Tak dapat kita mengambil manfaat 100% dari kekayaan bumi
dan air kita sendiri, kalau imperialisme ekonomi dan imperialisme
politik masih bercokol di tubuh kita, laksana lintah yang menghisap
darah.. (Soekarno, September 1961)
[1] Pengantar
Di tahun 1945, ketika kemerdekaan negeri ini diproklamirkan,
cita-cita yang terukir di benak setiap orang Indonesia kala itu adalah:
masyarakat adil dan makmur.
Namun, sudah 68 tahun bangsa ini mengarungi samudera kemerdekan,
pelabuhan “masyarakat adil dan makmur” belum juga tampak. Malahan,
cakrawala masa depan berbangsa dan bernegara kita makin suram dan gelap.
Kita tidak bisa memungkiri, bahwa persoalan terbesar rakyat kita
sekarang ini adalah kemiskinan, pengangguran, dan ketimpangan ekonomi
yang kian melebar. Hingga sekarang, separuh rakyat kita hidup dengan
pendapatan di bawah 2 USD per hari [setara dengan nilai subsidi yang
dinikmati tiap ekor sapi di Eropa]. Kemudian, seperti diungkapkan BPS,
sebanyak 60% tenaga kerja kita masih menumpuk di sektor informal.
Ketimpangan ekonomi juga kian mengkhawatirkan. Rasio gini, yang
mengukur tingkat kesenjangan pendapat rakyat, terus menanjak: dari 0,32
(2004) menjadi 0,41 (2013). Aset dan kekayaan makin terkonsentrasi di
tangan segelintir orang. Pada tahun 2012, hanya 40 orang terkaya di
Indonesia menguasai Rp 850 triliun atau setara dengan 10% PDB kita.
Kemudian, hanya 0,2% orang Indonesia menguasai 56% aset di tanah air,
terutama tanah.
Kenyataan di bawah, yakni kehidupan rakyat banyak, lebih parah lagi.
Sejak kebijakan ekonomi neoliberal diterapkan oleh rezim berkuasa,
banyak rakyat Indonesia yang kesulitan mengakses kebutuhan dasar untuk
hidupnya, seperti pangan, air bersih, kesehatan, pendidikan, perumahan,
dan lain-lain.
Nah, sebentar lagi, bangsa ini akan melaksanakan Pemilihan Umum
(Pemilu), yakni Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden. Pemilu Legislatif
akan diselenggarakan tanggal 9 April mendatang. Sedangkan Pemilu
Presiden akan diselenggarakan pada tanggal 9 Juli mendatang.
Bagi Partai Rakyat Demokratik (PRD), penyelenggaraan pemilu 2014 akan
kehilangan esensinya jika tidak membicarakan penyelesaian
persoalan-persoalan rakyat di atas. Dengan kata lain, pemilu hanya akan
menjadi ‘pesta demokrasi-nya kaum oligarki’ jikalau tidak bisa
melahirkan kepemimpinan politik yang bisa menyelesaikan persoalan
rakyat.
[2] Situasi Umum
Memang, supaya kita bisa menjawab persoalan, kita harus tahu lebih
dulu pangkal masalahnya. Dalam konteks ini, menyelesaikan persoalan
kemiskinan, pengangguran, dan ketimpangan tidak akan mungkin tanpa
mengerti akar masalahnya.
PRD memandang bahwa persoalan kemiskinan, pengangguran, dan ketimpangan ekonomi terkait erat dengan
penguasaan aset/sumber daya, sarana produksi, dan proses distribusi keuntungan/kemakmuran.
Artinya, jika aset/sumber daya, sarana produksi, dan distribusi
kekayaan dikendalikan oleh segelintir tangan yang dibiarkan bebas, maka
kekayaan hanya akan menumpuk di segelintir tangan itu. Karenanya, untuk
mencegah penumpukan kekayaan di segelintir tangan, para pendiri bangsa
sudah mengamanatkan sistem ekonomi demokratis sebagaimana diatur dalam
Pasal 33 UUD 1945.
Sebagian besar sumber daya kita, terutama kekayaan alam, dikuasai
oleh segelintir korporasi asing. Ini mencakup penguasaan asing di sektor
migas, mineral, batubara, kehutanan, perkebunan, pertanian, perbankan,
telekomunikasi, dan lain-lain.
