Senin, 21 Oktober 2013

PERNYATAAN SIKAP PRD KOTA DEPOK : DUKUNGAN TERHADAP PERJUANGAN BURUH DEPOK MENUNTUT KENAIKAN UMK DEPOK DARI 2,042 JUTA MENJADI Rp. 3,4 JUTA






Hari ini, Senin (21/10/2013), sekitar 300-an buruh dari berbagai organisasi buruh  di Kota Depok berkonvoi dengan motor dan mobil ke Jakarta. Bersama massa yang lain dari berbagai organisasi buruh seputar  Jabotabek , mereka menuntut kenaikan upah minimun sebesar 50 persen dari Upah Minimum Kota (UMK) Depok sekarang sebesar Rp 2,042 juta dinaikkan menjadi Rp 3,4 juta.

PRD Kota Depok mendukung penuh perjuangan kawan-kawan buruh Depok untuk meminta kenaikan UMK tersebut karena UMK yang sekarang ini memang sudah tidak sesuai dengan kebutuhan hidup minimum kawan-kawan buruh.

Kenaikan harga-harga kebutuhan sehari-hari sudah tidak sebanding dengan upah buruh. Sehingga kaum buruh di depok semakin suram masa depannya. Jangankan berfikir untuk mempunyai rumah, untuk kebutuhan sehari-hari pun harus tutup lubang gali lubang. Pendidikan anak-anak kawan-kawan buruh juga terancam.

Di tambah lagi sejumlah kebijakan Pemerintah Kota Depok yang juga di rasakan akan makin memepersulit buruh untuk mendapatkan kehidupan yang layak, antara lain masalah Perda RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah) yang mensyaratkan developer untuk membangun minimum luas rumah 120 meter persegi yang sangat jelas kebijakan ini akan semakin membuat kawan-kawan buruh tidak mempunyai kemampuan untuk memperoleh rumah yang terjangkau dengan penghasilan mereka.

Selain itu sikap Pemerintah Kota Depok terhadap para pengusaha juga di rasakan terlalu lembek dalam menyikapi persoalan-persoalan perburuhan di Kota Depok.

Demikian pernyataan sikap PRD Kota Depok menanggapi perjuangan kawan-kawan Buruh Depok menuntut kenaikan UMK Depok.



SALAM GOTONG ROYONG !!!
NAIKKAN UMK DEPOK SEKARANG JUGA !!!
LAKSANAKAN PASAL 33 UUD 1945 !!!
BURUH BERSATU TAK BISA DI KALAHKAN !!!

Depok, 21 Oktober 2013

Komite Pimpinan Kota - Partai Rakyat Demokratik (KPK-PRD)
Kota Depok




Diddy Kurniawan
Ketua


HP. 0856 7966 727
Blog : http://prddepok.blogspot.com/

Ciri Politik APBN Yang Tidak Pro-Rakyat




Di kampung halamannya, di Pacitan, Jawa Timur,  Rabu (16/10), Presiden SBY memuji kinerja pemerintahannya dalam menaikkan nilai APBN dan penggunannya.

Menurut bapak pendiri Partai Demokrat ini, sejak dirinya menjabat Presiden tahun 2004 lalu hingga sekarang, nilai APBN telah meningkat dari Rp 400 trilun menjadi Rp 1800 triliun. Artinya, nilai APBN selama pemerintahan SBY naik tiga kali lipat.

Selain itu, ia juga mengklaim alokasi APBN di bawah pemerintahannya sudah tepat sasaran. Ia mengakui bahwa sebagian besar nilai APBN itu dipakai untuk membayar utang di masa lalu. Sisanya dipakai untuk mensubsidi rakyat, membayar gaji guru, TNI, Polri dan lainnya, dialirkan ke daerah, dan pembangunan infrastruktur.

Memang SBY kerap memuji diri sendiri. Ia juga sering mengklaim model pembangunan ekonominya mengalami sukses besar, kendati dimana-mana rakyat miskin bergelimpangan karena berebut sembako, PHK massal, pengagguran, biaya layanan kebutuhan dasar yang meroket, upah murah, dan lain sebagainya.
Baiklah, APBN kita selama ini memang meningkat sangat pesat. Pertanyaannya kemudian, apakah peningkatan nilai APBN tersebut membawa dampak nyata pada peningkatan kesejahteraan rakyat banyak dan penguatan ekonomi nasional?

