Senin, 16 Desember 2013

Gerakan Revolusi Birokrasi Depok

Banyak orang yang ingin melakukan revolusi dan mereka tidak sabar dalam melakukan perubahan. Namun orang itu lupa kalau birokrasinya tetap sama. Karena pemimpin yang berganti namun birokrasinya itu-itu juga. Kunci sukses revolusi adalah perubahan birokrasi !!! #PRDDepok

Selebaran Gerakan Revolusi Birokrasi Depok

Kisah Margonda, pejuang muda yang jadi nama jalan di Depok


Margonda
Pernah berkunjung ke Depok, Jawa Barat? Memasuki kota di pinggiran selatan Jakarta itu, sebuah jalan utama akan menyambut Anda. Jalan Margonda menjadi gerbang utama memasuki kota yang dikenal dengan buah belimbingnya.

Hampir semua aktivitas perekonomian tumplek di jalan itu. Dari kantor pusat pemerintahan, terminal bus, stasiun kereta api, rumah sakit, berbagai kampus perguruan tinggi, sekolah, kantor Polres, perumahan, hotel, berbagai pusat kuliner hingga mal-mal. Singkat kata, semua isi kota Depok ada di jalan ini.

Tapi, tahukah Anda siapa Margonda yang menjadi nama jalan tersebut?

Menelusuri sejarah Margonda berarti kembali ke masa-masa revolusi saat peralihan kekuasaan dari Belanda ke Jepang. Wenri Wanhar, penulis buku 'Gedoran Depok: Revolusi Sosial di Tepi Jakarta 1945-1955' menyebut Margonda adalah nama seorang pemuda yang belajar sebagai analis kimia dari Balai Penyelidikan Kimia Bogor. Lembaga ini dulunya bernama Analysten Cursus. Didirikan sejak permulaan perang dunia pertama oleh Indonesiche Chemische Vereniging, milik Belanda.

Memasuki paruh pertama 1940-an, Margonda mengikuti pelatihan penerbang cadangan di Luchtvaart Afdeeling, atau Departemen Penerbangan Belanda. Namun tidak berlangsung lama, karena 5 Maret 1942 Belanda menyerah kalah, dan bumi Nusantara beralih kekuasaannya ke Jepang. Margonda lantas bekerja untuk Jepang.

Saat Jepang takluk dengan bom atom Amerika di Nagasaki dan Hiroshima pada tahun 1945, Margonda ikut aktif dengan gerakan kepemudaan yang membentuk laskar-laskar. Margonda bersama tokoh-tokoh pemuda lokal di wilayah Bogor dan Depok mendirikan Angkatan Muda Republik Indonesia (AMRI) yang bermarkas di Jalan Merdeka, Bogor.

Sayangnya, umur Angkatan Muda Republik Indonesia (AMRI) di bawah pimpinan Margonda relatif singkat. Mereka pecah dan anggotanya bergabung dengan BKR, Pesindo, KRISS dan kelompok kecil sejenis lainnya.

Sementara itu, wilayah Depok sejak lama menjadi 'daerah istimewa'. Wilayah ini dikuasai oleh tuan tanah asal Belanda yang bernama Cornelis Chastelein. Dia merupakan rombongan awal orang Belanda yang datang pada masa awal kolonisasi VOC di Jawa.

Sejarah juga menyebut, Depok sudah lebih dulu merdeka sejak 28 Juni 1714. Mereka punya tatanan pemerintahan sendiri yakni Gemeente Bestuur Depok yang bercorak republik. Pimpinannya seorang presiden yang dipilih tiga tahun sekali melalui Pemilu. Chastelein mewariskan seluruh tanahnya kepada 12 marga budaknya yang berasal dari berbagai Indonesia dan memerdekakan mereka dalam wasiat yang dibuatnya sebelum meninggal.

Meski bermuka pribumi dan berkulit coklat, 12 marga dan keturunan mereka bergaya hidup seperti orang Eropa, buah didikan sang tuan. Mereka inilah yang disebut sebagai 'Belanda Depok'. Sehari-hari mereka menggunakan bahasa Belanda.

Kembali ke masa revolusi, banyaknya kelompok kecil laskar dan para pejuang berakibat petaka bagi para Belanda Depok itu. Pada 11 Oktober 1945, meletus peristiwa Gedoran Depok. Depok diserbu para pejuang kemerdekaan. Para pejuang menilai orang Depok tidak mengakui kemerdekaan Indonesia.

Depok pun dikuasai para pejuang. Kantor Gemeente Bestuur berubah fungsi menjadi markas Tentara Keamanan Rakyat (TKR) batalyon ujung tombak Jawa Barat pimpinan Ibrahim Adjie.

Sayangnya, dalam peristiwa itu, jejak sejarah Margonda tidak tercatat. Yang pasti, beberapa hari kemudian, pasukan NICA yang datang membonceng Sekutu menyerbu Depok untuk membebaskan orang Depok yang ditawan TKR. Pejuang berhasil dipukul mundur. Tawanan wanita dan anak-anak Depok dibebaskan, dibawa ke kamp pengungsian di Kedunghalang, Bogor.