Berikut sedikit gambarannya:
Hingga sekarang ini, sekitar 75-85% produksi migas kita
dikuasai oleh perusahaan asing. Data Kementerian ESDM pada tahun 2009
menyebutkan, Pertamina hanya menguasai 13,8% produksi minyak nasional,
sedangkan sisanya dikuasai oleh Chevron (41%), Total E&P Indonesie
(10%), Chonoco-Philips (3,6%) dan CNOOC (4,6%). Sementara hampir 90%
produksi gas Indonesia hanya dikangkangi oleh 6 perusahaan asing, yakni
Chevron, Total, ConocoPhilips, British Petroleum, dan ExxonMobil.
|
I
|
Di sektor mineral dan batubara juga demikian. Produksi
tembaga dan emas kita hanya dikuasai dua perusahaan asing, yakni
Freeport dan Newmont. Selain itu, korporasi asing juga menguasai sekitar
75% produksi timah, bauksit, dan nikel. Sementara sekitar 70% produksi
batubara kita berada di tampuk asing.
|
II
|
Penguasaan asing juga merembes ke sektor-sektor strategis,
seperti perbankan (60%), telekomunikasi (70%), dan layanan air minum
(80%), dan lain-lain. Kedepan, dominasi asing di berbagai sektor
strategis akan meluas seiring dengan pembukaan sektor usaha untuk
investor asing, seperti pelabuhan, operator bandara, farmasi,
telekomunikasi, kelistrikan dan lain-lain.
|
III
|
Sektor perkebunan dan kehutanan juga mulai dikangkangi oleh
gurita modal asing. Sebagai contoh, dari sekitar 9 juta hektar
perkebunan sawit di Indonesia, sebanyak 40% diantaranya berbendera
perusahaan asing. Di sektor kehutanan, dari 531 izin hak pengusahaan
hutan (HPH) dan hutan tanaman industri (HTI), dengan luas area konsesi
mencapai 35,8 juta hektar, itu hanya dikuasai oleh puluhan konglomerat
(asing dan domestik).
|
IV
|
Ada sejumlah masalah yang patut diperhatikan terkait dominasi korporasi asingini:
Pertama, ekspansi modal asing telah memicu pencaplokan atau
penjarahan kekayaan milik rakyat/bangsa, seperti tanah, sumber daya
alam, hutan, air, dan lain-lain. Akibatnya, rakyat
kehilangan kesempatan mengakses sumber daya tersebut.
Kedua, ekspansi kapital asing untuk menguasai sumber daya membutuhkan
penguasaan ruang/teritori tempat sumber daya tersebut berada (di atas
tanah ataupun di perut bumi). Sebagai konsekuensinya, ekpansi kapital
asing tersebut melakukan
penyingkiran paksa terhadap warga yang mendiami tersebut. Inilah yang memicu konflik agraria di berbagai daerah.
Ketiga, konsekuensi dari dua point di atas adalah penghilangan ruang
dan hak hidup bagi rakyat. Mereka yang diusir dari tanahnya bukan hanya
kehilangan masa depan, tetapi juga kehilangan basis material untuk
bertahan hidup. Inilah yang terjadi dengan warga Suku Anak Dalam (SAD)
di kabupaten Batanghari, Jambi, yang diusir paksa oleh PT. Asiatic
Persada (Wilmar Group).
Keempat, ketika penguasaan sumber daya jatuh ke tangan asing, begitu
pula dengan eksploitasi dan produksi, maka negara kehilangan kontrol
terhadap pemanfaatan sumber daya tersebut untuk kepentingan nasional.
Sebagai contoh, kendati negara kita kaya dengan sumber-sumber energi,
seperti minyak, gas, dan batubara, tetapi rakyat dan industri dalam
negeri kesulitan mengakses energi dengan harga terjangkau.
Dalam kasus ketergantungan terhadap modal asing ini, pemerintah kerap
berlindung di balik argumentasi: bahwa investasi asing mendatangkan
manfaat berupa pajak, royalti, dan penciptaan lapangan kerja.
Betulkah?
Mari kita lihat.
Pada bulan September 2013 lalu, Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK) Abraham Samad mengungkapkan bahwa banyak diantara korporasi asing
yang beroperasi di Indonesia tidak membayar pajak dan royalti. Menurut
estimasi Abraham Samad, lantaran korporasi asing itu mangkir dari
kewajibannya membayar pajak dan royalti, negara kehilangan potensi
pendapatan sebesar Rp 7200 triliun per tahun.
