Sabtu, 26 April 2014

SIKAP POLITIK PRD MENYIKAPI HASIL PEMILU LEGISLATIF 2014




Bersatu untuk Memenangkan Cita-Cita Proklamasi 17 Agustus 1945!

Tanggal 9 April lalu, rakyat Indonesia sudah memilih wakil-wakilnya yang akan bertugas di lembaga perwakilan Rakyat: DPR-RI, DPD-RI, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota. Penghitungan suara secara resmi oleh KPU belum usai, namun ‘hitung cepat’ (quick count) yang dilakukan oleh sejumlah lembaga survei telah memberikan gambaran hasilnya.

Berdasarkan hasil hitung cepat itu, Partai Rakyat Demokrati (PRD) memberikan sejumlah penilaian sebagai berikut:
  1. Semangat perubahan: Kemenangan partai-partai nasionalis dan merosotnya Representasi kekuatan neoliberal.
Hasil pemilu 2014 menunjukkan bahwa partai-partai nasionalis, yang kerap mengangkat tema kemandirian atau kedaulatan nasional, berhasil meraih suara signifikan. PDIP meraih suara terbanyak (19%), Gerindra berhasil masuk ke tiga besar dengan perolehan suara 12%, dan Nasdem berhasil meraih 6,70% suara  dalam debutnya di arena pemilu.

Di sisi lain, partai yang selama ini kita tunjuk hidungnya sebagai representasi kekuatan neoliberal, yakni Partai Demokrat, mengalami penurunan suara cukup signifikan: dari 20,81% (2009) menjadi 9,5% (2014).

Padahal, sebagai partai berkuasa, Partai Demokrat didukung dengan kekuatan logistik dan mesin kekuasaan.
Bila merujuk pada hasil survei Litbang Kompas, sebagian besar suara Partai Demokrat itu juga beralih ke dua partai nasionalis yang selama ini menempatkan diri sebagai oposisi, yakni PDIP (15,2%) dan Gerindra (21,3%). Dapat dikatakan bahwa di kalangan sebagian massa rakyat, kedua partai inilah yang dianggap alternatif pada pemilu 2014.

Dengan demikian, hasil Pileg 2014 menunjukkan adanya perubahan konstelasi politik nasional: partai-partai nasionalis cenderung menguat, sedangkan partai yang merepresentasikan paham neoliberal merosot. Hal ini juga dapat dilihat sebagai menguatnya sentimen nasionalisme di kalangan massa rakyat dan penolakan terhadap model ekonomi neoliberal.

Merosotnya kekauatan neoliberal itu bisa dilihat pada tiga faktor. Pertama, menguatnya wacana anti neoliberalisme dengan frasa “antek asing” dalam momentum pemilu ini. Kemunculan frasa “antek asing” memang bukan datang “dari bawah” tapi menjadi diterima luas karena mewakili kekecewaan rakyat terhadap ketidakmampuan pemerintah bernegosiasi dengan kepentingan politik modal asing.

Kedua, menguatnya gugatan terhadap modal asing. Manfaat kehadiran modal asing yang sering digembor-gemborkan kaum neoliberal mulai dipertanyakan. Fakta menunjukkan bahwa kehadiran modal asing telah memicu pencaplokan terhadap sebagian besar sumber daya alam dan aset nasional ke tangan korporasi asing.

Ketiga, gembar-gembor bahwa neoliberalisme bisa melahirkan pemerintahan bersih juga terbukti isapan jempol belaka. Buktinya: Partai Demokrat sebagai representasi politik neoliberal tidak bersih dari kasus korupsi. Alhasil, isu pemberantasan korupsi sebagai salah satu jualan andalan rezim neoliberal tak lagi laku di kalangan rakyat.

Dalam konteks ini, meningkatnya dukungan rakyat terhadap partai-partai nasionalis harus dimaknai sebagai kehendak perubahan, atau lebih kongkritnya untuk keluar dari sistim ekonomi-politik neoliberal saat ini dan menerapkan sistim ekonomi-politik yang memprioritaskan kepentingan nasional dengan rakyat sebagai subyek utama di dalamnya.
  1. Kebutuhan Persatuan dan Hambatan Kepentingan Sempit Parpol
Sangat disayangkan, kemenangan representasi kekuatan politik nasionalis di lapangan pemilu legislatif ini belum ditindaklanjuti dengan konsolidasi politik yang solid untuk menghadapi pemilihan umum presiden dan wakil presiden. Persaingan di antara sesama kubu nasionalis telah menggiring kekuatan-kekuatan tersebut untuk saling serang dan saling menjatuhkan.

Dapat dipahami, bahwa riil politik pemilu adalah persaingan atau bahkan pertarungan antar kekuatan yang ada. Tapi sebagai suatu pembelajaran bagi massa rakyat, persaingan politik tanpa mengedepankan gagasan-gagasan yang mencerdaskan hanya akan menjerumuskan bangsa ini ke keterpurukan yang semakin dalam. Pemilu seharusnya menjadi arena untuk mengajukan gagasan-gagasan politik, tentang apa yang terbaik bagi bangsa ini ke depan, yang berkonsekuensi pada pilihan siapa atau kubu mana yang paling layak untuk memimpin.