Memasuki bulan November, para pejuang yang tercerai-berai kembali menjalin koordinasi dan menyusun kekuatan. Mereka berencana merebut kembali Depok dari tangan NICA. Mereka menyusun sebuah serangan yang menggunakan sandi 'Serangan Kilat'. Pasukan NICA kelabakan tapi Depok gagal direbut pejuang. Kedua pihak mengalami korban yang banyak.

Saat peristiwa itulah, keberadaan Margonda kembali muncul. Di antara ratusan pejuang yang gugur hari itu, terdapat Margonda, pimpinan AMRI. Margonda gugur 16 November 1945 di Kali Bata, Depok daerah bersungai di kawasan Pancoran Mas, Depok. Sungai yang bermuara di Kali Ciliwung itu menjadi saksi gugurnya Margonda.

Nama Margonda tercatat di Museum Perjuangan Bogor bersama ratusan pejuamg yang gugur. Semasa berjuang, Margonda berkawan dekat dengan Ibrahim Adjie dan TB Muslihat. TB Muslihat senasib dengan Margonda. Dia gugur dalam pertempuran. Pemerintah Bogor membangun patung TB Muslihat di Taman Topi, sekitar stasiun Bogor. Sementara Ibrahim Adjie, berhasil selamat. Dia berkarir menjadi tentara dengan jabatan akhir Pangdam Siliwangi.

Sejarawan UI JJ Rizal yang dikonfirmasi merdeka.com, mengaku tidak tahu alasan pemerintah Bogor menjadikan jalan utama di Kota Depok menggunakan nama Margonda. Depok dahulu adalah kota kecamatan dalam wilayah Kabupaten Bogor

"Soal pemberian nama jalan, kan semata-mata bukan urusan sejarah. Lebih kepada politik. Selama ini, banyak nama tentara yang dijadikan nama jalan meski bukan berasal dari daerah itu. Misalnya para tokoh pahlawan revolusi yang menjadi jalan di berbagai wilayah," kata Rizal.

"Seingat saya, nama Jalan Margonda sudah ada sejak 1980-an," tandasnya.

Sumber : merdeka.com

Rabu, 06 November 2013

SURAT CINTA UNTUK WARGA DEPOK : KEMBALI KE UNDANG UNDANG DASAR PROKLAMASI 1945 !!! LAKSANAKAN PASAL 33 UUD PROKLAMASI 1945 !!!






Kepada Yang Kami Cintai
Warga Depok
Dimanapun saat ini sedang berada dan beraktifitas

Assalamualaikum Wr. Wb.

Salam Gotong Royong

Pertama-tama, dalam rangka persiapan Deklarasi Gerakan Nasional Pasal 33 UUD ’45 dan munculnya secara resmi Partai Rakyat Demokratik (PRD) di Kota Depok, maka kami dari Komite Pimpinan Kota Partai Rakyat Demokratik (KPK-PRD) Kota Depok mengirimkan Surat Cinta untuk seluruh Warga Depok. Surat Cinta ini, (Pertama) adalah ajakan untuk kembali ke UUD 1945 setelah sebelumnya telah 4 (empat) kali di amandemen. (Kedua) Ajakan untuk berjuang mewujudkan Terlaksanannya Pasal 33 UUD 1945.

Pada tanggal 22 Juli 2011, Partai Rakyat Demokratik (PRD) memulai sebuah gerakan nasional yang diberi nama “Gerakan Pasal 33”. Ada ide besar dan sangat mulia dibalik gerakan itu: ingin mengembalikan tata-perekonomian Indonesia disusun sebagai usaha bersama berdasar azas kekeluargaan, dimana cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara, serta bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Ide besar itu sebetulnya berangkat gagasan-gagasan awal para ‘pendiri bangsa’ saat memperjuangkan dan mendirikan negara ini. Itu sangat nampak dengan jelas dalam semangat konstitusi kita: UUD 1945. Dalam pembukaan UUD 1945 dituliskan dengan sangat tegas bahwa tujuan nasional kita: melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.

Guna mewujudkan cita-cita mulia itu, para pendiri bangsa kita mengkonkretkannya dalam sejumlah pasal dalam UUD 1945. Salah satunya adalah pasal 33 UUD 1945. Pasal ini secara jelas dan tegas mengatur soal fondasi perekonomian nasional Indonesia yang cocok untuk mewujudkan kemakmuran rakyat.

Akan tetapi, para penyelenggara, terutama sejak orde baru hingga sekarang, tidak mengamalkan dan menjalankan dengan benar semangat pasal 33 UUD 1945 itu. Tetapi, sebaliknya, para penyelenggara negara itu mengadopsi faham perekonomian dari luar yang bukan saja tidak cocok dengan cita-cita para pendiri bangsa, tetapi juga membiarkan perekonomian kita kembali mengalami ‘keterjajahan’.

