Kamis, 24 Juli 2014

Nurrohim, Penerima PRD Depok Award 2014 kategori Pejuang Rakyat Tertindas

 
Nurrohim, Pendiri Sekolah MASTER Depok


GATRAnews - Yakin semua anak pada dasarnya baik, Nurrohim membuka Sekolah Master untuk anak jalanan. Alumninya menerima beasiswa di sejumlah perguruan tinggi luar negeri dan perguruan tinggi negeri lokal. ---

Suara ingar-bingar menjadi menu sehari-hari di Terminal Depok, Jawa Barat. Kernet dengan suara nyaring sibuk mencari penumpang. Sekelompok pengamen cilik dengan alat musik seadanya menjual suara di atas angkutan umum, berharap mendapat uang receh dari para penumpang. Di sudut lain, pedagang asongan berteriak menjajakan dagangannya.

Di tengah riuhnya aktivitas terminal, ratusan siswa belajar di sekolah yang ada di kawasan Terminal Depok. Mereka berasal dari jenjang pendidikan anak usia dini (PAUD) hingga sekolah menengah atas (SMA). Jangan bayangkan bangunan sekolahnya berupa gedung permanen bertingkat. Apalagi dilengkapi fasilitas penyejuk udara seperti lazimnya bangunan sekolah unggulan yang bertebaran di seputar Depok.

Gedung sekolahnya hanya berupa bangunan semipermanen bercat hijau. Ada juga enam kontainer yang disulap menjadi ruang kelas. Kesan pertama saat melihat ruang-ruang kelas dari kontainer itu seperti di taman bermain. Warna biru muda, hijau, merah muda, dan kuning melapisi dinding kontainer, menyambut siapa saja yang datang.

Sebagian besar siswa sekolah yang diberi nama Sekolah Master (akronim dari masjid terminal) itu adalah anak jalanan yang berprofesi sebagai pengamen dan pedagang asongan. Mereka mencari nafkah di Terminal Depok. Ada juga anak-anak dari keluarga miskin yang tinggal di sekitar terminal. Karena diperuntukkan bagi siswa miskin, sekolah itu tidak memungut biaya pendidikan satu rupiah pun alias gratis.

Kendati siswanya berasal dari kaum marjinal, bahkan sering mendapat stigma negatif sebagai preman, prestasi akademik yang ditorehkan para siswanya cukup membanggakan. Ada dua orang yang mendapat beasiswa kuliah di perguruan tinggi di Afrika Selatan. Satu orang di Yordania. Sebagian lainnya diterima di perguruan tinggi negeri lokal. "Sekolah Master ini bukan sekadar sekolah, tapi kami ingin membangun peradaban yang nantinya melahirkan agen perubahan dari berbagai penjuru," kata Nurrohim, pendiri sekaligus Kepala Sekolah Master, kepada Fitri Kumalasai dari GATRA, awal Desember lalu.

Nurrohim merintis Sekolah Master sejak tahun 2000. Pria kelahiran Tegal, Jawa Tengah, 3 Juli 1971, ini memiliki warung makan dan toko kelontong yang lokasinya berada di belakang Masjid Al-Muttaqien, di kompleks Terminal Depok. Tempatnya itu biasa dijadikan lokasi mangkal orang-orang marjinal tersebut. Ada yang memang datang untuk membeli makanan di warungnya atau sekadar duduk-duduk melepas lelah.
Mulanya, Nurrohim merasa prihatin atas kondisi anak-anak jalanan yang berkeliaran di sekitar terminal. Banyak di antara mereka yang tubuhnya bau dan dekil karena jarang mandi. "Soalnya, kalau mau mandi, harus bayar Rp 2.000," ungkapnya. Padahal, uang di kantong mereka hanya sedikit. "Ibaratnya, jika punya uang Rp 3.000, mereka lebih memilih menggunakannya untuk membeli sebungkus nasi daripada habis untuk bayar mandi," tutur Nurrohim.

Lagi pula, "Anak-anak jalanan itu kan tipenya kalau lapar jadi galak, kenyang baru bisa tenang. Mereka pontang-panting ngamen cuma buat makan," kata Nurrohim. Prihatin atas kondisi itu, Nurrohim pun berinisiatif membuat tempat mandi umum untuk anak-anak jalanan. Tempat mandi ini tidak memungut biaya apa pun. "Pokoknya, gratis," katanya.