Kami memandang bahwa kepentingan sempit partai politik masih mendominasi proses yang sedang berlangsung. Kepentingan sempit parpol ini tercermin dalam beberapa gejala. Pertama,  kuatnya hasrat berkuasa untuk partai sendiri. Muncullah apa yang disebut oleh Bung Karno sebagai nafsu ‘mau kursi, bukan demokrasi’. Dan karena didorong oleh kepentingan sempit itu, elit parpol menghalalkan segala macam cara untuk menjatuhkan lawan-lawan politik.

Seperti tercermin di pileg lalu, parpol dan para pendukung calon presiden-nya sibuk mencari amunisi untuk saling menjatuhkan. Bahkan kadang mengungkit-ungkit hal-hal yang tidak ada kaitan dengan persoalan yang dihadapi rakyat atau bangsa ini.

Di sini kami melihat peran negatif media massa yang turut menjadi ‘kompor’ dalam memanaskan pertikaian itu dengan mengeksploitasi sisi pribadi/privat para capres dari masing-masing partai. Jika memihak kepada demokrasi dan rakyat, media seharusnya fokus menginterogasi gagasan, konsep, dan program-program partai dan capres agar terbuka dengan terang di hadapan rakyat.

Ironisnya, sesama partai nasionalis ini saling tuding ‘antek asing’. Sementara partai yang diidentifikasi sebagai “antek asing” yang sebenarnya, atau partai-partai yang cenderung menghindar dari isu kedaulatan nasional alias cari selamat, justru bebas mengonsolidasikan diri.
Kedua, kuatnya kepentingan sempit parpol nasionalis juga tercermin dari kuatnya ambisi mereka untuk mengusung calon presiden masing-masing. Dalam situasi seperti itu, bila tidak ada yang mau mengalah, maka jalan persatuan menjadi tidak mungkin.

Berbeda jika setiap parpol menempatkan kepentingan bangsa dan rakyat di atas kepentingan sempit kelompoknya, maka negosiasi seharusnya bukanlah soal partai mana yang berhak mengajukan calon presiden, melainkan agenda politik bersama apa yang bisa disepakati dan diperjuangkan dalam kerangka menyelesaikan persoalan bangsa saat ini.

Di sini kita perlu belajar dari para Pendiri Bangsa kita. Kendati pandangan politik mereka kerap berbeda dan sering berpolemik, tetapi mereka siap untuk duduk bersama ketika kepentingan bangsa memanggil.

Bila ditelisik program politik partai-partai nasionalis, nyaris tidak ada perbedaan. Semuanya sepakat mengusung kemandirian ekonomi. Semuanya menyatakan berkehendak mengembalikan haluan ekonomi negeri ini ke jalan konstitusi: Pasal 33 UUD 1945. Semuanya sepakat mengibarkan panji-panji Trisakti Bung Karno: berdaulat di bidang politik, berdikari di lapangan ekonomi, dan berkepribadian secara budaya.

Dalam pandangan yang ideal, apabila identifikasi persoalan sudah mencapai kesamaan-kesamaan, platform politiknya juga sudah mengerucut pada solusi yang sama, maka jalan untuk membangun persatuan tidaklah begitu sulit. Bayangkan, kalau kekuatan partai-partai nasionalis bisa menyatu, maka kekuatan-kekuatan neoliberal akan sulit menandingi.

Kami berpendapat bahwa persatuan nasional adalah keharusan mutlak jika partai-partai nasionalis masih memperjuangkan negara bangsa yang merdeka dan berdaulat sebagaimana dicita-citakan oleh semangat Proklamasi 17 Agustus 1945.

Persatuan nasional adalah jawaban terhadap politik pecah-belah yang senantiasa dilakukan oleh kaum imperialis dan kaki-tangannya. Perlu disadari, bahwa kaum imperialis bisa mempertahankan kontrol politik dan ekonominya atas negara kita hanya karena politik pecah-belah dan adu domba: mengadu domba suku-bangsa yang satu dengan yang lain, partai yang satu dengan yang lain, agama yang satu dengan yang lain, antara penduduk kampung yang satu dengan yang lain, dan seterusnya. Pendek kata, mereka akan memecah-belah segala sesuatu yang bisa dipecah-belah.

Persatuan nasional adalah alat politik untuk menyatukan semua kekuatan nasional, baik di dalam parlemen maupun di luar parlemen, baik partai politik maupun di kalangan organisasi massa-rakyat, dalam rangka melaksakan cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945.
  1. Seruan Politik PRD menyikapi hasil Pemilu Legislatif 2014 adalah sebagai berikut:
Pertama, menyerukan kepada semua parpol yang ber-platform nasionalis untuk mengedepankan persoalan bangsa dan rakyat ketimbang kepentingan sempit partainya. Partai-partai nasionalis agar menjadikan Pemilu Presiden (Pilpres) sebagai momentum membangun persatuan nasional dalam rangka memenangkan kembali cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945.