Ada satu hal yang sangat patut untuk dicatat: semangat para kolonialisator baru untuk mencaplok kembali Indonesia, setidaknya sejak bergulirnya reformasi 1998, berjalan beriringan dengan semangat menggebu-gebu segelintir elit penghianat untuk mengamandemen UUD 1945, khususnya pasal 33. Artinya: mereka sadar betul bahwa UUD 1945, khususnya semangat pasal 33-nya, merupakan palang pintu yang menghalangi tujuan-tujuan kolonialisme dan imperialisme di Indonesia. Oleh karena itu, mereka pun bekerja keras—melalui tangan para ekonom liberal dan politisi sok reformis di dalam negeri—membongkar konstitusi kita dan mengamputasi pasal 33 UUD 1945 itu.

Kita bisa melihat sekarang dampaknya: perekonomian kita dijalankan dengan semangat liberalisme ekonomi. Hal itu menyebabkan sebagian besar perekonomian kita dikuasai oleh pihak asing. Itulah yang disebut sebagai penjajahan baru, neo-colonialism, atau dalam pengertian sejarah kita, suatu “VOC (Verenigte Oostindische Companie) dengan baju baru”—istilah BJ Habibie saat pidato 1 Juni 2011 lalu.

Berikut sedikit gambaran kecil mengenai keterjajahan itu:
  1. Indonesia masih menjadi sumber atau penyedia bahan baku bagi negeri-negeri kapitalis maju (imperialis). Jika dilihat dari berbagai jenis komoditi ekspor kita, maka hampir semuanya adalah bahan mentah, seperti batubara (70%), minyak (50%), gas (60%), bauksit, minyak kelapa sawit, dan karet.
  2. Indonesia masih menjadi tempat penanaman modal asing. Hampir 70% modal yang menggali untung di Indonesia adalah modal asing. Akibatnya, modal asing pun mendominasi sejumlah sektor strategis: Minyak dan gas (80-90%), perbankan (50.6%), telekomunikasi (70%), kebun sawit (50%), pelayaran barang (94%), pendidikan (49%), dan lain-lain.
  3. Indonesia masih menjadi tempat pemasaran barang-barang hasil produksi negara maju: sebanyak 92% produk teknologi yang dipakai rakyat Indonesia adalah buatan asing, 80% pasar farmasi dikuasai asing dan 80% pasar tekstil dikuasai produk asing. Selain itu, hampir semua bahan kebutuhan hidup rakyat dipenuhi melalui impor: Indonesia sekarang sudah masuk negara pengimpor beras terbesar; mengimpor 40 persen gula dari kebutuhan nasional; impor sekitar 25 persen konsumsi nasional daging sapi; mengimpor satu juta ton garam yang merupakan 50 persen dari kebutuhan nasional; dan impor 70 persen kebutuhan susu.
  4. Indonesia menjadi penyedia tenaga kerja murah, baik untuk keperluan pasar tenaga kerja di dalam negeri maupun pasar tenaga kerja internasional. Gaji buruh di Indonesia disebut-sebut salah satu yang paling rendah di Asia. Sebagai contoh: upah buruh Indonesia lebih rendah tiga hingga empat kali lipat dibandingkan Malaysia. Ini diperparah lagi dengan pemberlakuan sistim kerja kontrak dan outsourcing.
Empat hal diatas pernah dituliskan oleh Bung Karno, 80 tahun yang lalu, dalam pidato Indonesia Menggugat, sebagai ciri-ciri dari kolonialisme dan imperialisme. Dan, karena itu, maka jelas sudah bahwa kita sedang berada dalam situasi penjajahan (kolonialisme baru).

Menurut PRD, dengan mengobarkan kembali semangat pasal 33 UUD 1945, maka sebetulnya bermaksud mengobarkan pula perjuangan nasional untuk melawan kolonialisme baru tersebut. Karena—tidak bisa dipungkiri—memang semangat pasal 33 UUD 1945 sangat anti terhadap kolonialisme dan imperialisme. Dengan menjalankan pasal 33 UUD 1945, maka tujuan akhirnya haruslah pada kemakmuran rakyat.

Dalam penjelasan pasal 33 UUD 1945 dituliskan dengan sangat jelas prinsip perekonomian Indonesia:
“Perekonomian berdasar atas demokrasi ekonomi, kemakmuran bagi semua orang. Sebab itu cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak harus dikuasai oleh negara. Kalau tidak, tampuk produksi jatuh ke tangan orang-seorang yang berkuasa dan rakyat yang banyak ditindasinya. Hanya perusahaan yang tidak menguasai hajat hidup orang banyak boleh di tangan orang-seorang”.

Dari titik inilah, maka warga Depok perlu menyambut baik semangat “Gerakan Pasal 33 ini”. untuk memperpanjang dan memperkuat barisan melawan penjajahan asing secara ekonomi di Indonesia.

Tidak ada kemakmuran dan kesejahteraan Rakyat Indonesia selama sektor pertambangan yang vital mayoritas di kuasai Asing !!!