Temuan KPK sendiri menyebutkan bahwa ada 60% perusahaan tambang yang
tidak pernah membayar pajak dan royalti. Sedangkan pengakuan Menteri
Keuangan Agus Martowardojo menyebutkan bahwa ada 4000 perusahaan asing
yang tidak membayar pajak selama tujuh tahun. Artinya, argumentasi
pemerintah bahwa kehadiran investasi asing bisa menambah pendapatan
negara, terutama dari pajak dan royalti, adalah isapan jempol belaka.
Di sisi penyerapan tenaga kerja, banjir Investasi asing tidak juga
mengatasi pengangguran. Sebanyak 60% angkatan kerja kita (BPS, 2013)
tetap terjerembab di sektor informal. Kenapa bisa demikian? Karena
sebagian besar kapital yang masuk itu jatuhnya di sektor ekstraktif,
keuangan, jasa, dan sektor non-tradable lainnya, yang sifatnya padat
modal. Sedangkan sektor real, yakni industri, mengalami gejala
de-industrialisasi.
[3] Sejarah dominasi asing
Kemudian, kalau kita telusuri, penguasaan asing terhadap sumber daya
alam kita ini bukan fenomena baru. Situasi ini sudah mulai berlangsung
sejak Orde Baru berhasil mengambil-alih kekuasaan dari pemerintahan
Soekarno melalui kudeta.
Sekilas sejarah liberalisasi dan ekspansi kapital asing dalam menguasai sumber daya dan aset strategis nasional:
Begitu rezim Orde baru berkuasa, tindakan pertamanya adalah
mengundang kembali modal asing untuk menguasai sumber daya alam
nasional. Ini diawali dengan pengesahan UU nomor 1 tahun 1967 tentang
Penanaman Modal Asing (PMA), yang membuka kembali pintu bagi modal asing
untuk bebas menguasai SDA kita.
Beberapa bulan kemudian, tepatnya bulan April 1957,
pemerintah memberi izin (kontrak karya) kepada Freeport Sulphur Company
[sekarang bernama Freeport-McMoran Copper & Gold Inc] untuk
mengeksploitasi tembaga dan emas di Papua. Setelah Freeport Sulphur,
investor asing lainnya berlomba-lomba mengerubuti Indonesia.
|
Rezim Soeharto/Orde Baru
|
Setelah orde baru runtuh, ketergantungan terhadap kapital
asing tidak dihentikan. Kita tahu, sebelum Soeharto lengser di tahun
1998, Ia menandatangani kesepakatan atau letter of intent (LoI)
dengan Dana Moneter Internasional (IMF). Esensi LoI IMF ini adalah
privatisasi, penghapusan subsidi, liberalisasi perdagangan dan keuangan,
dan deregulasi. Karenanya, kendati Soeharto lengser, penerusnya tetap
melanjutkan LOI dengan IMF.
Di jaman Habibie, agenda liberalisasi yang massif mulai
digedor. Di masa Habibie disahkan UU perbankan yang liberal, privatisasi
juga mulai dicanangkan, liberalisasi impor, dan penghapusan subsidi.
Pada tahun 1999, RUU yang mengusung liberalisasi migas mulai didorong ke
DPR, tetapi ditolak. Selain itu, kendati hanya berkuasa singkat,
Habibie menambah utang RI sebesar 20 milyar USD.
|
Pemerintahan Habibie
|
Di era pemerintahan Gus Dur, ada upaya untuk keluar dari
tekanan IMF, tetapi tidak berhasil. Kebijakan neoliberal tetap
berlangsung, seperti penghapusan subsidi BBM dan liberalisasi impor.
|
Pemerintahan Abdurrahman Wahid(Gus Dur)
|
Di era pemerintahan Megawati, proses liberalisasi ekonomi
mulai memantapkan fondasinya. Sejumlah agenda privatisasi dan
liberalisasi ekonomi mendapat pijakan politiknya:
1) Privatisasi air melalui UU nomor 7 tahun 2004 tentang sumber daya air.
2) Privatisasi BUMN melalui Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara.
3) Privatisasi layanan kesehatan melalui UU nomor 40 tahun 2004 tentang SJSN.
4) Privatisasi pendidikan melalui UU nomor 20 tahun 2003
tentang Sistim Pendidikan Nasional (Sisdiknas) dan kemudian diperkuat
oleh UU BHP (yang dicabut MK).
