Bersatu
Memenangkan Program Kemandirian Nasional Untuk Mewujudkan Cita-Cita Proklamasi 17 Agustus 1945!
Landasan
Hasil Pemilu Legislatif
(Pileg) 2014 menunjukkan bahwa perjuangan meneguhkan kemerdekaan nasional,
yakni berdaulat di bidang politik, berdikari di lapangan ekonomi, dan
berkepribadian secara budaya, mulai diterima sebagai keharusan mendesak.
Ini ditandai oleh kenyataan bahwa,
partai-partai yang mengusung isu kemandirian nasional, terutama PDIP, Gerindra,
dan Nasdem, berhasil unggul dalam perolehan suara di Pileg lalu, sementara
partai yang merepresentasikan kepentingan neoliberal, yakni Demokrat,
makin terisolir dan kehilangan dukungan.
Persoalannya, sebagaimana telah kami
sampaikan dalam pernyataan sebelumnya, penguatan isu kemandirian nasional itu
tidak disertai dengan penyatuan barisan kaum nasionalis. Meskipun,
secara teoritis, isu kemandirian nasional telah menyediakan ruang yang lebar
dan kondusif bagi bersatunya semua sektor-sektor yang dikorban oleh
neoliberalisme maupun kekuatan politik yang bersepakat melawannya.
Kaum nasionalis justru terpecah.
PDIP dan Nasdem, dengan capresnya Joko Widodo, membangun koalisi sendiri. Di
dalamnya ada PKB, Hanura, dan sebagian pelarian dari partai Golkar.
Sedangkan Gerindra dengan calon presidennya, Prabowo Subianto, membangun
‘koalisi pragmatis’ dengan Golkar, PAN, PPP, dan PKS.
Yang ‘unik’ adalah posisi Demokrat.
Partai berhaluan neoliberal ini mengambil sikap sebagai ‘oposisi’. Namun, sikap
partai demokrat itu menyiratkan adanya strategi politik jangka panjang
yang sedang dipersiapkan oleh kekuatan neoliberal untuk merongrong atau
mendompleng siapapun dari capres nasionalis yang berkuasa nanti.
Potensi Moderasi
Terpecahnya kaum nasionalis ternyata
menciptakan celah berbahaya. Pertama, pelemahan terhadap kekuatan nasionalis
dalam memenangkan dan mengawal isu kemandirian bangsa dan pelaksanaannya.
Kedua, capres nasionalis ‘dipaksa’ menempuh koalisi pragmatis, yang membuka ruang
penampungan bagi partai-partai pragmatis dan oportunis, termasuk partai
atau unsur bermental komprador.
Bila diamati, kekuatan neoliberal
berhasil menyebar ke masing-masing kubu capres. Di kubu Jokowi, terdapat
sejumlah nama yang dikenal sebagai ‘agen’ liberalisasi dari kelompok non-parpol
(seperti Goenawan Muhammad, dkk.), dan sebagian pelarian dari partai Golkar.
Jusuf Kalla, yang ditunjuk sebagai calon wakil presiden Jokowi, adalah bekas
Wakil Presiden dalam pemerintahan neoliberal SBY di periode 2004-2009. Di kubu
Prabowo-Gerindra, representasi unsur neolib dan kompradornya jauh lebih banyak
lagi, seperti: sejumlah petinggi PAN, Golkar, dan PKS.
Situasi ini perlu ditangkap sebagai
potensi bahaya bagi capres nasionalis yang menang. Pertama, dengan
kehadiran partai dan unsur-unsur yang cenderung pragmatis dan oportunis, agenda
capres nasionalis kedepan berpotensi digembosi atau dimoderasi. Hal ini nampak,
misalnya, pada Capres Gerindra: Prabowo Subianto. Dengan masuknya Hatta
Radjasa, yang juga salah satu loyalis rezim neoliberal SBY, maka masuk pula
agenda Masterplan Percepatan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
(MP3EI) dalam visi-misi pasangan Prabowo-Hatta Radjasa. Sebagaimana diketahui,
MP3EI sarat dengan kepentingan neoliberal. Selain itu, tampak bahwa sejak masa kampanye
pun gagasan kemandirian nasional seakan ingin ditenggelamkan oleh unsur-unsur
oportunis-komprador tersebut, dan digantikan dengan pernyataan-pernyataan tidak
substantif yang memperkeruh situasi.
Kedua, dengan tidak adanya kekuatan mayoritas di parlemen,
siapapun capres yang terpilih akan sulit menjalankan agenda ekonomi dan politik
yang radikal, atau setidaknya sejalan dengan janji yang disampaikan. Mereka
akan dirongrong dari segala sisi: dari dalam koalisi oleh partai-partai
pragmatis oportunis, sedangkan dari luar oleh partai Demokrat.
Hal lain yang patut dicermati adalah
taktik politik Partai Golkar. Partai peninggalan Orde Baru ini memainkan
taktik dua kaki. Jusuf Kalla, mantan Ketua Umum Golkar, menjadi cawapres
Jokowi. Tak hanya itu, sebagian kader Golkar juga masuk ke Jokowi-JK. Sementara
partai Golkar di bawah pimpinan sang Ketua, Aburizal Bakrie, menyatakan secara
resmi mendukung pasangan Prabowo-Hatta Radjasa. Dengan bermain dua kaki, entah
siapapun nantinya yang terpilih sebagai Presiden, Golkar akan tetap menjadi
bagian dari kekuasaan.
Memagari Dan Memajukan Isu
Kemandirian Nasional
Bila kita amati visi-misi kedua
pasang Capres-Cawapres, yakni Joko Widodo-JK dan Prabowo-Hatta Radjasa,
keduanya mengusung cita-cita kemerdekaan nasional.