Pada kenyataannya, angka kemiskinan masih tinggi. Hingga September 2013, data resmi (BPS) menyebut angka kemiskinan masih berada di angka 12%. Indeks gini, yang mengukur tingkat kesenjangan ekonomi, meningkat pesat selama pemerintahan SBY. Publikasi Badan Pusat Statistik (2012) menyebutkan, tingkat kesenjangan di Indonesia meningkat dari 0,32 (2004) menjadi 0,41 (2011).

Di sisi lain, seperti diungkapkan Wakil Ketua MPR RI Hajriyanto Y Tohari, konsentrasi penguasaan ekonomi di segelintir tangan terus meningkat selama era pemerintahan SBY. Ia mengungkapkan, hanya 0,22 persen orang Indonesia menguasai 56 persen aset nasional.

Indonesia juga dibayangi oleh pengangguran. Dari 114 juta angkatan kerja di Indonesia (usia 15 tahun ke atas), sebanyak 60% diantaranya bekerja di sektor informal. Sementara data Perkumpulan Prakarsa menyebutnya, dari 149,8 juta total tenaga kerja di Indonesia,  ternyata 103,2 juta orang adalah pekerja sektor informal dan setengah pengangguran.

Belum lagi masalah pemenuhan kebutuhan dasar rakyat seperti pendidikan, kesehatan, perumahan, air bersih, dan lain-lain. Hingga tahun 2011, masih ada 11,7 Juta anak Indonesia yang tidak pernah tersentuh pendidikan dasar. Masih ada 13 juta rakyat Indonesia yang belum punya rumah. Sebanyak 6,2 juta jiwa penduduk Indonesia tidak memiliki akses terhadap fasilitas pelayanan kesehatan dasar. Lalu ada 48 persen penduduk Indonesia belum dapat mengakses sistem sanitasi bersih. Dan jangan lupa, masih ada 8 juta anak Indonesia yang kurang gizi.

Dari sekilas data yang terpapar di atas, kita bisa mengambil beberapa kesimpulan: pertama, politik APBN gagal menyediakan layanan dasar, seperti pendidikan, kesehatan, perumahan, dan lain-lain, yang terjangkau bagi rakyat; kedua, politik APBN kita tidak mencerminkan adanya redistribusi pendapatan nasional yang adil dan merata; ketiga, politik APBN kita gagal menciptakan memperkuat ekonomi nasional dan menciptakan lapangan kerja yang manusiawi bagi rakyat.

Pertanyaan selanjutnya, kenapa politik APBN pemerintah itu gagal mensejahterakan rakyat?

Di sini, saya mencoba memberikan beberapa alasan sekaligus ciri politik APBN pemerintah yang tidak pro-rakyat. Pertama, sebagian besar pendapatan negara diperoleh dari pemungutan pajak dan cukai. Sampai sekarang ini, porsi terbesar penerimaan APBN kita masih dari pajak, yakni 70%. Terkait soal pajak ini, ada hal ironis di dalamnya: di satu sisi, rakyat dibebani berbagai jenis pajak, seperti pajak penghasilan, pajak bumi dan bangunan, pajak konsumsi (barang, makanan, dan minuman), pajak usaha (UMK dan UMKM), hingga berbagai jenis retribusi. Sementara di sisi lain, dengan alasan menciptan iklim investasi yang kondusif, negara memberikan insentif berupa pengurangan atau penghapusan pajak kepada korporasi besar, baik domestik maupun asing. Bahkan, bukan rahasia lagi, banyak perusahaan besar yang tidak membayar pajak. Menteri Keuangan Agus Martowardojo mengungkapkan, lebih kurang 4000 perusahaan multinasional ditengarai tidak membayar pajak dalam tujuh tahun terakhir. (Sumber: Jurnas).

