Senin, 16 Juni 2014

Sikap Politik PRD Terhadap Pemilu Presiden 2014




Bersatu Memenangkan Program Kemandirian Nasional Untuk Mewujudkan Cita-Cita Proklamasi 17 Agustus 1945!

Landasan

Hasil Pemilu Legislatif (Pileg) 2014 menunjukkan bahwa perjuangan meneguhkan kemerdekaan nasional, yakni berdaulat di bidang politik, berdikari di lapangan ekonomi, dan berkepribadian secara budaya, mulai diterima sebagai keharusan mendesak.

Ini ditandai oleh kenyataan bahwa, partai-partai yang mengusung isu kemandirian nasional, terutama PDIP, Gerindra, dan Nasdem, berhasil unggul dalam perolehan suara di Pileg lalu, sementara partai yang merepresentasikan kepentingan neoliberal, yakni Demokrat, makin terisolir dan kehilangan dukungan.

Persoalannya, sebagaimana telah kami sampaikan dalam pernyataan sebelumnya, penguatan isu kemandirian nasional itu tidak disertai dengan penyatuan barisan kaum nasionalis. Meskipun, secara teoritis, isu kemandirian nasional telah menyediakan ruang yang lebar dan kondusif bagi bersatunya semua sektor-sektor yang dikorban oleh neoliberalisme maupun kekuatan politik yang bersepakat melawannya.

Kaum nasionalis justru terpecah. PDIP dan Nasdem, dengan capresnya Joko Widodo, membangun koalisi sendiri. Di dalamnya ada PKB, Hanura, dan sebagian pelarian dari partai Golkar. Sedangkan Gerindra dengan calon presidennya, Prabowo Subianto, membangun ‘koalisi pragmatis’ dengan Golkar, PAN, PPP, dan PKS.

Yang ‘unik’ adalah posisi Demokrat. Partai berhaluan neoliberal ini mengambil sikap sebagai ‘oposisi’. Namun, sikap partai demokrat itu menyiratkan adanya strategi politik jangka panjang yang sedang dipersiapkan oleh kekuatan neoliberal untuk merongrong atau mendompleng siapapun dari capres nasionalis yang berkuasa nanti.

Potensi Moderasi

Terpecahnya kaum nasionalis ternyata menciptakan celah berbahaya. Pertama, pelemahan terhadap kekuatan nasionalis dalam memenangkan dan mengawal isu kemandirian bangsa dan pelaksanaannya. Kedua, capres nasionalis ‘dipaksa’ menempuh koalisi pragmatis, yang membuka ruang penampungan bagi partai-partai pragmatis dan oportunis, termasuk partai atau unsur bermental komprador.

Bila diamati, kekuatan neoliberal berhasil menyebar ke masing-masing kubu capres. Di kubu Jokowi, terdapat sejumlah nama yang dikenal sebagai ‘agen’ liberalisasi dari kelompok non-parpol (seperti Goenawan Muhammad, dkk.), dan sebagian pelarian dari partai Golkar. Jusuf Kalla, yang ditunjuk sebagai calon wakil presiden Jokowi, adalah bekas Wakil Presiden dalam pemerintahan neoliberal SBY di periode 2004-2009. Di kubu Prabowo-Gerindra, representasi unsur neolib dan kompradornya jauh lebih banyak lagi, seperti: sejumlah petinggi PAN, Golkar, dan PKS.

Situasi ini perlu ditangkap sebagai potensi bahaya bagi capres nasionalis yang menang. Pertama, dengan kehadiran partai dan unsur-unsur yang cenderung pragmatis dan oportunis, agenda capres nasionalis kedepan berpotensi digembosi atau dimoderasi. Hal ini nampak, misalnya, pada Capres Gerindra: Prabowo Subianto. Dengan masuknya Hatta Radjasa, yang juga salah satu loyalis rezim neoliberal SBY, maka masuk pula agenda Masterplan Percepatan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) dalam visi-misi pasangan Prabowo-Hatta Radjasa. Sebagaimana diketahui, MP3EI sarat dengan kepentingan neoliberal. Selain itu, tampak bahwa sejak masa kampanye pun gagasan kemandirian nasional seakan ingin ditenggelamkan oleh unsur-unsur oportunis-komprador tersebut, dan digantikan dengan pernyataan-pernyataan tidak substantif yang memperkeruh situasi.
Kedua, dengan tidak adanya kekuatan mayoritas di parlemen, siapapun capres yang terpilih akan sulit menjalankan agenda ekonomi dan politik yang radikal, atau setidaknya sejalan dengan janji yang disampaikan. Mereka akan dirongrong dari segala sisi: dari dalam koalisi oleh partai-partai pragmatis oportunis, sedangkan dari luar oleh partai Demokrat.

Hal lain yang patut dicermati adalah taktik politik Partai Golkar. Partai peninggalan Orde Baru ini memainkan taktik dua kaki. Jusuf Kalla, mantan Ketua Umum Golkar, menjadi cawapres Jokowi. Tak hanya itu, sebagian kader Golkar juga masuk ke Jokowi-JK. Sementara partai Golkar di bawah pimpinan sang Ketua, Aburizal Bakrie, menyatakan secara resmi mendukung pasangan Prabowo-Hatta Radjasa. Dengan bermain dua kaki, entah siapapun nantinya yang terpilih sebagai Presiden, Golkar akan tetap menjadi bagian dari kekuasaan.

Memagari Dan Memajukan Isu Kemandirian Nasional

Bila kita amati visi-misi kedua pasang Capres-Cawapres, yakni Joko Widodo-JK dan Prabowo-Hatta Radjasa, keduanya mengusung cita-cita kemerdekaan nasional.