5) Liberalisasi sektor migas melalui UU nomor 22 tahun 2001 tentang Migas.
6) Liberalisasi pasar tenaga kerja melalui UU nomor 13
tahun 2003 tentang ketenagakerjaan, yang melahirkan sistim kerja kontrak
dan outsourcing.
Pemerintahan Megawati juga menggencarkan liberalisasi
impor, terutama gula dan beras, yang menghancurkan produksi gula dan
pertanian dalam negeri.
|
Pemerintahan Megawati Soekarnoputri
|
Di era pemerintahan SBY, agenda liberalisasi di Indonesia
nyaris sempurna. Di eranya hampir semua UU yang memperkuat landasan
liberalisasi dan penguasaan asing terhadap SDA disahkan, seperti UU
nomor 25 tahun 2007 tentang penanaman modal asing (PMA), UU nomor 4
tahun 2009 tentang minerba, UU nomor 30 tahun 2009 tentang kelistrikan,
UU nomor 2 tahun 2012 tentang pengadaan tanah untuk pembangunan, dan
lain-lain.
Karakter liberalisasi di era SBY sangat ekstrem. Ini bisa
dilihat dalam semangat UU nomor 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal.
Dalam UU PM yang baru ini, modal asing tidak lagi dibatasi—bisa 100%.
Hak guna usaha bisa 94 tahun dan, jika waktunya sudah habis, bisa
diperpanjang 35 tahun lagi. Di UU initidak ada lagi perlakuan berbeda
antara modal asing dan domestik.
|
Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono
|
Kehadiran modal asing sangat terkait dengan praktik-praktik
kolonialisme. Awalnya dibawa masuk oleh kolonialisme Belanda, kira-kira
di tahun 1870, seiring dengan disahkannya UU agraria kolonial, yang
memungkingkan modal swasta masuk mengeruk kekayaan Hindia.
Kemudian, pada era Orde Baru, kehadiran modal asing sangat terkait
perubahan haluan ekonomi Indonesia saat itu: dari ekonomi nasional yang
mengusung ‘berdikari’ di era Soekarno menjadi sangat pro-barat dan
pro-modal asing di era rezim Soeharto.
Sekarang eksistensi modal asing itu makin dikuatkan di bawah
panji-panji Neoliberalisme. Secara sederhana, neoliberalisme ini punya
tiga tujuan mendasar: perdagangan bebas barang dan jasa, sirkulasi bebas
kapital, dan kebebasan investasi (
Lihat: Susan George, A Short History of Neoliberalism, 1999).
Kebutuhan ekspansi kapital asing itu menuntut liberalisasi dan
‘penyesuaian’ fungsiinstrumen-instrumen politik. Hal ini dapat kita
lihat pada beberapa hal sebagai berikut:
Pertama, melalui sejumlah regulasi, seperti UU, PP, Kepres,
Permen, Kepmen, Perda, dll, yang memungkinkan modal asing mendapat
legitimasi formal untuk menguasai sumber daya kita.
Kedua, dengan
menunggangi agenda Otonomi Daerah (Otoda) untuk memudahkan kapital
asing melakukan ekspansi dan penetrasi di setiap jengkal tanah di negeri
ini. Dalam konteks ini, misalnya, pemerintah daerah (Gubernur dan
Bupati/Walikota) punya kewenangan menerbitkan Ijin Usaha Pertambangan
(IUP) kepada perusahaan tambang.
Penggunaan instrumen negara, baik melalui regulasi maupun pejabat
lokal, untuk mendukung ekspansi kapital asing ini merupakan lahan subur
bagi praktik korupsi. Wakil Ketua KPK Busyro Muqoddas mengungkapkan
bahwa, dari 150 juta hektar lahan hutan yang dikelola oleh korporasi,
baru 11% yang sudah
clean and clear alias peruntukannya sesuai
aturan. Artinya, di sektor kehutanan saja, ada indikasi korupsi
besar-besaran terkait penyerahan ijin pengelolaan hutan kepada
korporasi.
Singkat cerita, neoliberalisme hanyalah bungkus baru dari penjajahan modern atau imperialisme.“
Cara pengeduk yang berubah, namun tujuan dan dampaknya bagi kehidupan rakyat tetap sama,”ujar Bung Karno.
