Senin, 21 Oktober 2013

Ciri Politik APBN Yang Tidak Pro-Rakyat




Di kampung halamannya, di Pacitan, Jawa Timur,  Rabu (16/10), Presiden SBY memuji kinerja pemerintahannya dalam menaikkan nilai APBN dan penggunannya.

Menurut bapak pendiri Partai Demokrat ini, sejak dirinya menjabat Presiden tahun 2004 lalu hingga sekarang, nilai APBN telah meningkat dari Rp 400 trilun menjadi Rp 1800 triliun. Artinya, nilai APBN selama pemerintahan SBY naik tiga kali lipat.

Selain itu, ia juga mengklaim alokasi APBN di bawah pemerintahannya sudah tepat sasaran. Ia mengakui bahwa sebagian besar nilai APBN itu dipakai untuk membayar utang di masa lalu. Sisanya dipakai untuk mensubsidi rakyat, membayar gaji guru, TNI, Polri dan lainnya, dialirkan ke daerah, dan pembangunan infrastruktur.

Memang SBY kerap memuji diri sendiri. Ia juga sering mengklaim model pembangunan ekonominya mengalami sukses besar, kendati dimana-mana rakyat miskin bergelimpangan karena berebut sembako, PHK massal, pengagguran, biaya layanan kebutuhan dasar yang meroket, upah murah, dan lain sebagainya.
Baiklah, APBN kita selama ini memang meningkat sangat pesat. Pertanyaannya kemudian, apakah peningkatan nilai APBN tersebut membawa dampak nyata pada peningkatan kesejahteraan rakyat banyak dan penguatan ekonomi nasional?

Pada kenyataannya, angka kemiskinan masih tinggi. Hingga September 2013, data resmi (BPS) menyebut angka kemiskinan masih berada di angka 12%. Indeks gini, yang mengukur tingkat kesenjangan ekonomi, meningkat pesat selama pemerintahan SBY. Publikasi Badan Pusat Statistik (2012) menyebutkan, tingkat kesenjangan di Indonesia meningkat dari 0,32 (2004) menjadi 0,41 (2011).

Di sisi lain, seperti diungkapkan Wakil Ketua MPR RI Hajriyanto Y Tohari, konsentrasi penguasaan ekonomi di segelintir tangan terus meningkat selama era pemerintahan SBY. Ia mengungkapkan, hanya 0,22 persen orang Indonesia menguasai 56 persen aset nasional.

Indonesia juga dibayangi oleh pengangguran. Dari 114 juta angkatan kerja di Indonesia (usia 15 tahun ke atas), sebanyak 60% diantaranya bekerja di sektor informal. Sementara data Perkumpulan Prakarsa menyebutnya, dari 149,8 juta total tenaga kerja di Indonesia,  ternyata 103,2 juta orang adalah pekerja sektor informal dan setengah pengangguran.

Belum lagi masalah pemenuhan kebutuhan dasar rakyat seperti pendidikan, kesehatan, perumahan, air bersih, dan lain-lain. Hingga tahun 2011, masih ada 11,7 Juta anak Indonesia yang tidak pernah tersentuh pendidikan dasar. Masih ada 13 juta rakyat Indonesia yang belum punya rumah. Sebanyak 6,2 juta jiwa penduduk Indonesia tidak memiliki akses terhadap fasilitas pelayanan kesehatan dasar. Lalu ada 48 persen penduduk Indonesia belum dapat mengakses sistem sanitasi bersih. Dan jangan lupa, masih ada 8 juta anak Indonesia yang kurang gizi.

Dari sekilas data yang terpapar di atas, kita bisa mengambil beberapa kesimpulan: pertama, politik APBN gagal menyediakan layanan dasar, seperti pendidikan, kesehatan, perumahan, dan lain-lain, yang terjangkau bagi rakyat; kedua, politik APBN kita tidak mencerminkan adanya redistribusi pendapatan nasional yang adil dan merata; ketiga, politik APBN kita gagal menciptakan memperkuat ekonomi nasional dan menciptakan lapangan kerja yang manusiawi bagi rakyat.

Pertanyaan selanjutnya, kenapa politik APBN pemerintah itu gagal mensejahterakan rakyat?

Di sini, saya mencoba memberikan beberapa alasan sekaligus ciri politik APBN pemerintah yang tidak pro-rakyat. Pertama, sebagian besar pendapatan negara diperoleh dari pemungutan pajak dan cukai. Sampai sekarang ini, porsi terbesar penerimaan APBN kita masih dari pajak, yakni 70%. Terkait soal pajak ini, ada hal ironis di dalamnya: di satu sisi, rakyat dibebani berbagai jenis pajak, seperti pajak penghasilan, pajak bumi dan bangunan, pajak konsumsi (barang, makanan, dan minuman), pajak usaha (UMK dan UMKM), hingga berbagai jenis retribusi. Sementara di sisi lain, dengan alasan menciptan iklim investasi yang kondusif, negara memberikan insentif berupa pengurangan atau penghapusan pajak kepada korporasi besar, baik domestik maupun asing. Bahkan, bukan rahasia lagi, banyak perusahaan besar yang tidak membayar pajak. Menteri Keuangan Agus Martowardojo mengungkapkan, lebih kurang 4000 perusahaan multinasional ditengarai tidak membayar pajak dalam tujuh tahun terakhir. (Sumber: Jurnas).

