jangan bermimpi terlalu tinggi untuk bisa mewujudkan swasembada energi.
Sayangnya, pemerintahan Jokowi-JK enggan, atau mungkin sengaja, tidak
menyentuh akar persoalan tersebut. Dan, untuk diketahui, salah satu
pangkal dari semua masalah karut-marutnya pengelolaan migas di Indonesia
itu bermuasal dari pengesahan UU nomor 22 tahun 2001 tentang migas. UU
ini merupakan hasil kongkalikong antara rezim Megawati kala itu dengan
kekuatan asing, khususnya IMF dengan Letter of Intent (LoI)-nya. UU
inilah yang membentangkan karpet merah kepada modal asing untuk
menguasai bisnis migas Indonesia dari hulu hingga ke hilir.
Dan sejak awal kami pun sudah mencium indikasi kuat, bahwa pencabutan
subsidi BBM di Indonesia sangat terkait dengan agenda liberalisasi di
sektor hilir migas kita. Untuk diketahui, sejak Orde Baru hingga tahun
2000-an, korporasi asing sudah sukses berjaya di sektor hulu. Sekarang
ini mereka sangat
ngiler untuk menguasai sektor hilir migas kita.
Dan, seturut dengan pengesahan UU migas di tahun 2001 itu, SPBU asing
pun mulai menjalar di Jakarta dan sekitarnya. Namun, untuk sementara,
SPBU asing itu tidak bisa berkembang pesat dan berekspansi ke
daerah-daerah karena kalah bersaing dengan SPBU Pertamina. Sebagaimana
kita ketahui, harga jual BBM di SPBU Pertamina lebih murah ketimbang di
SPBU asing. Karena itulah, sejak saat itu berdengun keraslah tuntutan
pencabutan subsidi BBM sebagai prasyarat membawa harga jual BBM di
Indonesia sesuai mekanisme pasar.
Sayang, upaya membawa harga BBM ke mekanisme pasar ini sempat
terjegal di tahun 2004, saat Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan bahwa
penyerahan harga BBM ke mekanisme pasar adalah inkonstitusional.
Alhasil, dalih lain pun mesti dicari. Muncullah argumentasi: subsidi BBM
menyebabkan defisit APBN dan alokasi subsidi BBM salah sasaran. Dua
argumentansi inilah yang senantiasa dipergunakan pemerintah, baik rezim
SBY maupun rezim Jokowi-JK saat ini, untuk menghalalkan penghapusan
subsidi BBM. Dan, ingat juga, bahwa yang paling getol mendesak
pemerintahan Jokowi-JK mencabut subsidi BBM adalah lembaga-lembaga
imperialis, seperti Bank Dunia dan IMF. Malahan, kenaikan harga BBM
jenis premium sebesar Rp 8.500 sekarang ini persis seperti yang
direkomendasikan oleh Bank Dunia.
Tak mengherankan, yang paling bertepuk tangan dengan senyum sumringah
dalam kenaikan harga BBM ini adalah SPBU asing dan korporasi asing yang
berniat berpartisipasi dalam bisnis BBM di Indonesia. Sementara SPBU
Pertamina, yang notabene perusahaan milik negara, harus mengelus dada
ketika sebagian besar pelanggannya beralih ke SPBU asing.
Karena itu, terkait dengan kenaikan harga BBM ini, kita patut
mengajukan satu pertanyaan penting kepada pemerintahan Jokowi-JK: masih
adakah komitmen mereka untuk memperjuangkan cita-cita Trisakti
sebagaimana didengunkannya semasa kampanye pemilu kemarin? Kalau memang
masih ada, maka tidak ada pilihan lain selain membatalkan kenaikan harga
BBM.
Tak hanya itu, pemerintahan Jokowi-JK harus menghentikan liberalisasi
migas di Indonesia, baik di sektor hulu maupun hilir. Sebagai tahap
awal, pemerintahan baru ini harus mencabut UU migas tahun 2001.
Selanjutnya, mereka harus mengembalikan tata-kelola migas Indonesia
sesuai dengan semangat pasal 33 UUD 1945. Bagi kami, yang mendesak
dilakukan pemerintahan Jokowi-JK adalah mengembalikan kedaulatan dan
kontrol bangsa ini terhadap semua kekayaan alam dan aset nasionalnya.