Inilah persoalan pokok bangsa kita sekarang: Imperialisme yang
menghisap kekayaan bangsa kita dengan menyisakan kemiskinan dan
kerusakan ekologi.
[4] Situasi Subjektif
Untuk menghadapi neoliberalisme atau imperialisme ekonomi gaya baru
itu, kita juga mesti mengerti medan politik saat ini. Di sini ada
beberapa kesimpulan masalah subyektif pada tataran kekuasaanpolitik:
Pertama, negara sebagai sebuah institusi sudah mengalami
deformasi, terutama aspek negara yang, baik-buruknya, berhubungan konsep
kepentingan umum. Sekarang ini neoliberalisme telah berhasil mengubah
peran negara sekedar untuk menjamin hak milik pribadi, perdagangan
bebas, kebebasan berinvestasi, dan lain sejenisnya. Dalam konteks ini,
negara dipaksa menggunakan semua instrumen politiknya, termasuk aparatus
kekerasannya, untuk menjamin berjalannya kepentingan di atas. Manifesto
Politik PRD menggambarkan karakter ‘Kepala Negara’ di bawah rezim
neoliberal ini tak ubahnya “Gubernur Jenderal” di zaman Hindia-Belanda
yang tunduk pada dikte negara-negara induk imperialis.
Kedua, sejak tahun 1999 hingga 2002, para pendukung neoliberal
telah berhasil mendesakkan empat kali amandemen terhadap UUD 1945.
Sejak amandemen itu, UUD 1945 kehilangan roh-nya sebagai UUD hasil
proklamasi yang berwatak demokratik, anti-kolonialisme, dan
anti-imperialisme. Amandemen itu juga telah membuka celah bagi lahirnya
puluhan produk UU yang memberikan legitimasi formal bagi praktek
neoliberal di Indonesia.
Ketiga, menguatnya ketidakpercayaan terhadap segala hal yang
berbau politik, termasuk partai politik. Indikatornya cukup kuat. Dalam
tiga pemilu terakhir, tingkat partisipasi rakyat kian menurun: 1999 (92
persen), 2004 (84 persen) dan 2009 (71 persen). Loyalitas massa rakyat
terhadap Parpol juga merosot. Gejala deparpolisasi terus menguat. Survei
LSI mengungkapkan, massa yang mengidentifikasi dirinya punya afiliasi
dengan partai tertentu hanya di kisaran 20-30%. Artinya, mayoritas massa
(70-80%) ini adalah ‘massa mengambang’.
Di sisi lain, massa makin beralih ke sosok figur. Survei LSI pada
tahun 2008 mengungkapkan, sebanyak 80% massa-rakyat lebih percaya dan
mendukung figur/independen. Sekarang, massa lebih melihat ke figur yang
populer, bukan kepada partai dan program politiknya. Akibatnya, pentas
politik kita lebih banyak disesaki pertarungan figur dengan sifat atau
karakter pribadi yang diunggulkan, bukan pertarungan gagasan-gagasan
politik.
Menguatnya ketidakpercayaan massa terhadap politik dan politisi ini
didorong oleh beberapa faktor, selain historis depolitisasi orde baru,
yakni: 1)kegagalan partai politik merespon dan mengartikulasikan
kehendak politik rakyat; 2)propaganda massif dan intensif kaum liberal
untuk menjauhkan rakyat dari politik.
Gejala ‘deparpolisasi’ ini sebetulnya sangat berbahaya bagi kita:
gerakan rakyat. Tetapi bagi kaum oligarki [segelintir elit yang
mengontrol kekuasaan], situasi ini justru menguntungkan. Dengan kekuatan
uangnya, mereka bisa membeli partai dan suara massa yang terhimpit
kemiskinan. Bagi mereka, partai hanyalah
stempel legitimasi
formal untuk berkuasa. Sementara bagi kita, gerakan rakyat, partai
adalah alat perjuangan untuk mengubah keadaan. Kita percaya bahwa
keadaan tidak akan berubah tanpa perjuangan dari massa rakyat yang
terorganisir dan tersadarkan; dan salah satu alatnya adalah partai
politik.
Keempat, tekanan ekonomi neoliberal telah memfragmentasi
massa-rakyat, dan instrumen budayanya telah menghancurkan imajinasi
kolektif dan ikatan-ikatan sosialnya (kerjasama, solidaritas,
tolong-menolong, gotong-royong, dll). Gerakan buruh terorganisir,
misalnya, terus dilemahkan dengan sistem kerja kontrak dan outsourcing.