Pasangan Jokowi-JK mengusung ajaran
Soekarno, yakni Pancasila 1 Juni 1945 dan Trisakti (berdaulat di bidang
politik, berdikari di lapangan ekonomi, dan berkepribadian secara budaya).
Sedangkan pasangan Prabowo-Hatta Radjasa mengangkat visi: membangun Indonesia
yang bersatu, berdaulat, adil dan makmur serta bermartabat. Keduanya juga
mengusung retorika nasionalisme dan ekonomi kerakyatan.
Ketika secara programatik relatif
sama, maka amunisi yang digunakan untuk saling serang antara para capres
adalah masalah-masalah personal (pribadi) dan rekam jejak. Akibatnya, rakyat
bukannya disuguhi gambaran konkret mengenai program kemandirian nasional itu,
melainkan disuguhi hidangan isu-isu tidak sedap: isu SARA, fitnah, dan
lain-lain.
Media massa mainstream, yang dibimbing oleh motif mencari
keuntungan lewat berita-berita sensasional, juga punya andil besar dalam
meruncingkan pertarungan yang tidak substantif dan tidak programatik ini. Di
sini media massa mainstream, entah disadari atau tidak, menjadi mesin propaganda
untuk meniupkan perpecahan di kalangan kaum nasionalis dan menyeret mereka
dalam debat yang tidak memajukan kesadaran politik rakyat.
Dalam konteks inilah, seluruh
kekuatan nasional yang pro-kemandirian bangsa harus memagariagenda
kemandirian bangsa agar tidak digembosi dan termoderasi, baik oleh partai/elit
politik bermental ‘komprador’ yang sekarang menempel di koalisi capres maupun
oleh kelompok lobi yang membawa kepentingan korporasi asing.
Kita juga harus mendesak para capres
untuk menajamkan program-programnya. Agar yang abstrak menjadi konkret, yang
kabur menjadi terang, yang masih ragu-ragu menjadi tegas, dan yang masih
melangit bisa segera membumi. Dengan begitu, rakyat juga bisa melihat dan
membaca program para capres secara rasional dan objektif.
Selain itu, kita tidak boleh
tanggung-tanggung mengritik capres-capres tersebut jika mereka tidak konsisten
dengan agenda dan program mereka. Kita juga harus mengritik program
capres-cawapres yang melabrak konsepsi nasional, yakni Pancasila dan UUD 1945.
Misalnya, kita harus mengritik Manifesto Politik Gerindra yang mencantumkan
campur tangan negara dalam menjaga “kemurnian agama”. Ide permurnian agama ini
bisa memicu legalisasi praktik intolerasi dan penghilangan hak-hak warga negara
dalam meyakini agama tertentu.
Dari sudut pandang kemandirian
nasional sebagai platformperjuangan yang mendesak, bagi kami, pemilu
presiden 2014 ini bukanlah pertarungan antara kawan versus musuh,
melainkan kompetisi antar sesama ‘nasionalis’ untuk menunjukkan program
kemandirian nasional mana yang paling maju dan paling didukung oleh rakyat.
Karena itu, sekalipun dalam pilpres
ini kedua capres bersaing, kekuatan pro kemandirian nasional harus menyiapkan
diri untuk bersatu dan saling mendukung pasca pilpres dalam kerangka memastikan
terbentuknya pemerintahan persatuan nasional yang memahami persoalan bangsa dan
memiliki agenda kongkrit di bidang ekonomi, politik, dan sosial-budaya.
Pemerintahan yang pro-kemandirian
nasional pada hakekatnya harus merombak struktur kepemilikan kapital/modalyang
timpang saat ini. Karena itu perlu bersama diingat, bahwa program-program lain
yang juga termaktub dalam visi-misi para capres, misalnya reformasi birokrasi,
pemberantasan korupsi, dan lain sejenisnya, yang pada prinsipnya baik dan benar
tetapi tidak bertentangan dengan kepentingan neoliberalisme atas pemerintahan
yang efisien, jangan sampai dijadikan dalih sogokan ketika berkuasa
nantisehingga mengabaikanstruktur kepemilikan modal yang merupakan persoalan
paling mendasar.
Selain itu, kita perlu juga
mengingatkan bahwa terdapat banyak produk politik peraturan
perundangan-undangan pro-neoliberalisme yang masih efektif berlaku, yang tidak
disinggung dalam visi-misi para calon presiden. Di sini rakyat dapat menagih
keseriusan para capres dan kekuatan politik pendukungnya untuk mengambil sikap
politik yangjelas terhadap sejumlah peraturan perundang-undangan tersebut
sebagai konsekuensi kampanye politik kemandirian nasional.
Mencermati situasi yang telah
diuraikan di atas, Partai Rakyat Demokratik (PRD) menyerukan:
- Kepada Capres-cawapres dan para pendukungnya agar mengedepankan kampanye positif tentang kemandirian nasional, dan bagaimana menjalankan program politik kemandirian nasional tersebut dalam langkah-langkah yang kongkrit.
- Kepada rakyat Indonesia untuk mengawal konsistensi pernyataan dan pelaksanaan agenda capres-cawapres dalam mewujudkan agenda pemerintahan yang pro kemandirian nasional.
- Dalam rangka mengawal konsistensi capres-cawapres melaksanakan agenda kemandirian nasional maka diserukan kepada rakyat untuk membentuk wadah-wadah persatuan.
Demikian sikap politik ini kami
sampaikan.
Hentikan Neoliberalisme! Rebut
(kembali) Kedaulatan Nasional!
Jakarta, 26 Mei 2014
Komite Pimpinan Pusat Partai Rakyat
Demokratik
(KPP PRD)
Agus Priyono
|
Dominggus Oktavianus
|
Ketua Umum
|
Pjs. Sekretaris Jenderal
|