Kedua, sebagian besar anggaran dipakai untuk membiayai birokrasi. Hingga sekarang ini, lebih dari 70% nilai APBN kita tiap tahunnya habis terpakai untuk membiayai birokrasi. Tidak hanya itu, selama pemerintahan SBY terjadi pemborosan APBN untuk membiayai nafsu hidup mewah pejabat negara, seperti pembiayai seragam pejabat, mobil dinas, rumah dinas, perjalanan dinas, dan lain-lain. Inilah yang ironis: 70% penerimaan APBN berasal dari kantong rakyat, tetapi belanja APBN justru dialokasikan 70%-nya untuk menggemukkan kantong birokrasi.

Ketiga, sebagian anggaran dipakai untuk membayar cicilan utang luar negeri dan bunganya. Setiap tahunnya APBN kita dibebani oleh keharusan membayar utang luar negeri. Rata-rata anggaran APBN yang dipakai membayar cicilan utang dan bunganya melebihi 20%. Pada APBN-P 2013 ini, pemerintah kembali mengajukan utang negara senilai Rp215,43 triliun.  Pembayaran cicilan bunga dan pokok utang 2009-2013 mencapai Rp 780 trilun; lebih besar dari total belanja modal sebesar Rp 634 trilun.
Terkait soal utang ini, tidak betul juga kalau dikatakan bahwa sebagian utang itu adalah warisan masa lalu. Pada tahun 2004, ketika SBY baru mau jadi Presiden, posisi utang Indonesia tercatat sebesar Rp 1,299 triliun. Namun, pada bulan Mei 2013 lalu, utang Indonesia telah meningkat menjadi Rp 2.036 triliun. Artinya, hanya dalam 9 tahun rezim SBY telah menambah utang Indonesia sebesar 724,22 triliun.

Keempat, anggaran untuk kepentingan rakyat sangat kecil. Setiap tahunnya, porsi anggaran untuk subsidi rakyat, baik energi maupun non-energi, terus menurun. Untuk RAPBN 2014, misalnya, total anggaran untuk subsidi rakyat hanya Rp 336,24 triliun, atau turun sekitar 3,4% dari alokasi tahun ini. Anggaran ini hampir setara dengan nilai anggaran untuk membayar utang luar negeri sebesar Rp 300,2 triliun.

Kelima, anggaran untuk membiayai pembangunan, termasuk pembangunan infrastruktur, sangat kecil. Pada APBN 2013, pemerintah hanya mengalokasikan anggaran infrastruktur sebesar Rp 188,4 triliun atau 2,28% dari produk domestik bruto (PDB). Anggaran untuk pembangunan infrastruktur di Indonesia masih terus dibawah 5%. Jauh lebih kecil dibandingkan dengan India yang mencapai 7 persen PDB dan Cina hampir 10 persen dari PDB.
Dalam banyak kasus, penurunan investasi pemerintah dalam pembangunan infrastruktur ini berbarengan dengan diundangnya pihak swasta melalui skema Public Private Partnership (PPP).

Keenam, mencegah atau mengatasi defisit anggaran dengan memangkas belanja publik. Dalam banyak kasus, seperti yang sering kita saksikan, pemerintah selalu berusaha mengatasi defisit APBN dengan jalan memangkas belanja publik. Contoh yang paling terbaru adalah pemangkasan subsidi energi, baik BBM maupun listrik.

Padahal, kalau mau jujur, desifit ini banyak juga disebabkan oleh turunnya penerimaan negara. Salah satunya adalah turunnya penerimaan pajak dari korporasi. Obral insentif pajak untuk korporasi menyebabkan penerimaan negara berkurang. Sudah begitu, banyak korporasi besar yang mengemplang pajak. Laporan KPK menyebutkan bahwa sekitar 60% perusahaan tambang tak membayar pajak dan royalti kepada negara.

Dengan berbagai penjelasan di atas, kita bisa menemukan alasan mengapa politik APBN tidak mensejahterakan rakyat. Setoran rakyat untuk APBN sangat besar, yakni mencapai 70% dalam bentuk pajak, tetapi yang kembali ke mereka dalam bentuk belanja publik dan belanja pembangunan sangat kecil. Sebagian besar disedot oleh birokrasi, utang luar negeri, dan melayani kepentingan bisnis besar.

Mahesa Danu, Kontributor Berdikari Online

Tidak ada komentar:

Posting Komentar