Kedua, menyerukan kepada seluruh rakyat Indonesia untuk mengawal dan mengamankan suara yang diperoleh partai-partai nasionalis dari kemungkinan kecurangan yang dilakukan oleh kekuatan-kekuatan neoliberal.

Ketiga, menyerukan kepada seluruh rakyat Indonesia untuk aktif mendorong partai-partai nasionalis yang memiliki platform kemandirian bangsa untuk bersatu guna menyelesaikan persoalan bangsa saat ini. Untuk mendesakkan tuntutan ini, rakyat bisa mendatangi sekretariat-sekretariat partai nasionalis, menggalang petisi, menggelar rapat akbar (vergadering), mengirimkan surat aspirasi, menyebarkan opini tentang arti penting persatuan kaum nasionalis, dan lain-lain.

Demikian pernyataan sikap ini kami sampaikan, semoga menjadi perhatian kita bersama.
Jakarta, 16 April 2014
Sikap Politik ini dikeluarkan oleh Komite Pimpinan Pusat Partai Rakyat Demokratik (KPP-PRD)

Jumat, 04 April 2014

MANIFESTO PEMILU PRD: MENANGKAN CITA-CITA PROKLAMASI 17 AGUSTUS 1945!


Tak dapat kita mengambil manfaat 100% dari kekayaan bumi dan air kita sendiri, kalau imperialisme ekonomi dan imperialisme politik masih bercokol di tubuh kita, laksana lintah yang menghisap darah.. (Soekarno, September 1961)


[1] Pengantar
Di tahun 1945, ketika kemerdekaan negeri ini diproklamirkan, cita-cita yang terukir di benak setiap orang Indonesia kala itu adalah: masyarakat adil dan makmur.

Namun, sudah 68 tahun bangsa ini mengarungi samudera kemerdekan, pelabuhan “masyarakat adil dan makmur” belum juga tampak. Malahan, cakrawala masa depan berbangsa dan bernegara kita makin suram dan gelap.

Kita tidak bisa memungkiri, bahwa persoalan terbesar rakyat kita sekarang ini adalah kemiskinan, pengangguran, dan ketimpangan ekonomi yang kian melebar. Hingga sekarang, separuh rakyat kita hidup dengan pendapatan di bawah 2 USD per hari [setara dengan nilai subsidi yang dinikmati tiap ekor sapi di Eropa]. Kemudian, seperti diungkapkan BPS, sebanyak 60% tenaga kerja kita masih menumpuk di sektor informal.

Ketimpangan ekonomi juga kian mengkhawatirkan. Rasio gini, yang mengukur tingkat kesenjangan pendapat rakyat, terus menanjak: dari 0,32 (2004) menjadi 0,41 (2013). Aset dan kekayaan makin terkonsentrasi di tangan segelintir orang. Pada tahun 2012, hanya 40 orang terkaya di Indonesia menguasai Rp 850 triliun atau setara dengan 10% PDB kita. Kemudian, hanya 0,2% orang Indonesia menguasai 56% aset di tanah air, terutama tanah.

Kenyataan di bawah, yakni kehidupan rakyat banyak, lebih parah lagi. Sejak kebijakan ekonomi neoliberal diterapkan oleh rezim berkuasa, banyak rakyat Indonesia yang kesulitan mengakses kebutuhan dasar untuk hidupnya, seperti pangan, air bersih, kesehatan, pendidikan, perumahan, dan lain-lain.

Nah, sebentar lagi, bangsa ini akan melaksanakan Pemilihan Umum (Pemilu), yakni Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden. Pemilu Legislatif akan diselenggarakan tanggal 9 April mendatang. Sedangkan Pemilu Presiden akan diselenggarakan pada tanggal 9 Juli mendatang.

Bagi Partai Rakyat Demokratik (PRD), penyelenggaraan pemilu 2014 akan kehilangan esensinya jika tidak membicarakan penyelesaian persoalan-persoalan rakyat di atas. Dengan kata lain, pemilu hanya akan menjadi ‘pesta demokrasi-nya kaum oligarki’ jikalau tidak bisa melahirkan kepemimpinan politik yang bisa menyelesaikan persoalan rakyat.

[2] Situasi Umum

Memang, supaya kita bisa menjawab persoalan, kita harus tahu lebih dulu pangkal masalahnya. Dalam konteks ini, menyelesaikan persoalan kemiskinan, pengangguran, dan ketimpangan tidak akan mungkin tanpa mengerti akar masalahnya.

PRD memandang bahwa persoalan kemiskinan, pengangguran, dan ketimpangan ekonomi terkait erat dengan penguasaan aset/sumber daya, sarana produksi, dan proses distribusi keuntungan/kemakmuran.
Artinya, jika aset/sumber daya, sarana produksi, dan distribusi kekayaan dikendalikan oleh segelintir tangan yang dibiarkan bebas, maka kekayaan hanya akan menumpuk di segelintir tangan itu. Karenanya, untuk mencegah penumpukan kekayaan di segelintir tangan, para pendiri bangsa sudah mengamanatkan sistem ekonomi demokratis sebagaimana diatur dalam Pasal 33 UUD 1945.