Tidak ada kemakmuran dan kesejahteraan Rakyat Indonesia selama perekonomian kita di kuasai asing !!!



Nasionalisasi perusahaan-perusahaan tambang !!!


Kembangkan produksi Dalam Negeri !!!



Belanjakan Uang anda untuk membeli produk-produk dalam negeri !!!



Utamakan pemakaian produk-produk dalam negeri !!!



Kembangkan sistem ekonomi yang berasas usaha bersama dan kekeluargaan !!!



Ayo Berjuang Kembalikan UUD Proklamasi 1945 !!!



Laksanakan Pasal 33 UUD ’45 !!!




Depok, 6 November 2013

Wassalamualaikum Wr. Wb.
Salam Gotong Royong

Komite Pimpinan Kota - Partai Rakyat Demokratik (KPK-PRD)
Kota Depok


Diddy Kurniawan

Ketua

HP. 0856 7966 727
Blog : http://prddepok.blogspot.com/

Senin, 21 Oktober 2013

PERNYATAAN SIKAP PRD KOTA DEPOK : DUKUNGAN TERHADAP PERJUANGAN BURUH DEPOK MENUNTUT KENAIKAN UMK DEPOK DARI 2,042 JUTA MENJADI Rp. 3,4 JUTA






Hari ini, Senin (21/10/2013), sekitar 300-an buruh dari berbagai organisasi buruh  di Kota Depok berkonvoi dengan motor dan mobil ke Jakarta. Bersama massa yang lain dari berbagai organisasi buruh seputar  Jabotabek , mereka menuntut kenaikan upah minimun sebesar 50 persen dari Upah Minimum Kota (UMK) Depok sekarang sebesar Rp 2,042 juta dinaikkan menjadi Rp 3,4 juta.

PRD Kota Depok mendukung penuh perjuangan kawan-kawan buruh Depok untuk meminta kenaikan UMK tersebut karena UMK yang sekarang ini memang sudah tidak sesuai dengan kebutuhan hidup minimum kawan-kawan buruh.

Kenaikan harga-harga kebutuhan sehari-hari sudah tidak sebanding dengan upah buruh. Sehingga kaum buruh di depok semakin suram masa depannya. Jangankan berfikir untuk mempunyai rumah, untuk kebutuhan sehari-hari pun harus tutup lubang gali lubang. Pendidikan anak-anak kawan-kawan buruh juga terancam.

Di tambah lagi sejumlah kebijakan Pemerintah Kota Depok yang juga di rasakan akan makin memepersulit buruh untuk mendapatkan kehidupan yang layak, antara lain masalah Perda RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah) yang mensyaratkan developer untuk membangun minimum luas rumah 120 meter persegi yang sangat jelas kebijakan ini akan semakin membuat kawan-kawan buruh tidak mempunyai kemampuan untuk memperoleh rumah yang terjangkau dengan penghasilan mereka.

Selain itu sikap Pemerintah Kota Depok terhadap para pengusaha juga di rasakan terlalu lembek dalam menyikapi persoalan-persoalan perburuhan di Kota Depok.

Demikian pernyataan sikap PRD Kota Depok menanggapi perjuangan kawan-kawan Buruh Depok menuntut kenaikan UMK Depok.



SALAM GOTONG ROYONG !!!
NAIKKAN UMK DEPOK SEKARANG JUGA !!!
LAKSANAKAN PASAL 33 UUD 1945 !!!
BURUH BERSATU TAK BISA DI KALAHKAN !!!

Depok, 21 Oktober 2013

Komite Pimpinan Kota - Partai Rakyat Demokratik (KPK-PRD)
Kota Depok




Diddy Kurniawan
Ketua


HP. 0856 7966 727
Blog : http://prddepok.blogspot.com/

Ciri Politik APBN Yang Tidak Pro-Rakyat




Di kampung halamannya, di Pacitan, Jawa Timur,  Rabu (16/10), Presiden SBY memuji kinerja pemerintahannya dalam menaikkan nilai APBN dan penggunannya.

Menurut bapak pendiri Partai Demokrat ini, sejak dirinya menjabat Presiden tahun 2004 lalu hingga sekarang, nilai APBN telah meningkat dari Rp 400 trilun menjadi Rp 1800 triliun. Artinya, nilai APBN selama pemerintahan SBY naik tiga kali lipat.

Selain itu, ia juga mengklaim alokasi APBN di bawah pemerintahannya sudah tepat sasaran. Ia mengakui bahwa sebagian besar nilai APBN itu dipakai untuk membayar utang di masa lalu. Sisanya dipakai untuk mensubsidi rakyat, membayar gaji guru, TNI, Polri dan lainnya, dialirkan ke daerah, dan pembangunan infrastruktur.