Kedua, sebagian besar anggaran dipakai untuk membiayai birokrasi. Hingga sekarang ini, lebih dari 70% nilai APBN kita tiap tahunnya habis terpakai untuk membiayai birokrasi. Tidak hanya itu, selama pemerintahan SBY terjadi pemborosan APBN untuk membiayai nafsu hidup mewah pejabat negara, seperti pembiayai seragam pejabat, mobil dinas, rumah dinas, perjalanan dinas, dan lain-lain. Inilah yang ironis: 70% penerimaan APBN berasal dari kantong rakyat, tetapi belanja APBN justru dialokasikan 70%-nya untuk menggemukkan kantong birokrasi.

Ketiga, sebagian anggaran dipakai untuk membayar cicilan utang luar negeri dan bunganya. Setiap tahunnya APBN kita dibebani oleh keharusan membayar utang luar negeri. Rata-rata anggaran APBN yang dipakai membayar cicilan utang dan bunganya melebihi 20%. Pada APBN-P 2013 ini, pemerintah kembali mengajukan utang negara senilai Rp215,43 triliun.  Pembayaran cicilan bunga dan pokok utang 2009-2013 mencapai Rp 780 trilun; lebih besar dari total belanja modal sebesar Rp 634 trilun.
Terkait soal utang ini, tidak betul juga kalau dikatakan bahwa sebagian utang itu adalah warisan masa lalu. Pada tahun 2004, ketika SBY baru mau jadi Presiden, posisi utang Indonesia tercatat sebesar Rp 1,299 triliun. Namun, pada bulan Mei 2013 lalu, utang Indonesia telah meningkat menjadi Rp 2.036 triliun. Artinya, hanya dalam 9 tahun rezim SBY telah menambah utang Indonesia sebesar 724,22 triliun.

Keempat, anggaran untuk kepentingan rakyat sangat kecil. Setiap tahunnya, porsi anggaran untuk subsidi rakyat, baik energi maupun non-energi, terus menurun. Untuk RAPBN 2014, misalnya, total anggaran untuk subsidi rakyat hanya Rp 336,24 triliun, atau turun sekitar 3,4% dari alokasi tahun ini. Anggaran ini hampir setara dengan nilai anggaran untuk membayar utang luar negeri sebesar Rp 300,2 triliun.

Kelima, anggaran untuk membiayai pembangunan, termasuk pembangunan infrastruktur, sangat kecil. Pada APBN 2013, pemerintah hanya mengalokasikan anggaran infrastruktur sebesar Rp 188,4 triliun atau 2,28% dari produk domestik bruto (PDB). Anggaran untuk pembangunan infrastruktur di Indonesia masih terus dibawah 5%. Jauh lebih kecil dibandingkan dengan India yang mencapai 7 persen PDB dan Cina hampir 10 persen dari PDB.
Dalam banyak kasus, penurunan investasi pemerintah dalam pembangunan infrastruktur ini berbarengan dengan diundangnya pihak swasta melalui skema Public Private Partnership (PPP).

Keenam, mencegah atau mengatasi defisit anggaran dengan memangkas belanja publik. Dalam banyak kasus, seperti yang sering kita saksikan, pemerintah selalu berusaha mengatasi defisit APBN dengan jalan memangkas belanja publik. Contoh yang paling terbaru adalah pemangkasan subsidi energi, baik BBM maupun listrik.

Padahal, kalau mau jujur, desifit ini banyak juga disebabkan oleh turunnya penerimaan negara. Salah satunya adalah turunnya penerimaan pajak dari korporasi. Obral insentif pajak untuk korporasi menyebabkan penerimaan negara berkurang. Sudah begitu, banyak korporasi besar yang mengemplang pajak. Laporan KPK menyebutkan bahwa sekitar 60% perusahaan tambang tak membayar pajak dan royalti kepada negara.

Dengan berbagai penjelasan di atas, kita bisa menemukan alasan mengapa politik APBN tidak mensejahterakan rakyat. Setoran rakyat untuk APBN sangat besar, yakni mencapai 70% dalam bentuk pajak, tetapi yang kembali ke mereka dalam bentuk belanja publik dan belanja pembangunan sangat kecil. Sebagian besar disedot oleh birokrasi, utang luar negeri, dan melayani kepentingan bisnis besar.

Mahesa Danu, Kontributor Berdikari Online

Senin, 07 Oktober 2013

30 Fakta Kejahatan IMF dan Bank Dunia


Di tahun 2014 mendatang, Bank Dunia dan IMF akan berusia 70 tahun. Namun, sejak kehadirannya hingga sekarang, Bank Dunia dan IMF justru membawa banyak kerugian bagi negara-negara berkembang.