Sebagian besar sumber daya kita, terutama kekayaan alam, dikuasai oleh segelintir korporasi asing. Ini mencakup penguasaan asing di sektor migas, mineral, batubara, kehutanan, perkebunan, pertanian, perbankan, telekomunikasi, dan lain-lain.

Berikut sedikit gambarannya:
Hingga sekarang ini, sekitar 75-85% produksi migas kita dikuasai oleh perusahaan asing. Data Kementerian ESDM pada tahun 2009 menyebutkan, Pertamina hanya menguasai 13,8% produksi minyak nasional, sedangkan sisanya dikuasai oleh Chevron (41%), Total E&P Indonesie (10%), Chonoco-Philips (3,6%) dan CNOOC (4,6%). Sementara hampir 90% produksi gas Indonesia hanya dikangkangi oleh 6 perusahaan asing, yakni Chevron, Total, ConocoPhilips, British Petroleum, dan ExxonMobil.
I
Di sektor mineral dan batubara juga demikian. Produksi tembaga dan emas kita hanya dikuasai dua perusahaan asing, yakni Freeport dan Newmont. Selain itu, korporasi asing juga menguasai sekitar 75% produksi timah, bauksit, dan nikel. Sementara sekitar 70% produksi batubara kita berada di tampuk asing.
II
Penguasaan asing juga merembes ke sektor-sektor strategis, seperti perbankan (60%), telekomunikasi (70%), dan layanan air minum (80%), dan lain-lain. Kedepan, dominasi asing di berbagai sektor strategis akan meluas seiring dengan pembukaan sektor usaha untuk investor asing, seperti pelabuhan, operator bandara, farmasi, telekomunikasi, kelistrikan dan lain-lain.
III
Sektor perkebunan dan kehutanan juga mulai dikangkangi oleh gurita modal asing. Sebagai contoh, dari sekitar 9 juta hektar perkebunan sawit di Indonesia, sebanyak 40% diantaranya berbendera perusahaan asing. Di sektor kehutanan, dari 531 izin hak pengusahaan hutan (HPH) dan hutan tanaman industri (HTI), dengan luas area konsesi mencapai 35,8 juta hektar, itu hanya dikuasai oleh puluhan konglomerat (asing dan domestik).
IV

Ada sejumlah masalah yang patut diperhatikan terkait dominasi korporasi asingini:

Pertama, ekspansi modal asing telah memicu pencaplokan atau penjarahan kekayaan milik rakyat/bangsa, seperti tanah, sumber daya alam, hutan, air, dan lain-lain. Akibatnya, rakyat kehilangan kesempatan mengakses sumber daya tersebut.

Kedua, ekspansi kapital asing untuk menguasai sumber daya membutuhkan penguasaan ruang/teritori tempat sumber daya tersebut berada (di atas tanah ataupun di perut bumi). Sebagai konsekuensinya, ekpansi kapital asing tersebut melakukan penyingkiran paksa terhadap warga yang mendiami tersebut. Inilah yang memicu konflik agraria di berbagai daerah.

Ketiga, konsekuensi dari dua point di atas adalah penghilangan ruang dan hak hidup bagi rakyat. Mereka yang diusir dari tanahnya bukan hanya kehilangan masa depan, tetapi juga kehilangan basis material untuk bertahan hidup. Inilah yang terjadi dengan warga Suku Anak Dalam (SAD) di kabupaten Batanghari, Jambi, yang diusir paksa oleh PT. Asiatic Persada (Wilmar Group).

Keempat, ketika penguasaan sumber daya jatuh ke tangan asing, begitu pula dengan eksploitasi dan produksi, maka negara kehilangan kontrol terhadap pemanfaatan sumber daya tersebut untuk kepentingan nasional. Sebagai contoh, kendati negara kita kaya dengan sumber-sumber energi, seperti minyak, gas, dan batubara, tetapi rakyat dan industri dalam negeri kesulitan mengakses energi dengan harga terjangkau.
Dalam kasus ketergantungan terhadap modal asing ini, pemerintah kerap berlindung di balik argumentasi: bahwa investasi asing mendatangkan manfaat berupa pajak, royalti, dan penciptaan lapangan kerja.

Betulkah? Mari kita lihat.

Pada bulan September 2013 lalu, Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Abraham Samad mengungkapkan bahwa banyak diantara korporasi asing yang beroperasi di Indonesia tidak membayar pajak dan royalti. Menurut estimasi Abraham Samad, lantaran korporasi asing itu mangkir dari kewajibannya membayar pajak dan royalti, negara kehilangan potensi pendapatan sebesar Rp 7200 triliun per tahun.

Temuan KPK sendiri menyebutkan bahwa ada 60% perusahaan tambang yang tidak pernah membayar pajak dan royalti. Sedangkan pengakuan Menteri Keuangan Agus Martowardojo menyebutkan bahwa ada 4000 perusahaan asing yang tidak membayar pajak selama tujuh tahun. Artinya, argumentasi pemerintah bahwa kehadiran investasi asing bisa menambah pendapatan negara, terutama dari pajak dan royalti, adalah isapan jempol belaka.