Pasangan Jokowi-JK mengusung ajaran Soekarno, yakni Pancasila 1 Juni 1945 dan Trisakti (berdaulat di bidang politik, berdikari di lapangan ekonomi, dan berkepribadian secara budaya). Sedangkan pasangan Prabowo-Hatta Radjasa mengangkat visi: membangun Indonesia yang bersatu, berdaulat, adil dan makmur serta bermartabat. Keduanya juga mengusung retorika nasionalisme dan ekonomi kerakyatan.

Ketika secara programatik relatif sama, maka amunisi yang digunakan untuk saling serang antara para capres adalah masalah-masalah personal (pribadi) dan rekam jejak. Akibatnya, rakyat bukannya disuguhi gambaran konkret mengenai program kemandirian nasional itu, melainkan disuguhi hidangan isu-isu tidak sedap: isu SARA, fitnah, dan lain-lain.

Media massa mainstream, yang dibimbing oleh motif mencari keuntungan lewat berita-berita sensasional, juga punya andil besar dalam meruncingkan pertarungan yang tidak substantif dan tidak programatik ini. Di sini media massa mainstream, entah disadari atau tidak, menjadi mesin propaganda untuk meniupkan perpecahan di kalangan kaum nasionalis dan menyeret mereka dalam debat yang tidak memajukan kesadaran politik rakyat.

Dalam konteks inilah, seluruh kekuatan nasional yang pro-kemandirian bangsa harus memagariagenda kemandirian bangsa agar tidak digembosi dan termoderasi, baik oleh partai/elit politik bermental ‘komprador’ yang sekarang menempel di koalisi capres maupun oleh kelompok lobi yang membawa kepentingan korporasi asing.

Kita juga harus mendesak para capres untuk menajamkan program-programnya. Agar yang abstrak menjadi konkret, yang kabur menjadi terang, yang masih ragu-ragu menjadi tegas, dan yang masih melangit bisa segera membumi. Dengan begitu, rakyat juga bisa melihat dan membaca program para capres secara rasional dan objektif.

Selain itu, kita tidak boleh tanggung-tanggung mengritik capres-capres tersebut jika mereka tidak konsisten dengan agenda dan program mereka. Kita juga harus mengritik program capres-cawapres yang melabrak konsepsi nasional, yakni Pancasila dan UUD 1945. Misalnya, kita harus mengritik Manifesto Politik Gerindra yang mencantumkan campur tangan negara dalam menjaga “kemurnian agama”. Ide permurnian agama ini bisa memicu legalisasi praktik intolerasi dan penghilangan hak-hak warga negara dalam meyakini agama tertentu.

Dari sudut pandang kemandirian nasional sebagai platformperjuangan yang mendesak, bagi kami, pemilu presiden 2014 ini bukanlah pertarungan antara kawan versus musuh, melainkan kompetisi antar sesama ‘nasionalis’ untuk menunjukkan program kemandirian nasional mana yang paling maju dan paling didukung oleh rakyat.

Karena itu, sekalipun dalam pilpres ini kedua capres bersaing, kekuatan pro kemandirian nasional harus menyiapkan diri untuk bersatu dan saling mendukung pasca pilpres dalam kerangka memastikan terbentuknya pemerintahan persatuan nasional yang memahami persoalan bangsa dan memiliki agenda kongkrit di bidang ekonomi, politik, dan sosial-budaya.

Pemerintahan yang pro-kemandirian nasional pada hakekatnya harus merombak struktur kepemilikan kapital/modalyang timpang saat ini. Karena itu perlu bersama diingat, bahwa program-program lain yang juga termaktub dalam visi-misi para capres, misalnya reformasi birokrasi, pemberantasan korupsi, dan lain sejenisnya, yang pada prinsipnya baik dan benar tetapi tidak bertentangan dengan kepentingan neoliberalisme atas pemerintahan yang efisien, jangan sampai dijadikan dalih sogokan ketika berkuasa nantisehingga mengabaikanstruktur kepemilikan modal yang merupakan persoalan paling mendasar.

Selain itu, kita perlu juga mengingatkan bahwa terdapat banyak produk politik peraturan perundangan-undangan pro-neoliberalisme yang masih efektif berlaku, yang tidak disinggung dalam visi-misi para calon presiden. Di sini rakyat dapat menagih keseriusan para capres dan kekuatan politik pendukungnya untuk mengambil sikap politik yangjelas terhadap sejumlah peraturan perundang-undangan tersebut sebagai konsekuensi kampanye politik kemandirian nasional.
Mencermati situasi yang telah diuraikan di atas, Partai Rakyat Demokratik (PRD) menyerukan:
  1. Kepada Capres-cawapres dan para pendukungnya agar mengedepankan kampanye positif tentang kemandirian nasional, dan bagaimana menjalankan program politik kemandirian nasional tersebut dalam langkah-langkah yang kongkrit.
  2. Kepada rakyat Indonesia untuk mengawal konsistensi pernyataan dan pelaksanaan agenda capres-cawapres dalam mewujudkan agenda pemerintahan yang pro kemandirian nasional.
  3. Dalam rangka mengawal konsistensi capres-cawapres melaksanakan agenda kemandirian nasional maka diserukan kepada rakyat untuk membentuk wadah-wadah persatuan.
Demikian sikap politik ini kami sampaikan.

Hentikan Neoliberalisme! Rebut (kembali) Kedaulatan Nasional!

Jakarta, 26 Mei 2014

Komite Pimpinan Pusat Partai Rakyat Demokratik
(KPP PRD)



Agus Priyono
Dominggus Oktavianus
Ketua Umum
Pjs. Sekretaris Jenderal