Seperti diakui sendiri oleh ekonom peraih nobel, Joseph E. Stiglitz, bahwa negara-negara kapitalis maju, dengan bantuan IMF, Bank Dunia, dan WTO, tidak hanya tidak membantu apa yang diperlukan oleh negara berkembang, tetapi kadang-kadang malah membuat mereka tambah sulit.
Berikut ini 30 fakta tentang IMF dan Bank Dunia:
  1. Sejak pendiriannya di tahun 1944, Bank Dunia dan IMF aktif mendukung semua rezim diktator dan korup yang menjadi sekutu imperialisme Amerika Serikat (AS).
  2. Dalam pelanggaran keji hak rakyat guna mengontrol hidup mereka, mereka (Bank Dunia dan IMF) menginjak-injak kedaulatan negara lain yang tak terhitung jumlahnya, terutama melalui pengondisian/pengajuan syarat yang mereka paksakan ke negara-negara itu. Pengajuan syarat ini memiskinkan rakyat, meningkatkan ketidaksetaraan, menyerahkan negara tersebut ke tangan perusahaan multinasional, dan mengubah UU negara tersebut (biasanya mereformasi UU perburuhan, pertambangan, dan kehutanan) untuk melayani kreditor dan investor asing.
  3. Meskipun sudah mengetahui adanya penyelewengan yang begitu massif, Bank Dunia dan IMF tetap mempertahankan atau malah menambah pinjaman utang kepada rezim diktator dan korup yang bersekutu dengan barat. (Lihat kasus lama di Zaire-Kongo di bawah rezim Marsekal Mobutu; Lihat pula laporan Erwin Blumenthal tahun 1982).
  4. Melalui dukungan finansialnya, Bank Dunia dan IMF memberi bantuan kepada diktator Habyarimana di Rwanda hingga 1992, yang memungkinkan peningkatan lima kali lipat pasukan militer rezim diktator tersebut. Reformasi ekonomi yang mereka paksakan di tahun 1990 telah mengacaukan negeri itu, dan menambah parah kontradiksi yang laten. Genosida yang telah dipersiapkan sejak akhir tahun 1980-an oleh diktator Habyarimana akhirnya mulai dilakukan 6 April 1994, yang menyebabkan kematian hampir 1 juta suku Tutsi (dan moderat Hutu). Selanjutnya, Bank Dunia dan IMF menuntut kepada pemerintah baru di Rwanda untuk membayar utang yang diteken di era diktator Habyarimana itu.
  5. Mereka juga mendukung rezim-rezim diktator di kubu lain (Rumani dari 1973 hingga 1982; China dari tahun 1980-an) untuk melemahkan Soviet sebelum keruntuhannya di tahun 1991.
  6. Bank Dunia dan IMF juga mendukung diktator paling buruk hingga mereka terguling: Soeharto di Indonesia dari tahun 1965 hingga 1998; Marcos di Philipina antara 1972-1986; Ben Ali di Tunisia dan Mubarak di Mesir hingga mereka terguling di tahun 2011.
  7. Mereka juga secara aktif mensabotase eksprimen progressif di sejumlah rezim demokratis (dari Jacobo Arbenz di Guatemala dan Mohammad Mossadegh di Iran pada paruh pertama 1950-an, lalu Joao Goulart di Brazil pada awal 1960-an hingga Sandinista di Nikaragua pada tahun 1980-an dan tentu saja termasuk Salvador Allende di Chili dari 1970 hingga 1973. Dan tentu masih banyak yang lain).
  8. Rakyat yang menjadi korban dari rezim tirani yang dibiayai oleh Bank Dunia dan IMF dipaksa oleh lembaga ini untuk membayar utang-utang najis yang diteken semasa rezim otoriter dan korup ini.
  9. Bank Dunia dan IMF telah memaksa negara-negara yang baru merdeka di akhir 1950-an dan awal 1960-an untuk membayar utang najis yang dulu dipinjam oleh negara yang menjajah mereka. Misalnya, Kongo dipaksa membayar utang kolonial yang dulu dipinjam oleh kolonialis Belgia dari Bank Dunia untuk mendanai kolonialisasinya di Kongo di tahun 1950-an. Padahal, pengalihan utang kolonial semacam ini dilarang oleh hukum Internasional. Dalam kasus Indonesia, Bank Dunia memberi pinjaman sebesar 195 juta dollar kepada Belanda, yang dipakainya untuk mendanai agresi militernya di Indonesia tahun 1947. Ironisnya, utang ini harus dibayar oleh Indonesia yang baru merdeka melalui perjanjian Konferensi Meja Bundar (KMB).
  10. Di tahun 1960-an, Bank Dunia dan IMF memberi dukungan finansial kepada rezim apartheid di Afrika selatan dan Portugal–yang berusaha memelihara koloninya di Afrika dan Pasifik. Padahal, dua negara sedang dikenakan boikot finansial oleh PBB. Bank Dunia juga mendukung negara yang melakukan pencaplokan militer ke wilayah lain, seperti dukungan terhadap Indonesia saat menganeksasi Timor Leste di tahun 1975.
  11. Dalam bidang lingkungan, Bank Dunia terus mendorong kebijakan produktivitas yang merupakan bencana bagi rakyat dan merusak alam. Mereka juga berhasil mendapatkan peran untuk mengelola pasar perdagangan emisi.