Di sisi penyerapan tenaga kerja, banjir Investasi asing tidak juga mengatasi pengangguran. Sebanyak 60% angkatan kerja kita (BPS, 2013) tetap terjerembab di sektor informal. Kenapa bisa demikian? Karena sebagian besar kapital yang masuk itu jatuhnya di sektor ekstraktif, keuangan, jasa, dan sektor non-tradable lainnya, yang sifatnya padat modal. Sedangkan sektor real, yakni industri, mengalami gejala de-industrialisasi.

[3] Sejarah dominasi asing

Kemudian, kalau kita telusuri, penguasaan asing terhadap sumber daya alam kita ini bukan fenomena baru. Situasi ini sudah mulai berlangsung sejak Orde Baru berhasil mengambil-alih kekuasaan dari pemerintahan Soekarno melalui kudeta.

Sekilas sejarah liberalisasi dan ekspansi kapital asing dalam menguasai sumber daya dan aset strategis nasional:
Begitu rezim Orde baru berkuasa, tindakan pertamanya adalah mengundang kembali modal asing untuk menguasai sumber daya alam nasional. Ini diawali dengan pengesahan UU nomor 1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing (PMA), yang membuka kembali pintu bagi modal asing untuk bebas menguasai SDA kita.
Beberapa bulan kemudian, tepatnya bulan April 1957, pemerintah memberi izin (kontrak karya) kepada Freeport  Sulphur Company [sekarang bernama Freeport-McMoran Copper & Gold Inc] untuk mengeksploitasi tembaga dan emas di Papua. Setelah Freeport Sulphur, investor asing lainnya berlomba-lomba mengerubuti Indonesia.
Rezim Soeharto/Orde Baru
Setelah orde baru runtuh, ketergantungan terhadap kapital asing tidak dihentikan. Kita tahu, sebelum Soeharto lengser di tahun 1998, Ia menandatangani kesepakatan atau letter of intent (LoI) dengan Dana Moneter Internasional (IMF). Esensi LoI IMF ini adalah privatisasi, penghapusan subsidi, liberalisasi perdagangan dan keuangan, dan deregulasi. Karenanya, kendati Soeharto lengser, penerusnya tetap melanjutkan LOI dengan IMF.
Di jaman Habibie, agenda liberalisasi yang massif mulai digedor. Di masa Habibie disahkan UU perbankan yang liberal, privatisasi juga mulai dicanangkan, liberalisasi impor, dan penghapusan subsidi. Pada tahun 1999, RUU yang mengusung liberalisasi migas mulai didorong ke DPR, tetapi ditolak. Selain itu, kendati hanya berkuasa singkat, Habibie menambah utang RI sebesar 20 milyar USD.
Pemerintahan Habibie
Di era pemerintahan Gus Dur, ada upaya untuk keluar dari tekanan IMF, tetapi tidak berhasil. Kebijakan neoliberal tetap berlangsung, seperti penghapusan subsidi BBM dan liberalisasi impor.
Pemerintahan Abdurrahman Wahid(Gus Dur)
Di era pemerintahan Megawati, proses liberalisasi ekonomi mulai memantapkan fondasinya. Sejumlah agenda privatisasi dan liberalisasi ekonomi mendapat pijakan politiknya:
1) Privatisasi air melalui UU nomor 7 tahun 2004 tentang sumber daya air.
2) Privatisasi BUMN melalui Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara.
3) Privatisasi layanan kesehatan melalui UU nomor 40 tahun 2004 tentang SJSN.
 4) Privatisasi pendidikan melalui UU nomor 20 tahun 2003 tentang Sistim Pendidikan Nasional (Sisdiknas) dan kemudian diperkuat oleh UU BHP (yang dicabut MK).
5) Liberalisasi sektor migas melalui UU nomor 22 tahun 2001 tentang Migas.
6) Liberalisasi pasar tenaga kerja melalui UU nomor 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan, yang melahirkan sistim kerja kontrak dan outsourcing.
Pemerintahan Megawati juga menggencarkan liberalisasi impor, terutama gula dan beras, yang menghancurkan produksi gula dan pertanian dalam negeri.
Pemerintahan Megawati Soekarnoputri
Di era pemerintahan SBY, agenda liberalisasi di Indonesia nyaris sempurna. Di eranya hampir semua UU yang memperkuat landasan liberalisasi dan penguasaan asing terhadap SDA disahkan, seperti UU nomor 25 tahun 2007 tentang penanaman modal asing (PMA), UU nomor 4 tahun 2009 tentang minerba, UU nomor 30 tahun 2009 tentang kelistrikan, UU nomor 2 tahun 2012 tentang pengadaan tanah untuk pembangunan, dan lain-lain.
Karakter liberalisasi di era SBY sangat ekstrem. Ini bisa dilihat dalam semangat UU nomor 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Dalam UU PM yang baru ini, modal asing tidak lagi dibatasi—bisa 100%. Hak guna usaha bisa 94 tahun dan, jika waktunya sudah habis, bisa diperpanjang 35 tahun lagi. Di UU initidak ada lagi perlakuan berbeda antara modal asing dan domestik.
Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono

Kehadiran modal asing sangat terkait dengan praktik-praktik kolonialisme. Awalnya dibawa masuk oleh kolonialisme Belanda, kira-kira di tahun 1870, seiring dengan disahkannya UU agraria kolonial, yang memungkingkan modal swasta masuk mengeruk kekayaan Hindia.