Bukan itu saja. Untuk urusan mengisi perut, Nurrohim juga membebaskan anak-anak jalanan mengambil sendiri makanan di warung makannya. Jika belum ada uang, anak-anak jalanan itu dibolehkan berutang.

"Urusan bayar pun bisa belakangan, bisa bayar sore atau malam harinya, ketika mereka sudah punya uang dari hasil ngamen," ujarnya.

Warung makan itu juga berfungsi sebagai bank. Anak-anak jalanan kerap menitipkan uang kepada Nurrohim. Mereka percaya kepada Nurrohim karena dianggap jujur dan amanah. Lucunya, karena sering menerima titipan uang dari anak-anak jalanan, Nurrohim dituding sebagai bos preman Terminal Depok. Atas tudingan itu, Nurrohim tak pernah menggubrisnya.

Dengan pendekatan cinta kasih, Nurrohim terus mendampingi anak-anak jalanan. Bahkan, saat ada yang terjerat kasus hukum, seperti ditangkap polisi karena mencopet, ia berusaha membantu agar anak jalanan itu terbebas dari jerat hukum. Kalau memang anak itu harus ditahan, Nurrohim memberi pendampingan dengan memotivasi anak jalanan itu agar tidak mengulangi kesalahan serupa. "Orang sejahat apa pun, saat hatinya disentuh oleh kebaikan, ia akan selalu ingat," katanya.

Agar ada kegiatan prositif, Nurrohim memotivasi anak-anak jalanan dan orang-orang yang melakukan aktivitas di Terminal Depok untuk membentuk komunitas. Gayung bersambut. Mulailah bermunculan komunitas-komunitas di sekitar Terminal Depok, seperti Pasti (Persatuan Antar-Seniman Terminal), Pesat (Persatuan Pedagang Asongan Terminal), Praktisi (Persaudaraan Pedagang Terminal dan Stasiun), dan Panter (Paguyuban Anak Terminal).

Anggota komunitas itu bergiliran datang ke Masjid Al-Muttaqien untuk melakukan berbagai kegiatan, seperti arisan atau belajar bersama. Aktivitas mereka banyak dilakukan di areal masjid terminal, membuat komunitas ini dikenal sebagai komunitas Master alias Masjid Terminal. Komunitas-komunitas inilah yang menjadi cikal bakal lahirnya Sekolah Master.

Menurut Nurrohim, banyak anak jalanan yang tidak pernah mengenyam bangku sekolah. Sebagian memang ada yang pernah bersekolah, tapi terpaksa keluar karena ketiadaan biaya atau dikeluarkan dari sekolah karena kenakalannya. Untuk itu, Nurrohim berinisiatif membuka kelas membaca dan menulis.
Aktivitas belajar-mengajar di emperan masjid itu berlangsung mulai pukul 09.00, saat masjid sepi, hingga pukul 12.00, menjelang azan lohor. Awalnya, kegiatan belajar-mengajar hanya dilakukan pada Sabtu dan Minggu. Namun kemudian bertambah hari Jumat. Dalam mengajar, Nurrohim tak sendirian. Ia dibantu teman-temannya yang bergelar sarjana tapi belum mendapat kerja. "Kami menampung semua anak, mau dari agama dan suku apa pun," katanya.

Pada awal merintis Sekolah Master, Nurrohim mendapat cibiran dari warga sekitar lantaran anak-anak jalanan yang ia didik adalah anak-anak yang dicap sebagai preman. Meski begitu, Nurrohim tak ambil pusing. Menurut dia, anak-anak jalanan itu berhak mendapat kesempatan hidup lebih baik dan pengakuan. "Setiap hal ada pro dan kontranya, tetapi alangkah lebih baik jika tetap fokus pada apa yang mesti dikerjakan ketimbang memikirkan pendapat orang lain," ujarnya.

Siswa komunitas Master mulanya hanya 100-150 anak jalanan. Namun, saat komunitas Master hendak dilanjutkan menjadi sekolah formal pada tahun 2000, antusiasme anak-anak jalanan yang mendaftar membludak hingga 700 orang. Karena keterbatasan infrastruktur, baik sarana maupun prasarana kelas belajar, Nurrohim hanya membuka kelas IV, V, dan VI SD, serta mereka yang lulus SD menuju SMP. Jumlah mereka yang diterima diseleksi hingga hanya tersisa sekitar 320 anak. Tiga tahun berikutnya, barulah Sekolah Master membuka jenjang SMA dan TK.

