Di kampung halamannya, di Pacitan, Jawa Timur, Rabu
(16/10), Presiden SBY memuji kinerja pemerintahannya dalam menaikkan
nilai APBN dan penggunannya.
Menurut bapak pendiri Partai Demokrat ini, sejak dirinya menjabat
Presiden tahun 2004 lalu hingga sekarang, nilai APBN telah meningkat
dari Rp 400 trilun menjadi Rp 1800 triliun. Artinya, nilai APBN selama
pemerintahan SBY naik tiga kali lipat.
Selain itu, ia juga mengklaim alokasi APBN di bawah pemerintahannya
sudah tepat sasaran. Ia mengakui bahwa sebagian besar nilai APBN itu
dipakai untuk membayar utang di masa lalu. Sisanya dipakai untuk
mensubsidi rakyat, membayar gaji guru, TNI, Polri dan lainnya, dialirkan
ke daerah, dan pembangunan infrastruktur.
Memang SBY kerap memuji diri sendiri. Ia juga sering mengklaim model
pembangunan ekonominya mengalami sukses besar, kendati dimana-mana
rakyat miskin bergelimpangan karena berebut sembako, PHK massal,
pengagguran, biaya layanan kebutuhan dasar yang meroket, upah murah, dan
lain sebagainya.
Baiklah, APBN kita selama ini memang meningkat sangat pesat.
Pertanyaannya kemudian, apakah peningkatan nilai APBN tersebut membawa
dampak nyata pada peningkatan kesejahteraan rakyat banyak dan penguatan
ekonomi nasional?
Pada kenyataannya, angka kemiskinan masih tinggi. Hingga September
2013, data resmi (BPS) menyebut angka kemiskinan masih berada di angka
12%. Indeks gini, yang mengukur tingkat kesenjangan ekonomi, meningkat
pesat selama pemerintahan SBY. Publikasi Badan Pusat Statistik (2012)
menyebutkan, tingkat kesenjangan di Indonesia meningkat dari 0,32 (2004)
menjadi 0,41 (2011).
Di sisi lain, seperti diungkapkan Wakil Ketua MPR RI Hajriyanto Y
Tohari, konsentrasi penguasaan ekonomi di segelintir tangan terus
meningkat selama era pemerintahan SBY. Ia mengungkapkan, hanya 0,22
persen orang Indonesia menguasai 56 persen aset nasional.
Indonesia juga dibayangi oleh pengangguran. Dari 114 juta angkatan
kerja di Indonesia (usia 15 tahun ke atas), sebanyak 60% diantaranya
bekerja di sektor informal. Sementara data Perkumpulan Prakarsa
menyebutnya, dari 149,8 juta total tenaga kerja di Indonesia, ternyata
103,2 juta orang adalah pekerja sektor informal dan setengah
pengangguran.
Belum lagi masalah pemenuhan kebutuhan dasar rakyat seperti
pendidikan, kesehatan, perumahan, air bersih, dan lain-lain. Hingga
tahun 2011, masih ada 11,7 Juta anak Indonesia yang tidak pernah
tersentuh pendidikan dasar. Masih ada 13 juta rakyat Indonesia yang
belum punya rumah. Sebanyak 6,2 juta jiwa penduduk Indonesia tidak
memiliki akses terhadap fasilitas pelayanan kesehatan dasar. Lalu ada 48
persen penduduk Indonesia belum dapat mengakses sistem sanitasi bersih.
Dan jangan lupa, masih ada 8 juta anak Indonesia yang kurang gizi.
Dari sekilas data yang terpapar di atas, kita bisa mengambil beberapa kesimpulan:
pertama,
politik APBN gagal menyediakan layanan dasar, seperti pendidikan,
kesehatan, perumahan, dan lain-lain, yang terjangkau bagi rakyat;
kedua,
politik APBN kita tidak mencerminkan adanya redistribusi pendapatan
nasional yang adil dan merata; ketiga, politik APBN kita gagal
menciptakan memperkuat ekonomi nasional dan menciptakan lapangan kerja
yang manusiawi bagi rakyat.
Pertanyaan selanjutnya, kenapa politik APBN pemerintah itu gagal mensejahterakan rakyat?
Di sini, saya mencoba memberikan beberapa alasan sekaligus ciri politik APBN pemerintah yang tidak pro-rakyat.
Pertama,
sebagian besar pendapatan negara diperoleh dari pemungutan pajak dan
cukai. Sampai sekarang ini, porsi terbesar penerimaan APBN kita masih
dari pajak, yakni 70%. Terkait soal pajak ini, ada hal ironis di
dalamnya: di satu sisi, rakyat dibebani berbagai jenis pajak, seperti
pajak penghasilan, pajak bumi dan bangunan, pajak konsumsi (barang,
makanan, dan minuman), pajak usaha (UMK dan UMKM), hingga berbagai jenis
retribusi. Sementara di sisi lain, dengan alasan menciptan iklim
investasi yang kondusif, negara memberikan insentif berupa pengurangan
atau penghapusan pajak kepada korporasi besar, baik domestik maupun
asing. Bahkan, bukan rahasia lagi, banyak perusahaan besar yang tidak
membayar pajak. Menteri Keuangan Agus Martowardojo mengungkapkan, lebih
kurang 4000 perusahaan multinasional ditengarai tidak membayar pajak
dalam tujuh tahun terakhir. (Sumber:
Jurnas).