Kemudian, pada era Orde Baru, kehadiran modal asing sangat terkait perubahan haluan ekonomi Indonesia saat itu: dari ekonomi nasional yang mengusung ‘berdikari’ di era Soekarno menjadi sangat pro-barat dan pro-modal asing di era rezim Soeharto.

Sekarang eksistensi modal asing itu makin dikuatkan di bawah panji-panji Neoliberalisme. Secara sederhana, neoliberalisme ini punya tiga tujuan mendasar: perdagangan bebas barang dan jasa, sirkulasi bebas kapital, dan kebebasan investasi (Lihat: Susan George, A Short History of Neoliberalism, 1999).
Kebutuhan ekspansi kapital asing itu menuntut liberalisasi dan ‘penyesuaian’ fungsiinstrumen-instrumen politik. Hal ini dapat kita lihat pada beberapa hal sebagai berikut:

Pertama, melalui sejumlah regulasi, seperti UU, PP, Kepres, Permen, Kepmen, Perda, dll, yang memungkinkan modal asing mendapat legitimasi formal untuk menguasai sumber daya kita. Kedua, dengan menunggangi agenda Otonomi Daerah (Otoda) untuk memudahkan kapital asing melakukan ekspansi dan penetrasi di setiap jengkal tanah di negeri ini. Dalam konteks ini, misalnya, pemerintah daerah (Gubernur dan Bupati/Walikota) punya kewenangan menerbitkan Ijin Usaha Pertambangan (IUP) kepada perusahaan tambang.

Penggunaan instrumen negara, baik melalui regulasi maupun pejabat lokal, untuk mendukung ekspansi kapital asing ini merupakan lahan subur bagi praktik korupsi. Wakil Ketua KPK Busyro Muqoddas mengungkapkan bahwa, dari 150 juta hektar lahan hutan yang dikelola oleh korporasi, baru 11% yang sudahclean and clear alias peruntukannya sesuai aturan. Artinya, di sektor kehutanan saja, ada indikasi korupsi besar-besaran terkait penyerahan ijin pengelolaan hutan kepada korporasi.

Singkat cerita, neoliberalisme hanyalah bungkus baru dari penjajahan modern atau imperialisme.“Cara pengeduk yang berubah, namun tujuan dan dampaknya bagi kehidupan rakyat tetap sama,”ujar Bung Karno.

Inilah persoalan pokok bangsa kita sekarang: Imperialisme yang menghisap kekayaan bangsa kita dengan menyisakan kemiskinan dan kerusakan ekologi.

[4] Situasi Subjektif

Untuk menghadapi neoliberalisme atau imperialisme ekonomi gaya baru itu, kita juga mesti mengerti medan politik saat ini. Di sini ada beberapa kesimpulan masalah subyektif pada tataran kekuasaanpolitik:

Pertama, negara sebagai sebuah institusi sudah mengalami deformasi, terutama aspek negara yang, baik-buruknya, berhubungan konsep kepentingan umum. Sekarang ini neoliberalisme telah berhasil mengubah peran negara sekedar untuk menjamin hak milik pribadi, perdagangan bebas, kebebasan berinvestasi, dan lain sejenisnya. Dalam konteks ini, negara dipaksa menggunakan semua instrumen politiknya, termasuk aparatus kekerasannya, untuk menjamin berjalannya kepentingan di atas. Manifesto Politik PRD menggambarkan karakter ‘Kepala Negara’ di bawah rezim neoliberal ini tak ubahnya “Gubernur Jenderal” di zaman Hindia-Belanda yang tunduk pada dikte negara-negara  induk imperialis.

Kedua, sejak tahun 1999 hingga 2002, para pendukung neoliberal telah berhasil mendesakkan empat kali amandemen terhadap UUD 1945. Sejak amandemen itu, UUD 1945 kehilangan roh-nya sebagai UUD hasil proklamasi yang berwatak demokratik, anti-kolonialisme, dan anti-imperialisme. Amandemen itu juga telah membuka celah bagi lahirnya puluhan produk UU yang memberikan legitimasi formal bagi praktek neoliberal di Indonesia.

Ketiga, menguatnya ketidakpercayaan terhadap segala hal yang berbau politik, termasuk partai politik. Indikatornya cukup kuat. Dalam tiga pemilu terakhir, tingkat partisipasi rakyat kian menurun: 1999 (92 persen), 2004 (84 persen) dan 2009 (71 persen). Loyalitas massa rakyat terhadap Parpol juga merosot. Gejala deparpolisasi terus menguat. Survei LSI mengungkapkan, massa yang mengidentifikasi dirinya punya afiliasi dengan partai tertentu hanya di kisaran 20-30%. Artinya, mayoritas massa (70-80%) ini adalah ‘massa mengambang’.