Memang SBY kerap memuji diri sendiri. Ia juga sering mengklaim model pembangunan ekonominya mengalami sukses besar, kendati dimana-mana rakyat miskin bergelimpangan karena berebut sembako, PHK massal, pengagguran, biaya layanan kebutuhan dasar yang meroket, upah murah, dan lain sebagainya.
Baiklah, APBN kita selama ini memang meningkat sangat pesat. Pertanyaannya kemudian, apakah peningkatan nilai APBN tersebut membawa dampak nyata pada peningkatan kesejahteraan rakyat banyak dan penguatan ekonomi nasional?

Pada kenyataannya, angka kemiskinan masih tinggi. Hingga September 2013, data resmi (BPS) menyebut angka kemiskinan masih berada di angka 12%. Indeks gini, yang mengukur tingkat kesenjangan ekonomi, meningkat pesat selama pemerintahan SBY. Publikasi Badan Pusat Statistik (2012) menyebutkan, tingkat kesenjangan di Indonesia meningkat dari 0,32 (2004) menjadi 0,41 (2011).

Di sisi lain, seperti diungkapkan Wakil Ketua MPR RI Hajriyanto Y Tohari, konsentrasi penguasaan ekonomi di segelintir tangan terus meningkat selama era pemerintahan SBY. Ia mengungkapkan, hanya 0,22 persen orang Indonesia menguasai 56 persen aset nasional.

Indonesia juga dibayangi oleh pengangguran. Dari 114 juta angkatan kerja di Indonesia (usia 15 tahun ke atas), sebanyak 60% diantaranya bekerja di sektor informal. Sementara data Perkumpulan Prakarsa menyebutnya, dari 149,8 juta total tenaga kerja di Indonesia,  ternyata 103,2 juta orang adalah pekerja sektor informal dan setengah pengangguran.

Belum lagi masalah pemenuhan kebutuhan dasar rakyat seperti pendidikan, kesehatan, perumahan, air bersih, dan lain-lain. Hingga tahun 2011, masih ada 11,7 Juta anak Indonesia yang tidak pernah tersentuh pendidikan dasar. Masih ada 13 juta rakyat Indonesia yang belum punya rumah. Sebanyak 6,2 juta jiwa penduduk Indonesia tidak memiliki akses terhadap fasilitas pelayanan kesehatan dasar. Lalu ada 48 persen penduduk Indonesia belum dapat mengakses sistem sanitasi bersih. Dan jangan lupa, masih ada 8 juta anak Indonesia yang kurang gizi.

Dari sekilas data yang terpapar di atas, kita bisa mengambil beberapa kesimpulan: pertama, politik APBN gagal menyediakan layanan dasar, seperti pendidikan, kesehatan, perumahan, dan lain-lain, yang terjangkau bagi rakyat; kedua, politik APBN kita tidak mencerminkan adanya redistribusi pendapatan nasional yang adil dan merata; ketiga, politik APBN kita gagal menciptakan memperkuat ekonomi nasional dan menciptakan lapangan kerja yang manusiawi bagi rakyat.

Pertanyaan selanjutnya, kenapa politik APBN pemerintah itu gagal mensejahterakan rakyat?

Di sini, saya mencoba memberikan beberapa alasan sekaligus ciri politik APBN pemerintah yang tidak pro-rakyat. Pertama, sebagian besar pendapatan negara diperoleh dari pemungutan pajak dan cukai. Sampai sekarang ini, porsi terbesar penerimaan APBN kita masih dari pajak, yakni 70%. Terkait soal pajak ini, ada hal ironis di dalamnya: di satu sisi, rakyat dibebani berbagai jenis pajak, seperti pajak penghasilan, pajak bumi dan bangunan, pajak konsumsi (barang, makanan, dan minuman), pajak usaha (UMK dan UMKM), hingga berbagai jenis retribusi. Sementara di sisi lain, dengan alasan menciptan iklim investasi yang kondusif, negara memberikan insentif berupa pengurangan atau penghapusan pajak kepada korporasi besar, baik domestik maupun asing. Bahkan, bukan rahasia lagi, banyak perusahaan besar yang tidak membayar pajak. Menteri Keuangan Agus Martowardojo mengungkapkan, lebih kurang 4000 perusahaan multinasional ditengarai tidak membayar pajak dalam tujuh tahun terakhir. (Sumber: Jurnas).

Kedua, sebagian besar anggaran dipakai untuk membiayai birokrasi. Hingga sekarang ini, lebih dari 70% nilai APBN kita tiap tahunnya habis terpakai untuk membiayai birokrasi. Tidak hanya itu, selama pemerintahan SBY terjadi pemborosan APBN untuk membiayai nafsu hidup mewah pejabat negara, seperti pembiayai seragam pejabat, mobil dinas, rumah dinas, perjalanan dinas, dan lain-lain. Inilah yang ironis: 70% penerimaan APBN berasal dari kantong rakyat, tetapi belanja APBN justru dialokasikan 70%-nya untuk menggemukkan kantong birokrasi.