Selain itu, dengan konsumerisme dan propaganda media, massa diilusi
bahwa setiap individu bisa mencapai kebahagian sendiri-sendiri.
Itulah beberapa gambaran mengenai medan politik kita, yang
sedikit-banyaknya mempengaruhi kondisi subjektif kita dalam membangun
sebuah gerakan dan politik anti-imperialisme.
[5] Posisi: Hentikan Imperialisme Dengan Persatuan Nasional!
Sebetulnya, pada tahun 1930-an, Bung Karno sudah mengingatkan bahaya modal asing ini. Dalam pidato pembelaannya yang terkenal,
Indonesia Menggugat, Bung Karno mengatakan, “dalam banyak hal, bagi penaman modal, lebih menguntungkan memasukkan uangnya dalam
onderneming-onderneming
di negeri-negeri terbelakang ekonominya, dimana tenaga buruh murah dan
keuntungan tidak dibatasi oleh Undang-Undang Perburuhan dan sebagainya.”
Selain itu, untuk merangsang investor asing, pemerintah menerapkan
deregulasi, pemberian insentif kepada korporasi asing, hingga
pengurangan pajak. Akibatnya, penerimaan negara dari pajak berkurang.
Untuk menggenjot itu, pemerintah semakin bergantung kepada utang luar
negeri dan memalak usaha kecil (UKM/UMKM)/rakyat kecil.
Neoliberalisme ini juga mencoba merampok masa depan kita dan generasi
kita dengan memprivatisasi sarana-sarana untuk pengembangan diri kita,
terutama layanan kesehatan dan pendidikan. Sistem ini juga telah
mensubordinasikan pengetahuan dan ilmu untuk tujuan mengakumulasi
keuntungan, bukan untuk memajukan kekuatan produktif dan kesejahteraan
rakyat.
Neoliberalisme juga menjegal usaha kita untuk membangun industri
nasional yang tangguh dan mandiri, sebagai basis untuk memenuhi
kebutuhan rakyat kita. Sementara sektor pertanian kita, yang menjadi
tempat bergantung 26,13 juta rumah tangga di Indonesia (BPS, 2013), juga
tergilas oleh kebijakan liberalisasi impor pangan dan penghapusan
subsidi pertanian.
Tidak ada pilihan lain, jika kita masih mau menengok masa depan yang
lebih baik, yakni cita-cita masyarakat adil dan makmur, maka
neoliberalisme/imperialisme harus dihentikan. Kita harus memenangkan
kembali
semangat dan cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945.
Kenapa harus kembali ke Proklamasi 17 Agustus 1945? Karena pada
momentum itulah dicetuskan imajinasi politik kita sebagai sebuah bangsa.
Imajinasi sebagaimana termaktub dalam Pembukaan (
Preambule) UUD 1945: “
membentuk
suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan
ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan
keadilan sosial.”
Jadi, platform politik kita dalam kerangka melawan imperialisme itu
adalah memenangkan kembali cita-cita proklamasi 17 Agustus 1945. Senjata
politiknya adalah Pancasila dan UUD 1945. Sedangkan program tuntutannya
adalah:
Laksanakan Pasal 33 UUD 1945 sesuai dengan cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945!
Untuk melawan imperialisme ini, kita butuh sebuah alat politik, yaitu
persatuan nasional. Dampak neoliberalisme yang mengorbankan hampir
semua lapisan dan sektor sosial rakyat Indonesia (pekerja, petani, kaum
miskin kota, perempuan, pemuda, masyarakat adat, pengusaha
kecil/menengah, pengusaha nasional, dll) adalah kondisi yang kondusif
untuk menjalin persatuan.
[6] Pemilu Sebagai Ruang Politik Memperjuangkan Cita-Cita Proklamasi
Kami sadar, bahwa di bawah neoliberalisme, demokrasi telah
diritualkan menjadi pemungutan suara dalam lima tahun sekali. Di sini
kedaulatan rakyat hanya berlaku selama ‘5 menit’ di bilik TPS. Sementara
di luar itu, rakyat tidak lagi dilibatkan dalam mendiskusikan dan
memutuskan kebijakan politik yang menyangkut nasibnya. Singkat cerita,
demokrasi elektoral ini telah membatasi partisipasi politik rakyat.