  12. Bank Dunia juga mendanai proyek yang terang-terangan melanggar hak azasi manusia. Sebagai contoh, beberapa komponen proyek transmigrasi di Indonesia, yang langsung didukung Bank Dunia, dapat dianggap kejahatan terhadap kemanusiaan (pengrusakan lingkungan alam tempat bernaung masyarakat adat dan pemaksaan pemindahan penduduk). Baru-baru ini, Bank Dunia mendanai, secara keseluruhan, sebuah program yang dinamai “Voluntary Departure” di Republik Demokratik Kongo, sebuah program pesangon yang melanggar hak-hak 10.655 karyawan Gécamines, sebuah perusahaan tambang umum di wilayah Katanga, Kongo. Sampai sekarang para pekerja ini belum dibayar upahnya dan kompensasi yang diwajibkan oleh UU Kongo.
  13. Bank Dunia dan IMF berkontribusi atas munculnya faktor-faktor yang menyebabkan krisis utang di tahun 1982: 1) Bank Dunia dan IMF memaksa negara-negara penerima utang ke arah utang berlebihan; 2) Mereka menyetir, bahkan memaksa, negara-negara tersebut untuk menghapus kontrol terhadap pergerakan kapital dan pertukaran; 3) mereka menyetir negara-negara itu untuk meninggalkan kebijakan industrialisasi subtitusi impor dan menggantinya dengan model ekonomi yang berorientasi ekspor.
  14. Mereka menyembunyikan bahaya krisis kelebihan hutang, krisis pembayaran, dan daftar negatif transfer, yang sebetulnya mereka sudah deteksi sendiri sebelumnya.
  15. Dari sejak permulaan krisis hutang di tahun 1982, Bank Dunia dan IMF secara sistematis mendukung negara-negara peminjam (kreditur) dan melemahkan negara-negara penerima utang (debitur).
  16. Bank Dunia dan IMF merekomendasikan, bahkan memaksakan, kebijakan yang menempatkan beban utang kepada rakyat, sementara yang paling kuat diuntungkan.
  17. Bank Dunia dan IMF berusaha menyebarkan model kebijakan ekonomi (neoliberalisme) yang secara sistematis meningkatkan kesenjangan baik antar negara maupun di dalam negara bersangkutan.
  18. Di tahun 1990-an, Bank Dunia dan IMF, dengan keterlibatan kepala pemerintahan, memperluas kebijakan penyesuaian struktural (SAP) untuk sebagian besar negara-negara Amerika Latin, Afrika, Asia, dan Eropa Tengah dan Timur (termasuk Rusia).
  19. Di negara-negara tersebut di atas, privatisasi telah merugikan kepentingan umum dan menyebabkan transfer kekayaan besar-besaran ke tangan segelintir oligarki.
  20. Bank Dunia dan IMF telah memperkuat perusahaan swasta besar dan melemahkan otoritas publik dan bisnis kecil. Mereka telah memperburuk eksploitasi terhadap pekerja dan membuat pekerjaan mereka lebih berbahaya. Mereka telah melakukan hal yang sama terhadap usaha kecil.
  21. Mereka secara sepihak mendeklasikan perang terhadap kemiskinan tetapi gagal menyembunyikan kebijakan nyata yang mereproduksi dan memperburuk penyebab utama kemiskinan.
  22. Liberalisasi arus kapital, yang mereka secara sistematis paksakan, telah mendorong peningkatan kasus penghindaran pajak, pelarian dana dan korupsi.
  23. Liberalisasi perdagangan telah memperkuat yang kuat dan melemahkan yang lemah. Mayoritas usaha kecil dan menengah di negara berkembang tidak sanggup bertahan dalam kompetisi dengan perusahaan-perusahaan raksasa, baik dari utara maupun selatan.
  24. Bank Dunia dan IMF, yang bertindak bersama WTO, Komisi Eropa, dan pemerintahan yang bersedia untuk memaksakan sebuah agenda yang bertentangan secara radikal dengan pemastian hak dasar manusia.
  25. Sejak krisis hari ini yang menghantam Uni Eropa, IMF berada di garda depan untuk memaksa rakyat Yunani, Portugal, Irlandia, Siprus, dan negara-negara lain, dengan kebijakan yang sama yang pernah diterapkan terhadap rakyat di negara berkembang, Eropa tengah, dan Timur pada tahun 1990-an.
  26. Bank Dunia dan IMF, yang telah berkhotbah tentang good governance dalam satu laporan ke yang lain, yang pada kenyataannya mereka sendiri terlibat dalam perilaku meragukan.
  27. Kedua lembaga ini, kendati anggotanya kebanyakan adalah negara-negara yang termarjinalkan, lebih memilih segelintir pemerintahan di negara-negara kaya.
  28. Singkatnya, Bank Dunia dan IMF adalah mesin despotik di tangan sebuah oligarki internasional (segelintir kekuatan dominan dan perusahaan multinasional mereka) untuk menegakkan sistem kapitalisme global yang merugikan umat manusia dan lingkungan.
  29. Tindakan dan kebijakan merusak dari Bank Dunia dan IMF harus segera diakhiri. Utang dari lembaga ini sedang coba dikumpulukan dan dihapuskan dan mereka (Bank Dunia dan IMF) harus dibawa ke pengadilan.
  30. Sebuah sistem keuangan internasional yang baru dan demokratis harus segera diciptakan untuk mempromosikan distribusi kekayaan dan mendukung upaya rakyat dalam pembangunan yang berkeadilan sosial dan menghargai lingkungan.
Catatan: semua fakta-fakta ini diambil dari artikel Eric Toussaint, seorang doktor ilmu politik dan Presiden dari CADTM (Komite untuk Penghapusan Utang Dunia Ketiga) Belgia.