Ketiga, sebagian anggaran dipakai untuk membayar cicilan utang luar negeri dan bunganya. Setiap tahunnya APBN kita dibebani oleh keharusan membayar utang luar negeri. Rata-rata anggaran APBN yang dipakai membayar cicilan utang dan bunganya melebihi 20%. Pada APBN-P 2013 ini, pemerintah kembali mengajukan utang negara senilai Rp215,43 triliun.  Pembayaran cicilan bunga dan pokok utang 2009-2013 mencapai Rp 780 trilun; lebih besar dari total belanja modal sebesar Rp 634 trilun.
Terkait soal utang ini, tidak betul juga kalau dikatakan bahwa sebagian utang itu adalah warisan masa lalu. Pada tahun 2004, ketika SBY baru mau jadi Presiden, posisi utang Indonesia tercatat sebesar Rp 1,299 triliun. Namun, pada bulan Mei 2013 lalu, utang Indonesia telah meningkat menjadi Rp 2.036 triliun. Artinya, hanya dalam 9 tahun rezim SBY telah menambah utang Indonesia sebesar 724,22 triliun.

Keempat, anggaran untuk kepentingan rakyat sangat kecil. Setiap tahunnya, porsi anggaran untuk subsidi rakyat, baik energi maupun non-energi, terus menurun. Untuk RAPBN 2014, misalnya, total anggaran untuk subsidi rakyat hanya Rp 336,24 triliun, atau turun sekitar 3,4% dari alokasi tahun ini. Anggaran ini hampir setara dengan nilai anggaran untuk membayar utang luar negeri sebesar Rp 300,2 triliun.

Kelima, anggaran untuk membiayai pembangunan, termasuk pembangunan infrastruktur, sangat kecil. Pada APBN 2013, pemerintah hanya mengalokasikan anggaran infrastruktur sebesar Rp 188,4 triliun atau 2,28% dari produk domestik bruto (PDB). Anggaran untuk pembangunan infrastruktur di Indonesia masih terus dibawah 5%. Jauh lebih kecil dibandingkan dengan India yang mencapai 7 persen PDB dan Cina hampir 10 persen dari PDB.
Dalam banyak kasus, penurunan investasi pemerintah dalam pembangunan infrastruktur ini berbarengan dengan diundangnya pihak swasta melalui skema Public Private Partnership (PPP).

Keenam, mencegah atau mengatasi defisit anggaran dengan memangkas belanja publik. Dalam banyak kasus, seperti yang sering kita saksikan, pemerintah selalu berusaha mengatasi defisit APBN dengan jalan memangkas belanja publik. Contoh yang paling terbaru adalah pemangkasan subsidi energi, baik BBM maupun listrik.

Padahal, kalau mau jujur, desifit ini banyak juga disebabkan oleh turunnya penerimaan negara. Salah satunya adalah turunnya penerimaan pajak dari korporasi. Obral insentif pajak untuk korporasi menyebabkan penerimaan negara berkurang. Sudah begitu, banyak korporasi besar yang mengemplang pajak. Laporan KPK menyebutkan bahwa sekitar 60% perusahaan tambang tak membayar pajak dan royalti kepada negara.

Dengan berbagai penjelasan di atas, kita bisa menemukan alasan mengapa politik APBN tidak mensejahterakan rakyat. Setoran rakyat untuk APBN sangat besar, yakni mencapai 70% dalam bentuk pajak, tetapi yang kembali ke mereka dalam bentuk belanja publik dan belanja pembangunan sangat kecil. Sebagian besar disedot oleh birokrasi, utang luar negeri, dan melayani kepentingan bisnis besar.

Mahesa Danu, Kontributor Berdikari Online

Senin, 07 Oktober 2013

30 Fakta Kejahatan IMF dan Bank Dunia


Di tahun 2014 mendatang, Bank Dunia dan IMF akan berusia 70 tahun. Namun, sejak kehadirannya hingga sekarang, Bank Dunia dan IMF justru membawa banyak kerugian bagi negara-negara berkembang.