Tak terasa 12 tahun sudah Sekolah Master di Terminal Depok berdiri. Sekolah gratis yang dikhususkan bagi pegembangan karakter dan mental anak-anak jalanan ini berada di bawah payung Yayasan Bina Insan Mandiri (YBIM). Yayasan ini bergerak di sejumlah sector, yaitu pendidikan, sosial, hukum, kesehatan, dan ekonomi.

Kegiatan yang berlangsung di Sekolah Master tak jauh beda dengan kegiatan di sekolah formal. Hanya saja, Nurrohim tidak menekankan pencapaian akademik bagi siswa-siswanya. Namun, untuk siswa yang dinilai punya potensi di bidang akademik, pelajaran formal diberikan dan ada pelajaran tambahan agar siswa berhasil mengikuti ujian akhir nasional. "Kami berikan kisi-kisi, bimbingan belajar juga. Kami arahkan mereka lolos perguruan tinggi, baik luar maupun dalam negeri," ungkapnya.

Untuk siswa yang tidak berminat pada bidang akademik, Nurrohim mencoba mewadahi potensi mereka dengan membangun studio musik, drama, kelas otomotif, desain grafis, taekwondo, dan sebagainya. "Tujuannya, paling tidak mereka yang tidak minat pada bidang akademik punya skill lain yang dapat dijadikan bekal bagi masa depannya kelak," kata Nurrohim.

Sekolah Master memiliki jadwal belajar pagi, dari pukul 07.30 hingga 12.00, untuk tingkat TK dan SD. Selanjutnya, kegiatan belajar siang dikhususkan bagi jenjang SMP dan SMA, dari pukul 13.00 hingga 17.00. Sedangkan malam hari diperuntukkan bagi kelas keterampilan dan siswa yang sudah dewasa tetapi tetap ingin belajar. Setelah kegiatan belajar-mengajar usai, kelas-kelas ini digunakan untuk tidur anak-anak jalanan yang tidak punya tempat bernaung.

Saat ini, Sekolah Master tak hanya ada di Terminal Depok, melainkan juga telah menyebar ke Bandung, Jakarta (Pulogadung), Cianjur, Jonggol, dan Bogor. Lulusan Sekolah Master ini pun setiap tahun mencapai 700 orang. Sedangkan total lulusannya sejak 12 tahun lalu hampir mencapai 4.000 orang.

Lantas, dari mana dana untuk membiayai operasional Sekolah Master? Nurrohim mengaku, sebagian biaya diperoleh dari penghasilan usaha kecilnya seperti warung makan dan asongan di sekitar terminal, juga usaha percetakan serta peternakan sapi dan kambing. Selebihnya, Nurrohim mendapat bantuan dari program corporate social responsibility sejumlah perusahaan. "Sekolah ini tempat orang-orang bingung, mulai dari bingung nggak bisa sekolah sampai yang bingung mau nyumbangin uangnya," tutur Nurrohim berkelakar.
Biaya operasional untuk satu Sekolah Master, misalnya yang di Depok, sekitar Rp 150 juta per bulan. Para pengajarnya tidak disebut guru, melainkan relawan yang di antaranya ada mahasiswa. "Relawan inti ada 80-90 orang, sedangkan relawan pendamping ada 115 orang," kata Nurrohim. Relawan inti adalah relawan yang menandatangani kontrak enam bulan untuk mengajar, sedangkan relawan pendamping adalah relawan tidak tetap.

Tak jarang Nurrohim mendatangkan pengajar tamu, seperti penulis, akademisi, pelaku usaha, dan motivator, untuk memberikan semangat kepada anak-anak jalanan supaya terus belajar, terlebih memberikan mereka kesempatan bermimpi dan mencapai mimpi tersebut. "Ketika anak-anak diajari untuk menggapai impian, maka mereka akan berusaha menggapainya," ujar Nurrohim.