Sumber Artikel : berdikarionline.com

Kamis, 03 Oktober 2013

Ratusan Warga SAD 113 Kembali Duduki Kantor Gubernur Jambi



Sejak Senin, 30 September lalu, ratusan warga Suku Anak Dalam (SAD) 113 kembali menggelar aksi pendudukan di kantor Gubernur Jambi. Mereka menuntut tanah ulayat mereka seluas 3550 ha segera dikembalikan.

Pekan lalu, pada tanggal 24 September 2013, warga SAD juga menggelar aksi pendudukan di tempat yang sama. Aksi pendudukan pekan lalu itu berlangsung hingga Jumat (27/9/2013).

Dari pantauan kontributor BO di lokasi aksi, jumlah massa aksi  kali lebih banyak ketimbang sebelumnya. Kedati begitu, tak satupun pejabat di Kantor Gubernur Jambi yang keluar menemui dan merespon aspirasi warga SAD 113.

Padahal, konflik antara warga SAD dan PT. Asiatic Persada sudah berlangsung lama. Pada 29 Februari 2012, masyarakat SAD 113 berhasil menduduki tanah adat yang merupakan bagian dari HGU PT Asiatik Persada, seluas 3614 Ha. Saat itu, tokoh adat SAD Abas Subuk membacakan deklarasi, bahwa lahan itu adalah hak adat, bukanlah milik pemodal asing.