Di sisi lain, massa makin beralih ke sosok figur. Survei LSI pada tahun 2008 mengungkapkan, sebanyak 80% massa-rakyat lebih percaya dan mendukung figur/independen. Sekarang, massa lebih melihat ke figur yang populer, bukan kepada partai dan program politiknya. Akibatnya, pentas politik kita lebih banyak disesaki pertarungan figur dengan sifat atau karakter pribadi yang diunggulkan, bukan pertarungan gagasan-gagasan politik.

Menguatnya ketidakpercayaan massa terhadap politik dan politisi ini didorong oleh beberapa faktor, selain historis depolitisasi orde baru, yakni: 1)kegagalan partai politik merespon dan mengartikulasikan kehendak politik rakyat; 2)propaganda massif dan intensif kaum liberal untuk menjauhkan rakyat dari politik.
Gejala ‘deparpolisasi’ ini sebetulnya sangat berbahaya bagi kita: gerakan rakyat. Tetapi bagi kaum oligarki [segelintir elit yang mengontrol kekuasaan], situasi ini justru menguntungkan. Dengan kekuatan uangnya, mereka bisa membeli partai dan suara massa yang terhimpit kemiskinan. Bagi mereka, partai hanyalah stempel legitimasi formal untuk berkuasa. Sementara bagi kita, gerakan rakyat, partai adalah alat perjuangan untuk mengubah keadaan. Kita percaya bahwa keadaan tidak akan berubah tanpa perjuangan dari massa rakyat yang terorganisir dan tersadarkan; dan salah satu alatnya adalah partai politik.

Keempat, tekanan ekonomi neoliberal telah memfragmentasi massa-rakyat, dan instrumen budayanya telah menghancurkan imajinasi kolektif dan ikatan-ikatan sosialnya (kerjasama, solidaritas, tolong-menolong, gotong-royong, dll). Gerakan buruh terorganisir, misalnya, terus dilemahkan dengan sistem kerja kontrak dan outsourcing. Selain itu, dengan konsumerisme dan propaganda media, massa diilusi bahwa setiap individu bisa mencapai kebahagian sendiri-sendiri.

Itulah beberapa gambaran mengenai medan politik kita, yang sedikit-banyaknya mempengaruhi kondisi subjektif kita dalam membangun sebuah gerakan dan politik anti-imperialisme.

[5] Posisi: Hentikan Imperialisme Dengan Persatuan Nasional!

Sebetulnya, pada tahun 1930-an, Bung Karno sudah mengingatkan bahaya modal asing ini. Dalam pidato pembelaannya yang terkenal, Indonesia Menggugat, Bung Karno mengatakan, “dalam banyak hal, bagi penaman modal, lebih menguntungkan memasukkan uangnya dalam onderneming-onderneming di negeri-negeri terbelakang ekonominya, dimana tenaga buruh murah dan keuntungan tidak dibatasi oleh Undang-Undang Perburuhan dan sebagainya.”

Selain itu, untuk merangsang investor asing, pemerintah menerapkan deregulasi, pemberian insentif kepada korporasi asing, hingga pengurangan pajak. Akibatnya, penerimaan negara dari pajak berkurang. Untuk menggenjot itu, pemerintah semakin bergantung kepada utang luar negeri dan memalak usaha kecil (UKM/UMKM)/rakyat kecil.

Neoliberalisme ini juga mencoba merampok masa depan kita dan generasi kita dengan memprivatisasi sarana-sarana untuk pengembangan diri kita, terutama layanan kesehatan dan pendidikan. Sistem ini juga telah mensubordinasikan pengetahuan dan ilmu untuk tujuan mengakumulasi keuntungan, bukan untuk memajukan kekuatan produktif dan kesejahteraan rakyat.

Neoliberalisme juga menjegal usaha kita untuk membangun industri nasional yang tangguh dan mandiri, sebagai basis untuk memenuhi kebutuhan rakyat kita. Sementara sektor pertanian kita, yang menjadi tempat bergantung 26,13 juta rumah tangga di Indonesia (BPS, 2013), juga tergilas oleh kebijakan liberalisasi impor pangan dan penghapusan subsidi pertanian.

Tidak ada pilihan lain, jika kita masih mau menengok masa depan yang lebih baik, yakni cita-cita masyarakat adil dan makmur, maka neoliberalisme/imperialisme harus dihentikan. Kita harus memenangkan kembali semangat dan cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945.

Kenapa harus kembali ke Proklamasi 17 Agustus 1945? Karena pada momentum itulah dicetuskan imajinasi politik kita sebagai sebuah bangsa. Imajinasi sebagaimana termaktub dalam Pembukaan (Preambule) UUD 1945: “membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.”

Jadi, platform politik kita dalam kerangka melawan imperialisme itu adalah memenangkan kembali cita-cita proklamasi 17 Agustus 1945. Senjata politiknya adalah Pancasila dan UUD 1945. Sedangkan program tuntutannya adalah: Laksanakan Pasal 33 UUD 1945 sesuai dengan cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945!

Untuk melawan imperialisme ini, kita butuh sebuah alat politik, yaitu persatuan nasional. Dampak neoliberalisme yang mengorbankan hampir semua lapisan dan sektor sosial rakyat Indonesia (pekerja, petani, kaum miskin kota, perempuan, pemuda, masyarakat adat, pengusaha kecil/menengah, pengusaha nasional, dll) adalah kondisi yang kondusif untuk menjalin persatuan.