Siapakah sosok Nurrohim itu? Ia mengaku sekadar orang biasa. Namun ia memiliki visi dan komitmen untuk mencerahkan kehidupan orang-orang di sekitarnya, khususnya para anak jalanan. Suami Elvirawati ini mengaku bahwa masa kanak-kanaknya juga suram, tak jauh beda dengan anak didiknya di Sekolah Master.
Nurrohim merupakan anak tunggal. Ayah dan ibunya bercerai sejak ia berusia dua tahun. Sejak perceraian orangtuanya itu, Nurrohim kecil mulai merasakan kurangnya kasih sayang dan perhatian. Orangtua dan kakek-neneknya sibuk berdagang. Ia pun mulai merasa tidak nyaman di rumah dan sering pergi keluyuran main di sekitar pasar, terminal, hingga stasiun. Nurrohim bahkan sering tidur di musala atau terminal.
Karena kenakalannya, Nurrohim dikeluarkan dari sekolah. Lalu, oleh sang kakek dari pihak ibu, Nurrohim dimasukkan ke pesantren. Di pesantren, kenakalan Nurrohim malah menjadi-jadi. Ia hampir 10 kali pindah pesantren karena kenakalannya dianggap keterlaluan oleh para guru dan kiai. Kenakalan terparah yang pernah dilakukannya adalah mencabuti nisan kuburan para kiai pendiri pesantren untuk dijadikan kayu bakar.
Merasa geram atas tingkah laku Nurrohim kecil, ada seorang kiai yang mendoakannya. "Semoga si Boim (demikian Nurrohim biasa disapa) jadi guru dan muridnya banyak tapi bandel semua biar ngerasain jadi guru," kata Nurrohim mengingat ucapan gurunya ketika itu. Ternyata apa yang didoakan gurunya itu menjadi kenyataan. Nurrohim kini menjadi guru anak-anak jalanan yang susah diatur. "Saya kualat dengan doa guru," ujar bapak empat anak ini.

Meski bandel dan sering bergaul dengan anak-anak jalanan, Nurrohim tetap berpikir untuk terus bersekolah. Ia tidak ingin putus sekolah karena rekan-rekannya yang putus sekolah umumnya menjadi penjahat. "Temen-temen saya yang nggak sekolah di Tanah Abang tuh pada nodong, nembak orang, nusuk orang. Sekalipun nggak mati, ya, di luar jadi gila," papar Nurrohim.

Hal itu membuka pandangannya bahwa pendidikan mampu mengubah segala-galanya, termasuk menjadikan masa depan yang lebih baik. Ini pula yang menjadi alasan Nurrohim untuk konsisten mengembangkan Sekolah Master. Ia tak ingin anak-anak jalanan itu mengalami nasib seperti teman-temannya sewaktu kecil dulu. "Semua anak itu pada dasarnya baik, cuma kadang cara pendekatan kita saja yang tidak membuat mereka nyaman," katanya. (Sujud Dwi Pratisto)

Sumber :  http://www.gatra.com/fokus-berita/22773-nurrohim-master-pendidik-anak-jalanan.html

Dua Pejuang Rakyat Mendapat Award PRD Depok 2014


Peringatan HUT PRD ke-18 di Sekretariat PRD Kota Depok (22/7/2014)
BEJI - Dalam peringatan HUT PRD Ke 18 di Kota Depok yang berlangsung Selasa (22/07) sore hari di Posko PRD Depok, dua pejuang rakyat mendapat Award PRD Depok 2014.

Rando, Ketua Pelaksana mengatakan award tersebut diberikan kepada Nurrohim (Pejuang Rakyat Tertindas) yang mendirikan sekolah gratis di Masjid Terminal sejak 2004 hingga kini.

Sementara satu lagi penerima Award adalah Heri Gonku Syaefudin (Pejuang Lingkungan Hidup) adalah Ketua Forum Komunitas Hijau di Kota Depok yang sejak 20 Tahun konsisten dan berbuat nyata dalam perjuangan Lingkungan Hidup di Kota Depok dan beberapa kota lainnya' papar Rando.

Tema HUT PRD ke 18 ini adalah 'Bangun Persatuan Nasional, Menangkan Cita-Cita Proklamasi 17 Agustus 1945'.

Sumber : http://www.transdepok.com/berita-dua-pejuang-rakyat-mendapat-award-prd-depok-2014.html