Kedua, sebagian besar anggaran dipakai untuk membiayai
birokrasi. Hingga sekarang ini, lebih dari 70% nilai APBN kita tiap
tahunnya habis terpakai untuk membiayai birokrasi. Tidak hanya itu,
selama pemerintahan SBY terjadi pemborosan APBN untuk membiayai nafsu
hidup mewah pejabat negara, seperti pembiayai seragam pejabat, mobil
dinas, rumah dinas, perjalanan dinas, dan lain-lain. Inilah yang ironis:
70% penerimaan APBN berasal dari kantong rakyat, tetapi belanja APBN
justru dialokasikan 70%-nya untuk menggemukkan kantong birokrasi.
Ketiga, sebagian anggaran dipakai untuk membayar cicilan utang
luar negeri dan bunganya. Setiap tahunnya APBN kita dibebani oleh
keharusan membayar utang luar negeri. Rata-rata anggaran APBN yang
dipakai membayar cicilan utang dan bunganya melebihi 20%. Pada APBN-P
2013 ini, pemerintah kembali mengajukan utang negara senilai Rp215,43
triliun. Pembayaran cicilan bunga dan pokok utang 2009-2013 mencapai Rp
780 trilun; lebih besar dari total belanja modal sebesar Rp 634 trilun.
Terkait soal utang ini, tidak betul juga kalau dikatakan bahwa
sebagian utang itu adalah warisan masa lalu. Pada tahun 2004, ketika SBY
baru mau jadi Presiden, posisi utang Indonesia tercatat sebesar Rp
1,299 triliun. Namun, pada bulan Mei 2013 lalu, utang Indonesia telah
meningkat menjadi Rp 2.036 triliun. Artinya, hanya dalam 9 tahun rezim
SBY telah menambah utang Indonesia sebesar 724,22 triliun.
Keempat, anggaran untuk kepentingan rakyat sangat kecil.
Setiap tahunnya, porsi anggaran untuk subsidi rakyat, baik energi maupun
non-energi, terus menurun. Untuk RAPBN 2014, misalnya, total anggaran
untuk subsidi rakyat hanya Rp 336,24 triliun, atau turun sekitar 3,4%
dari alokasi tahun ini. Anggaran ini hampir setara dengan nilai anggaran
untuk membayar utang luar negeri sebesar Rp 300,2 triliun.
Kelima, anggaran untuk membiayai pembangunan, termasuk
pembangunan infrastruktur, sangat kecil. Pada APBN 2013, pemerintah
hanya mengalokasikan anggaran infrastruktur sebesar Rp 188,4 triliun
atau 2,28% dari produk domestik bruto (PDB). Anggaran untuk pembangunan
infrastruktur di Indonesia masih terus dibawah 5%. Jauh lebih kecil
dibandingkan dengan India yang mencapai 7 persen PDB dan Cina hampir 10
persen dari PDB.
Dalam banyak kasus, penurunan investasi pemerintah dalam pembangunan
infrastruktur ini berbarengan dengan diundangnya pihak swasta melalui
skema
Public Private Partnership (PPP).
Keenam, mencegah atau mengatasi defisit anggaran dengan
memangkas belanja publik. Dalam banyak kasus, seperti yang sering kita
saksikan, pemerintah selalu berusaha mengatasi defisit APBN dengan jalan
memangkas belanja publik. Contoh yang paling terbaru adalah pemangkasan
subsidi energi, baik BBM maupun listrik.
Padahal, kalau mau jujur, desifit ini banyak juga disebabkan oleh
turunnya penerimaan negara. Salah satunya adalah turunnya penerimaan
pajak dari korporasi. Obral insentif pajak untuk korporasi menyebabkan
penerimaan negara berkurang. Sudah begitu, banyak korporasi besar yang
mengemplang pajak. Laporan KPK menyebutkan bahwa sekitar 60% perusahaan
tambang tak membayar pajak dan royalti kepada negara.
Dengan berbagai penjelasan di atas, kita bisa menemukan alasan
mengapa politik APBN tidak mensejahterakan rakyat. Setoran rakyat untuk
APBN sangat besar, yakni mencapai 70% dalam bentuk pajak, tetapi yang
kembali ke mereka dalam bentuk belanja publik dan belanja pembangunan
sangat kecil. Sebagian besar disedot oleh birokrasi, utang luar negeri,
dan melayani kepentingan bisnis besar.
Mahesa Danu,
Kontributor Berdikari Online