[6] Pemilu Sebagai Ruang Politik Memperjuangkan Cita-Cita Proklamasi

Kami sadar, bahwa di bawah neoliberalisme, demokrasi telah diritualkan menjadi pemungutan suara dalam lima tahun sekali. Di sini kedaulatan rakyat hanya berlaku selama ‘5 menit’ di bilik TPS. Sementara di luar itu, rakyat tidak lagi dilibatkan dalam mendiskusikan dan memutuskan kebijakan politik yang menyangkut nasibnya. Singkat cerita, demokrasi elektoral ini telah membatasi partisipasi politik rakyat.

Namun, tanpa mengabaikan kenyataan itu, kami juga melihat bahwa pemilu bisa dimanfaatkan sebagai ruang politik untuk memperjuangkan agenda politik kerakyatan. Inilah yang menjadi landasan PRD untuk mengintervensi pemilu 2014.

Bentuk-bentuk intervensi pemilu yang dapat dilakukan oleh kaum pergerakan antara lain:
Pertama, pemilu bisa menjadi ruang politik untuk meluaskan propaganda anti-imperialisme dan mensirkulasikan ide-ide alternatif menuju tatanan masyarakat yang lebih baik.

Kedua, pemilu bisa menjadi ruang untuk, meminjam bahasa Bung Karno, melakukan machtsvorming (pembangunan kekuatan atau pengakumulasian kekuatan rakyat). Di sini, machtsvorming bukan hanya pembangunan kuantitatif (jumlah massa yang diorganisasikan dalam wadah-wadah perjuangan), tetapi juga pembangunan kualitatif (militansi dan kesadaran massa).

Dalam konteks itu, berbeda dengan caleg-caleg kebanyakan, kami mendorong caleg-caleg kami untuk melakukan tiga kerja sekaligus: pertama, melakukan advokasi dan memimpin perjuangan rakyat di teritorial (daerah pemilihan/dapil) masing-masing untuk merebut hak-hak mereka yang terampas; kedua, mengorganisasikan dan mewadahi mereka dalam organisasi-organisasi perjuangan; dan ketiga, melakukan penyadaran (kursus dan pendidikan politik) agar mereka menjadi massa aksi, yakni massa yang sadar akan persoalan bangsa saat ini dan berkeinginan kuat untuk mengubahnya.

Ketiga, pemilu ini juga menjadi ruang bagi kami untuk mendorong pembangunan blok atau front persatuan anti-imperialisme di tingkatan lokal. Mengingat kontradiksi antara rakyat versus imperialisme sudah manifes juga di tingkat lokal, seperti konflik agraria dan aksi-aksi rakyat menolak SDA mereka dicaplok korporasi asing.

Muara dari tiga pekerjaan di atas adalah membesarkan barisan rakyat dan kekuatan politik anti-imperialis sebagai basis politik untuk memenangkan kembali cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945: mendirikan negara merdeka yang berdaulat di bidang politik, berdikari di lapangan ekonomi, dan berkepribadian secara budaya, sebagai basis mewujudkan masyarakat adil dan makmur.

[7] Seruan Politik

Mari bersatu: menangkan cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945 dan Laksanakan Pasal 33 UUD 1945.
  1. Kami menyerukan kepada partai politik peserta pemilu 2014, yang masih punya komitmen untuk membela nasib rakyat dan memperjuangkan cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945, untuk menempatkan kepentingan pribadi maupun kelompok di bawah kepentingan nasional dengan jalan membangun persatuan nasional anti-imperialisme.
  2. Kami menyerukan kepada seluruh rakyat Indonesia untuk mengorganisasikan diri atau bergabung dalam organisasi-organisasi perjuangan (serikat petani, serikat buruh, serikat mahasiswa, serikat rakyat miskin, organisasi perempuan, dan lain-lain) untuk bersama memperoleh pembelajaran-pembelajaran politik bagi perjuangannya.
  3. Kami juga menyerukan kepada seluruh rakyat Indonesia untuk memperkuat persatuan sesuai dengan prinsip bangsa kita: Bhineka Tunggal Ika.
  4. Kami menyerukan kepada seluruh rakyat Indonesia, yang akan menggunakan Hak Pilihnya pada pemilu legislatif pada tanggal 9 April mendatang, untuk memilih Partai dan Caleg yang punya komitmen politik untuk memperjuangkan kemandirian ekonomi dan Cita-Cita Proklamasi 17 Agustus 1945.
Bersatulah untuk Kemerdekaan Nasional: berdaulat di bidang politik, berdikari di lapangan ekonomi, dan berkepribadian secara budaya.

Bersatulah untuk memenangkan Cita-Cita Proklamasi Kemerdekaan: masyarakat adil dan makmur!
Jakarta, 27 Maret 2014

Hentikan Neoliberalisme! Rebut (Kembali) Kedaulatan Nasional!

Dikeluarkan Oleh:
Komite Pimpinan Pusat Partai Rakyat Demokratik (KPP-PRD)