Seperti diakui sendiri oleh ekonom peraih nobel, Joseph E. Stiglitz, bahwa negara-negara kapitalis maju, dengan bantuan IMF, Bank Dunia, dan WTO, tidak hanya tidak membantu apa yang diperlukan oleh negara berkembang, tetapi kadang-kadang malah membuat mereka tambah sulit.
Berikut ini 30 fakta tentang IMF dan Bank Dunia:
  1. Sejak pendiriannya di tahun 1944, Bank Dunia dan IMF aktif mendukung semua rezim diktator dan korup yang menjadi sekutu imperialisme Amerika Serikat (AS).
  2. Dalam pelanggaran keji hak rakyat guna mengontrol hidup mereka, mereka (Bank Dunia dan IMF) menginjak-injak kedaulatan negara lain yang tak terhitung jumlahnya, terutama melalui pengondisian/pengajuan syarat yang mereka paksakan ke negara-negara itu. Pengajuan syarat ini memiskinkan rakyat, meningkatkan ketidaksetaraan, menyerahkan negara tersebut ke tangan perusahaan multinasional, dan mengubah UU negara tersebut (biasanya mereformasi UU perburuhan, pertambangan, dan kehutanan) untuk melayani kreditor dan investor asing.
  3. Meskipun sudah mengetahui adanya penyelewengan yang begitu massif, Bank Dunia dan IMF tetap mempertahankan atau malah menambah pinjaman utang kepada rezim diktator dan korup yang bersekutu dengan barat. (Lihat kasus lama di Zaire-Kongo di bawah rezim Marsekal Mobutu; Lihat pula laporan Erwin Blumenthal tahun 1982).
  4. Melalui dukungan finansialnya, Bank Dunia dan IMF memberi bantuan kepada diktator Habyarimana di Rwanda hingga 1992, yang memungkinkan peningkatan lima kali lipat pasukan militer rezim diktator tersebut. Reformasi ekonomi yang mereka paksakan di tahun 1990 telah mengacaukan negeri itu, dan menambah parah kontradiksi yang laten. Genosida yang telah dipersiapkan sejak akhir tahun 1980-an oleh diktator Habyarimana akhirnya mulai dilakukan 6 April 1994, yang menyebabkan kematian hampir 1 juta suku Tutsi (dan moderat Hutu). Selanjutnya, Bank Dunia dan IMF menuntut kepada pemerintah baru di Rwanda untuk membayar utang yang diteken di era diktator Habyarimana itu.
  5. Mereka juga mendukung rezim-rezim diktator di kubu lain (Rumani dari 1973 hingga 1982; China dari tahun 1980-an) untuk melemahkan Soviet sebelum keruntuhannya di tahun 1991.
  6. Bank Dunia dan IMF juga mendukung diktator paling buruk hingga mereka terguling: Soeharto di Indonesia dari tahun 1965 hingga 1998; Marcos di Philipina antara 1972-1986; Ben Ali di Tunisia dan Mubarak di Mesir hingga mereka terguling di tahun 2011.
  7. Mereka juga secara aktif mensabotase eksprimen progressif di sejumlah rezim demokratis (dari Jacobo Arbenz di Guatemala dan Mohammad Mossadegh di Iran pada paruh pertama 1950-an, lalu Joao Goulart di Brazil pada awal 1960-an hingga Sandinista di Nikaragua pada tahun 1980-an dan tentu saja termasuk Salvador Allende di Chili dari 1970 hingga 1973. Dan tentu masih banyak yang lain).
  8. Rakyat yang menjadi korban dari rezim tirani yang dibiayai oleh Bank Dunia dan IMF dipaksa oleh lembaga ini untuk membayar utang-utang najis yang diteken semasa rezim otoriter dan korup ini.
  9. Bank Dunia dan IMF telah memaksa negara-negara yang baru merdeka di akhir 1950-an dan awal 1960-an untuk membayar utang najis yang dulu dipinjam oleh negara yang menjajah mereka. Misalnya, Kongo dipaksa membayar utang kolonial yang dulu dipinjam oleh kolonialis Belgia dari Bank Dunia untuk mendanai kolonialisasinya di Kongo di tahun 1950-an. Padahal, pengalihan utang kolonial semacam ini dilarang oleh hukum Internasional. Dalam kasus Indonesia, Bank Dunia memberi pinjaman sebesar 195 juta dollar kepada Belanda, yang dipakainya untuk mendanai agresi militernya di Indonesia tahun 1947. Ironisnya, utang ini harus dibayar oleh Indonesia yang baru merdeka melalui perjanjian Konferensi Meja Bundar (KMB).
  10. Di tahun 1960-an, Bank Dunia dan IMF memberi dukungan finansial kepada rezim apartheid di Afrika selatan dan Portugal–yang berusaha memelihara koloninya di Afrika dan Pasifik. Padahal, dua negara sedang dikenakan boikot finansial oleh PBB. Bank Dunia juga mendukung negara yang melakukan pencaplokan militer ke wilayah lain, seperti dukungan terhadap Indonesia saat menganeksasi Timor Leste di tahun 1975.
  11. Dalam bidang lingkungan, Bank Dunia terus mendorong kebijakan produktivitas yang merupakan bencana bagi rakyat dan merusak alam. Mereka juga berhasil mendapatkan peran untuk mengelola pasar perdagangan emisi.