Setelah SAD mendeklarasikan lahan itu sebagai hak adat, pada 26 Maret 2012, lahan seluas 3614 Ha luasnya digenapkan menjadi 3550 Ha, sebagaimana permintaan Sekda Provinsi Jambi Ir Syarasaddin dalam forum rapat.

Berhasil menguasai lahan, ternyata berbagai serangan kepada pihak SAD tak terelakkan. Surat pemanggilan dari pihak kepolisian pun berdatangan. Satu persatu tokoh adat bahkan ketua PRD Provinsi Jambi, Mawardi, sempat diamankan ke jeruji besi. Untung saja, perjuangan rakyat semakin solid, sehingga akhirnya upaya kriminalisasi terhadap warga SAD dan aktivis PRD berhasil digagalkan.

Tiga Bulan Kemudian, SAD 113 mencari peta mikro. Mereka berhasil menemukannya di Dinas Kehutanan Provinsi Jambi. Saat itu, Dishut Provinsi Jambi menyerahkan peta mikro kepada SAD, dengan syarat menandatangani berita acara yang mengharuskan warga SAD 113 tidak memperbanyak ataupun menggandakan peta mikro tersebut. Berita acara tersebut ditangani oleh tokoh-tokoh adat SAD 113.

Perjuangan tak sampai disitu, pada 10 Juli 2012 dilakukan pertemuan di Komnas HAM RI, yang dihadiri perwakilan SAD 113, para aktivis agraria, Pemprov Jambi, BPN RI dan BPN Provinsi Jambi. Rapat itu menyepakati  menyepakati pengukuran ulang lahan seluas 3550 Ha dan PT Asiatik diminta membayar biaya pengukuran ulang.

Proses penyelesaian terus bergulir. Pada bulan November 2012, BPN RI mengeluarkan surat pelimpahan penyelesaian konflik SAD ke BPN Provinsi Jambi, dan melayangkan surat perintah ke PT Asiatik Persada untuk menyetor biaya pengukuran lahan seluas 3550 ha.

Pada akhir 2012, BPN RI mengeluarkan SK bahwa sengketa lahan SAD 113 bagian dari permasalahan yang harus diselesaikan BPN secara nasional. Selanjutnya, pada 7 MEI 2013, Pemprov Jambi mengeluarkan surat yang ditandatangani Sekda Provinsi Jambi, Syarasaddin yang isinya memerintahkan PT Asiatik Persada mengembalikan tanah adat seluas 3550 ha kepada masyarakat SAD 113. Pada saat itu, Syarasaddin mengeluarkan ultimatum bahwa Pemprov Jambi memberikan waktu tiga bulan kepada PT ASIATIK PERSADA untuk menindaklanjuti surat tersebut.

Pada 30 Agustus 2013, Pemprov Jambi kembali mengeluarkan surat kepada PT Asiatik Persada berisi surat teguran I, guna menindaklanjuti surat tertanggal 7 Mei 2013. PT Asiatik Persada diberi waktu 1 x 30 hari.
Ketua KPW PRD Provinsi Jambi Mawardi menuturkan, pihaknya hanya ingin legalitas hukum dari lahan 3550 ha. Tidak ada alasan lain, jika pemerintah tutup mata dalam penyelesaian konflik lahan ini.

“Semua lembaga sudah pernah menyepakati dan menandatangani pertemuan setiap pertemuan. Bahkan sudah jelas, lahan 3550 ha adalah tanah adat, milik SAD 113,” ujarnya.

Dia juga menyayangkan sikap PT Asiatik Persada yang telah melecehkan surat teguran dari pemerintah provinsi Jambi untuk menyerahkan lahan 3550 ha ke SAD 113 kabupaten Batang Hari.

Aksi menginap di kantor Gubernur Jambi akan terus dilakukan sampai pemerintah provinsi Jambi bersama tim C mengeluarkan surat rekomendasi pencabutan HGU PT Asiatik Persada. “Bila perlu kita akan mendirikan tenda di depan pagar kantor Gubernur,” ujar pria berkulit putih ini.

Hayde Putra Negara

Sumber Artikel : berdikarionline.com