Namun, tanpa mengabaikan kenyataan itu, kami juga melihat bahwa
pemilu bisa dimanfaatkan sebagai ruang politik untuk memperjuangkan
agenda politik kerakyatan. Inilah yang menjadi landasan PRD untuk
mengintervensi pemilu 2014.
Bentuk-bentuk intervensi pemilu yang dapat dilakukan oleh kaum pergerakan antara lain:
Pertama, pemilu bisa menjadi ruang politik untuk meluaskan propaganda
anti-imperialisme dan mensirkulasikan ide-ide alternatif menuju tatanan
masyarakat yang lebih baik.
Kedua, pemilu bisa menjadi ruang untuk, meminjam bahasa Bung Karno, melakukan
machtsvorming (pembangunan kekuatan atau pengakumulasian kekuatan rakyat). Di sini,
machtsvorming
bukan hanya pembangunan kuantitatif (jumlah massa yang diorganisasikan
dalam wadah-wadah perjuangan), tetapi juga pembangunan kualitatif
(militansi dan kesadaran massa).
Dalam konteks itu, berbeda dengan caleg-caleg kebanyakan, kami mendorong caleg-caleg kami untuk melakukan tiga kerja sekaligus:
pertama,
melakukan advokasi dan memimpin perjuangan rakyat di teritorial (daerah
pemilihan/dapil) masing-masing untuk merebut hak-hak mereka yang
terampas;
kedua, mengorganisasikan dan mewadahi mereka dalam organisasi-organisasi perjuangan; dan
ketiga,
melakukan penyadaran (kursus dan pendidikan politik) agar mereka
menjadi massa aksi, yakni massa yang sadar akan persoalan bangsa saat
ini dan berkeinginan kuat untuk mengubahnya.
Ketiga, pemilu ini juga menjadi ruang bagi kami untuk mendorong
pembangunan blok atau front persatuan anti-imperialisme di tingkatan
lokal. Mengingat kontradiksi antara rakyat versus imperialisme sudah
manifes juga di tingkat lokal, seperti konflik agraria dan aksi-aksi
rakyat menolak SDA mereka dicaplok korporasi asing.
Muara dari tiga pekerjaan di atas adalah membesarkan barisan rakyat
dan kekuatan politik anti-imperialis sebagai basis politik untuk
memenangkan kembali cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945: mendirikan
negara merdeka yang berdaulat di bidang politik, berdikari di lapangan
ekonomi, dan berkepribadian secara budaya, sebagai basis mewujudkan
masyarakat adil dan makmur.
[7] Seruan Politik
Mari bersatu: menangkan cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945 dan Laksanakan Pasal 33 UUD 1945.
- Kami menyerukan kepada partai politik peserta pemilu 2014, yang
masih punya komitmen untuk membela nasib rakyat dan memperjuangkan
cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945, untuk menempatkan kepentingan
pribadi maupun kelompok di bawah kepentingan nasional dengan jalan
membangun persatuan nasional anti-imperialisme.
- Kami menyerukan kepada seluruh rakyat Indonesia untuk
mengorganisasikan diri atau bergabung dalam organisasi-organisasi
perjuangan (serikat petani, serikat buruh, serikat mahasiswa, serikat
rakyat miskin, organisasi perempuan, dan lain-lain) untuk bersama
memperoleh pembelajaran-pembelajaran politik bagi perjuangannya.
- Kami juga menyerukan kepada seluruh rakyat Indonesia untuk
memperkuat persatuan sesuai dengan prinsip bangsa kita: Bhineka Tunggal
Ika.
- Kami menyerukan kepada seluruh rakyat Indonesia, yang akan
menggunakan Hak Pilihnya pada pemilu legislatif pada tanggal 9 April
mendatang, untuk memilih Partai dan Caleg yang punya komitmen politik
untuk memperjuangkan kemandirian ekonomi dan Cita-Cita Proklamasi 17
Agustus 1945.
Bersatulah untuk Kemerdekaan Nasional: berdaulat di bidang politik,
berdikari di lapangan ekonomi, dan berkepribadian secara budaya.
Bersatulah untuk memenangkan Cita-Cita Proklamasi Kemerdekaan: masyarakat adil dan makmur!
Jakarta, 27 Maret 2014
Hentikan Neoliberalisme! Rebut (Kembali) Kedaulatan Nasional!
Dikeluarkan Oleh:
Komite Pimpinan Pusat Partai Rakyat Demokratik (KPP-PRD)