  12. Bank Dunia juga mendanai proyek yang terang-terangan melanggar hak azasi manusia. Sebagai contoh, beberapa komponen proyek transmigrasi di Indonesia, yang langsung didukung Bank Dunia, dapat dianggap kejahatan terhadap kemanusiaan (pengrusakan lingkungan alam tempat bernaung masyarakat adat dan pemaksaan pemindahan penduduk). Baru-baru ini, Bank Dunia mendanai, secara keseluruhan, sebuah program yang dinamai “Voluntary Departure” di Republik Demokratik Kongo, sebuah program pesangon yang melanggar hak-hak 10.655 karyawan Gécamines, sebuah perusahaan tambang umum di wilayah Katanga, Kongo. Sampai sekarang para pekerja ini belum dibayar upahnya dan kompensasi yang diwajibkan oleh UU Kongo.
  13. Bank Dunia dan IMF berkontribusi atas munculnya faktor-faktor yang menyebabkan krisis utang di tahun 1982: 1) Bank Dunia dan IMF memaksa negara-negara penerima utang ke arah utang berlebihan; 2) Mereka menyetir, bahkan memaksa, negara-negara tersebut untuk menghapus kontrol terhadap pergerakan kapital dan pertukaran; 3) mereka menyetir negara-negara itu untuk meninggalkan kebijakan industrialisasi subtitusi impor dan menggantinya dengan model ekonomi yang berorientasi ekspor.
  14. Mereka menyembunyikan bahaya krisis kelebihan hutang, krisis pembayaran, dan daftar negatif transfer, yang sebetulnya mereka sudah deteksi sendiri sebelumnya.
  15. Dari sejak permulaan krisis hutang di tahun 1982, Bank Dunia dan IMF secara sistematis mendukung negara-negara peminjam (kreditur) dan melemahkan negara-negara penerima utang (debitur).
  16. Bank Dunia dan IMF merekomendasikan, bahkan memaksakan, kebijakan yang menempatkan beban utang kepada rakyat, sementara yang paling kuat diuntungkan.
  17. Bank Dunia dan IMF berusaha menyebarkan model kebijakan ekonomi (neoliberalisme) yang secara sistematis meningkatkan kesenjangan baik antar negara maupun di dalam negara bersangkutan.
  18. Di tahun 1990-an, Bank Dunia dan IMF, dengan keterlibatan kepala pemerintahan, memperluas kebijakan penyesuaian struktural (SAP) untuk sebagian besar negara-negara Amerika Latin, Afrika, Asia, dan Eropa Tengah dan Timur (termasuk Rusia).
  19. Di negara-negara tersebut di atas, privatisasi telah merugikan kepentingan umum dan menyebabkan transfer kekayaan besar-besaran ke tangan segelintir oligarki.
  20. Bank Dunia dan IMF telah memperkuat perusahaan swasta besar dan melemahkan otoritas publik dan bisnis kecil. Mereka telah memperburuk eksploitasi terhadap pekerja dan membuat pekerjaan mereka lebih berbahaya. Mereka telah melakukan hal yang sama terhadap usaha kecil.
  21. Mereka secara sepihak mendeklasikan perang terhadap kemiskinan tetapi gagal menyembunyikan kebijakan nyata yang mereproduksi dan memperburuk penyebab utama kemiskinan.
  22. Liberalisasi arus kapital, yang mereka secara sistematis paksakan, telah mendorong peningkatan kasus penghindaran pajak, pelarian dana dan korupsi.
  23. Liberalisasi perdagangan telah memperkuat yang kuat dan melemahkan yang lemah. Mayoritas usaha kecil dan menengah di negara berkembang tidak sanggup bertahan dalam kompetisi dengan perusahaan-perusahaan raksasa, baik dari utara maupun selatan.
  24. Bank Dunia dan IMF, yang bertindak bersama WTO, Komisi Eropa, dan pemerintahan yang bersedia untuk memaksakan sebuah agenda yang bertentangan secara radikal dengan pemastian hak dasar manusia.
  25. Sejak krisis hari ini yang menghantam Uni Eropa, IMF berada di garda depan untuk memaksa rakyat Yunani, Portugal, Irlandia, Siprus, dan negara-negara lain, dengan kebijakan yang sama yang pernah diterapkan terhadap rakyat di negara berkembang, Eropa tengah, dan Timur pada tahun 1990-an.
  26. Bank Dunia dan IMF, yang telah berkhotbah tentang good governance dalam satu laporan ke yang lain, yang pada kenyataannya mereka sendiri terlibat dalam perilaku meragukan.
  27. Kedua lembaga ini, kendati anggotanya kebanyakan adalah negara-negara yang termarjinalkan, lebih memilih segelintir pemerintahan di negara-negara kaya.
  28. Singkatnya, Bank Dunia dan IMF adalah mesin despotik di tangan sebuah oligarki internasional (segelintir kekuatan dominan dan perusahaan multinasional mereka) untuk menegakkan sistem kapitalisme global yang merugikan umat manusia dan lingkungan.
  29. Tindakan dan kebijakan merusak dari Bank Dunia dan IMF harus segera diakhiri. Utang dari lembaga ini sedang coba dikumpulukan dan dihapuskan dan mereka (Bank Dunia dan IMF) harus dibawa ke pengadilan.
  30. Sebuah sistem keuangan internasional yang baru dan demokratis harus segera diciptakan untuk mempromosikan distribusi kekayaan dan mendukung upaya rakyat dalam pembangunan yang berkeadilan sosial dan menghargai lingkungan.
Catatan: semua fakta-fakta ini diambil dari artikel Eric Toussaint, seorang doktor ilmu politik dan Presiden dari CADTM (Komite untuk Penghapusan Utang Dunia Ketiga) Belgia.

Sumber Artikel : berdikarionline.com